Opini  

(1) Menertawakan Kengerian Masa Konflik Aceh

Oleh: Fauzan Azima

Pada tahun 2003, saat awal darurat militer diberlakukan di Aceh. Pasukan GAM harus mengatur strategi untuk menghindari perang terbuka dengan TNI/Polri. Upaya itu harus dilakukan karena jumlah persenjataan dan peluru GAM Wilayah Linge sangat terbatas.

Salah satu strategi itu yaitu membagi pasukan dalam jumlah kecil. Siapa saja yang mengenal “kaki cantik” di kampung manapun berada dipersilahkan membentuk dan membawa pasukan bersamanya untuk keselamatan kelompoknya.

Saya pun membuat kelompok bersama Muhammad Gerhana, Pang Doyok, Pang Rinen dan Tengku Gele Bayak. Kelompok kami berencana menuju Kampung Jamat. Berdasarkan informasi dari Pang Rinen dan Gele Bayak, masyarakat di sana sangat mendukung perjuangan. Tentu saja akan mudah bagi kami untuk mendapatkan logistik.

Kami berjalan dari Kampung Ujung Pan lewat hutan dan turun di kampung Bintang pada malam hari. Kami berencana menghindari Pos TNI/Polri dengan mencari jalan lewat hutan. Lalu kami bertemu dan bertanya kepada masyarakat.

“Bang, apakah pos TNI/Polri masih jauh?”

“Baru saja Tengku lewati, rumah yang itu, ada satu lampu menyala”

“Wah, kemana mereka? Apakah mereka sedang operasi?”

“Mereka ada di posnya Tengku, itu masih terdengar suara tawa mereka”

Sesaat kami saling berpandangan. Kami baru sadar kalau sudah melewati Pos TNI/Polri. Setelah mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Bintang, kami cepat berlalu ke arah kampung Serule. Khawatir ada yang melapor kalau kami sedang berada di daerah hulu Danau Lut Tawar itu.

Sebelumnya di Alue Papeun, Nisam, pada satu malam pasukan GAM Wilayah Linge pernah tidur dekat pasukan TNI yang sedang operasi, jaraknya sekitar 20 meter. Untung pada pagi harinya mereka yang lebih dulu bangun. Terdengar mereka mengibas-ngibaskan alas tidurnya dengan keras. Semula kami kira pasukan Pase. Ternyata musuh. Perlahan kami merayap dan menjauh karena kalah jumlah dan tidak tahu pada titik mana saja mereka berada.

Begitulah, banyak peristiwa mengerikan terjadi selama konflik GAM-RI, tetapi kalau kami ingat ada beberapa kejadian terasa aneh dan kadang kami tertawa kalau mengingatnya.

Pada saat pengepungan besar-besaran terjadi di Wilayah Pase, sedikitnya kami berkumpul sekitar seribu pasukan. Mereka bersembunyi dan mengendap. Sedang saya sedang sakit amandel dan batuk-batuk.

Semua pasukan marah sekali kepada saya dan memaksa saya untuk menahan batuk, namun semakin ditahan semakin kencang suara batuk saya. Akhirnya mereka semua pergi meninggalkan saya. Syukur Tengku Salman, Pang Tapa dan Tengku Daelami masih mau bersama untuk menjaga dan mengobati saya yang terasa panas, sendi-sendi sakit. Ketika panas datang saya sering mengigau.

“Biasa kalau saya sakit seperti ini, obatnya apel dan buah salak” kata saya.

“Itu kan obat orang ngidam” katanya Tengku Salman sambil tertawa.

Mereka meminta saya istirahat di rumah kebun dan mengirim utusan ke kota untuk membeli pesanan saya. Pada keesokan harinya perempuan setengah baya bersama putrinya mengantar apel dan buah salak. Putrinya sempat meniup mata saya yang kemasukan sampah.

Setelah makan apel dan buah salak. Tidak lama kemudian saya kuat berdiri dan seketika batuk hilang. Setelah sembuh kami pun mulai berjalan ke arah Bate Vila, Nisam dan bergabung dengan pasukan lainnya naik ke Wilayah Linge.

Bersambung…

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge