Iklan Lintas Nasional

Pliek, Bumbu Masakan Aceh yang Fenomenal

Tergantung cuaca, Biasanya prosesnya memakan waktu 6 sampai 7 hari (Sepekan). Itu mulai dari fermentasi (Peubrok U, red), sampai dengan proses penjemuran hingga penyulingan minyak, begitulah tahapan yang harus dilalui untuk pembuatan Plik U.

Awan berarakan, langit sekata terik sekata mendung. Kiwari ini, faktor alam amat sulit ditebak lagi, menjadi ujung harapan bagi para pengrajin Pliek di Gampong Tanoh Anoe, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen akhir-akhir ini. Karenanya, cuaca terik sangat lah menjadi penentu bagi jemuran Pliek untuk sampai pada proses matang.

Di bawah pancaran matahari yang sesekali terik sesekali redup, tangan Zubaidah (45) tampak begitu lincah ketika dia mulai menjemur Pliek yang baru saja siap digiling. Selaku salah seorang pengrajin Pliek, terik matahari menjadi penentu untuk keberlangsungan usaha bumbu masakan Aceh yang fenomenal itu.

Zubaidah mengisahkan, semulanya proses pembuatan Pliek terbilang serba manual, tidak dibantu oleh mesin, mulai dari membelah kelapa matang hingga proses kukur kelapa yang menggunakan tangan. Namun, kini tidak lagi dikukur dengan tangan, melainkan digiling dengan mesin penggiling ke tukang giling. “Sekarang sudah ada tukang giling kelapa,” tukasnya

Setelah proses pembelahan kelapa, kata Zubaidah, kelapa yang telah dibelah-belah menjadi dua bagian langsung ditutup dengan plastik untuk proses fermentasi, atau disebut dengan Peubrok U, memakan waktu 3 sampai 4 hari, tergantung kualitas kelapa. Setelah itu, baru digiling menggunakan mesin di tempat penggilingan.

Ia juga menjelaskan, kelapa yang sudah melalui proses fermentasi akan dibawa atau diambil langsung oleh tukang giling ke tempat. Setelah proses penggilingan usai baru lah dijemur. Penjemuran memakan waktu 2 sampai 3 hari bila cuacanya mendukung.

“Upah gilingan kelapa Rp 250 per kilogram,” ujar Zubaidah saat disambangi Lintasnasional.com, di rumahnya, Selasa siang, 02 Juli 2025 di kediamannya.

Selama ini Zubaidah mengaku, bahwa sebagian penduduk Gampong Tanoh Anoe fokus menjadi pengrajin Pliek. Bilapun mayoritasnya masyarakat di gampong tersebut berprofesi sebagai petani garam tradisional, sementara sebagian lagi berprofesi sebagai petani tambak, peniaga ikan serta peniaga garam. Lamat-lamat juga memilih menjadi pengrajin Pliek di sampai pekerjaan lainnya.

“Tergantung cuaca. Biasanya prosesnya memakan waktu 6 sampai 7 hari (sepekan). Itu mulai dari fermentasi (peubrok u-red), sampai dengan proses penjemuran hingga penyaringan minyak,” kata Zubaidah

Sejauh ini, pliek menjadi nadi hidup masyarakat di salah satu Gampong di utara kabupaten Bireuen itu. Kebanyakan mereka yang berprofesi sebagai pengrajin pliek merupakan kaum perempuan dari berbagai latar, rata-rata ibu rumah tangga dan gadis-gadis remaja.

“Saya menjadi perajin Pliek dari bertahun tahun yang lalu. Dari harga pliek mulai dari Rp 5.000-an per kilogram,” akui Zubaidah.

Kini, Zubaidah menyebut harga Pliek di tempat produksi sekira Rp 35.000 sampai Rp 40.000 per Kilogram, kebutuhannya semakin hari semakin bertambah. Pliek yang diproduksi di gampong Tanoh Anoe dan gampong sekitarnya dipasarkan ke seluruh pelosok Aceh. Bahkan juga ada pesanan ke luar daerah. Medan, Pekan Baru, Jakarta hingga Kalimantan.

Selama belasan tahun berprofesi sebagai pengrajin pliek, Zubaidah mengisahkan tak pernah menemui pesanan Pliek seperti akhir-akhir ini. Sekarang Pliek begitu banyak diminati. Karena Pliek tak lagi semata-mata menjadi bumbu masakan gule Pliek saja, tetapi sudah menjadi cemilan sehari-hari yang dimakan dengan berbagai buah-buahan. “Seperti salak pliek, dan cemilan lainnya,” papar Zubaidah.

Jauh daripada itu, Zubaidah juga mengingatkan hal yang paling penting, pliek tetaplah pilek, tak akan berubah nama bila dituturkan dalam bahasa apapun. Sebab, dalam hal ini, menurutnya pliek menjadi subjek, atau toponim suatu nama bumbu masakan sebuah daerah. Asbab lain, di Indonesia, bumbu masakan seperti pliek hanya ada di Aceh tak ada di provinsi lain.

“Bukan Patarana. Ini pliek. Siapa bilang Paratana. Bukan pula Pliek U. Karena Pliek hanya berasal dari kelapa, tidak ada variannya. Kalau pepaya dan buah-buahan lain misalnya bisa diolah menjadi pliek, baru bisa dikatakan, ini pliek u, pliek pepaya dan lain sebagainya,” kata perempuan hitam manis itu.

Proses Pembuatan Pliek

Pliek merupakan bumbu masakan Aceh yang diolah dari kelapa matang. Proses pembuatannya mencapai 7 sampai 8 hari, itu pun, kata Zubaidah lagi, bila cuaca terik. Bila musim penghujan, para pengrajin pliek kebanyakan tidak memproduksi pliek karena tidak dapat dijemur.

Namun, semua itu sangat tergantung pada kualitas kelapa yang difermentasi. Bila kelapanya benar-benar matang, maka proses produksi pliek hanya memakan waktu 5 sampai 6 hari semata. Mulai dari proses fermentasi kelapa, penggilingan hingga penjemuran.

Zubaidah mengaku, usaha produksi pliek memang kerap dipandang sebagai sesuatu yang remeh. Namun, usaha ini sangat menjamin keberlangsungan hidup masyarakat di Gampongnya. Dimana, semua kebutuhan hidup keluarga di gampong itu, bertumpu pada pendapatan dari usaha produksi pliek kecil-kecilan ini. “Bahkan kebutuhan sekolah anak-anak hingga biaya kuliah, sangat bergantung pada usaha ini,” bebernya.

Perempuan paruh baya itu juga menuturkan, bahwa kebutuhan pliek di pasaran sangat tergantung pada cakupan produksi. Hal itu yang mendorong perempuan-perempuan di gampong Tanoh Anoe dan gampong-gampong sekitarnya berbondong-bondong menjadi pengrajin pliek.

Selaku seorang pengrajin pliek, Zubaidah mengaku harus siap memproduksi pliek sekitar 150 sampai 200 kilogram dalam sepekan atau dalam sekali produksi. Artinya, ia harus membuat fermentasi kelapa dalam sepekan sekira 1 sampai 2 tons.

Sebagai bahan baku utama, kata Zubaidah, kelapa menjadi penentu setelah pliek mulai siap dicicipi atau digunakan sebagai bumbu masakan. Dengan itu, terkadang harga kelapa tak beraturan. “Saat ini harga kelapa Rp6.000 sampai Rp7.000 per kilogram,” tuturnya.

Jadi, tambah Zubaidah, perkiraannya terkadang sepuluh banding satu. Dalam 1 ton kelapa, pliek hanya didapat sekira 100 kilogram. Bila kelapanya benar-benar matang, terkadang dalam 1 ton kelapa, pliek bisa jadi 120 kilogram. “Hasilnya sangat bergantung pada kualitas kelapa,” jelasnya.

Zubaidah menyebut, dalam proses produksi pilek, para pengrajin pliek dapat menjual tiga produk. Pliek selaku yang utama, kemudian minyak kelapa dan batok kelapa. Semua itu tak sulit untuk dijual. Sudah ada langganannya masing-masing. “Dalam 1 ton kelapa terkadang keluar minyak sekira 60 kilogram,” imbuhnya.

Sejauh ini, tambah Zubaidah, hampir seluruh warga gampong Tanoh Anoe berprofesi sebagai pengrajin pliek, di samping ada yang menjualnya sendiri ke pasar-pasar di berbagai kabupaten kota di Aceh. Hanya satu dua pembeli dari luar kampung yang terkadang datang langsung ke tempat produksi.

Bila pun telah menjadi pengrajin pliek dari bertahun lamanya. Zubaidah tak pernah sekalipun berputus asa pada keadaan. Hari-hari ia lalui sebagai pengrajin pliek dengan penuh semangat, melewati aral rintang musim; musim kemarau dan musim hujan. Belum lagi harga bahan baku kelapa yang semakin hari semakin meningkat. Hanya bermodalkan semangat dan modal pas-pasan, ia merintis usahanya dari tahun ke tahun.

“Dari hasil produksi pliek ini, saya bisa menghidupi keluarga saya. Semua kebutuhan hidup kami, semuanya tergantung pada usaha ini,” tutup Zubaidah.

Penulis Adam Zainal