Oleh: Ridhalul Ikhsan
Membicarakan kembali tentang wanita Aceh itu laksana membaca roman kebanggaan dimana setiap fragmennya berhasil meledakkan kekuatan alam bawah sadar untuk muncul ke permukaan. Sebenarnya, ia tidak hanya dibicarakan di dalam ruang-ruang diskusi, namun ditulis juga dalam text, baik dalam literasi kekinian maupun sejarah.
Sewaktu R. A. Kartini masih berjuang mendapatkan haknya wanita Indonesia, jauh beberapa abad silam, wanita Aceh telah merasakan hak-hak penuhnya yang bersanding seirama dan proporsional dengan pria. Kesemua mereka itu merupakan sosok teladan yang memperlihatkan jiwa pejuang nan kesatria dan tangguh yang sebanding dengan kaum pria, disamping itu juga memiliki sifat penyabar, tabah, penyayang dan halus.
Banyaknya wanita Aceh yang tampil sebagai pejuang, pendidik, pemimpin dan pengayom keluarga seakan telah mewakili seluruh wanita Aceh untuk memperlihatkan jati dirinya yang spesial.
Jati diri itu tampaknya dibentuk secara natural oleh dua variabel, yaitu pendidikan agama dan budaya. Kedua variabel pendidikan ini bermula dari keluarga, di mana sang ibu (wanita) sebagai tokoh utama. Pendidikan agama diisi dengan materi akhlak dan budaya di isi dengan cerita keteladanan, seperti riwayat nabi, sahabat dan tokoh-tokoh ulama. Khasanah itu diperlengkap dengan hadirnya cerita rakyat (folklor) mengenai keteladanan wanita.
Dalam kancah perang Aceh. Oleh wanita Belanda, setiap peperangan membawa penderitaan pribadi kepada para wanita, sehingga diperlukan paling sedikit suatu usaha yang sama besarnya untuk menanggulanginya. Yakni, menanggung dan menjalaninya.
Kaum wanita, mereka itu tinggal dan menunggu dirumah. Melalui “Pintu Gerbang Penanggungan” yang untuk kebanyakan mereka selalu terbuka lebar. Kecemasan dari deringan pesawat telepon yang tiba –tiba adalah sama artinya dengan berita telepon yang tak kunjung tiba. Bila hal ini terjadi dengan sangat lama, maka kecemasan itu dapat berubah menjadi hantu yang menakutkan di dalam rumah. Suara gemersik kaki yang tiba-tiba, suara ketukan lembut di pintu atau suara orang di kejauhan cukup menempatkan mereka yang sedang bingung. Karena bukan tidak mungkin – dan ini selalu terjadi demikian – bahwa itu merupakan sebuah pesan mengenai sang suami ataupun seseorang yang telah tewas di Aceh.
Demikianlah terjadi dengan para wanita Eropa yang hidup dekat dengan medan peperangan. Mereka hanya mampu menatap lirih dalam sedih. Meraba – raba waktu dalam serpihan kebahagian yang tidak dapat mereka bina lagi. Semua kenangan tentang suaminya mereka simpan, dipeluk dicium – apakah itu sebuah topi bambu yang berlobang kecil bekas tembakan, buku catatan yang penuh gores tinta – sampai goresan itu terputus dan tak pernah ditulis lagi.
Begitulah semua mereka itu memiliki suatu dari kematian suaminya. Ada kalanya sebuah “Tanda Jasa” yang diperoleh pada akhir tahun berupa sebuah pedang yang telah rusak karena percobaan membela diri sewaktu diparang oleh mujahiddin Aceh hingga tewas. Maupun sebuah peluru yang di keluarkan dari tubuh suami nya pada waktu operasi. Di saat wanita-wanita Eropa itu terus menghayal tinggi akan kebahagian masa lalu, maka memerciklah air mata mereka itu. Hanya itu yang bisa mereka lakukan, tidak lebih!.
Mengenai wanita Aceh dapat di ceritakan, bahwa perannya di dalam peperangan sampai sekarang sukar untuk dinilai. Wanita Aceh, gagah berani, adalah penjelma dendam kesumat terhadap Belanda yang tak ada taranya serta tak mengenal damai. Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakan dengan suatu energi yang tak kenal maut dan biasanya mengalahkan prianya. Ia adalah pengemban dendam yang membara sampai ke liang kubur atau di hadapan maut pun masih berani meludah ke muka si “Kaphe”.
Kisah Heroik Pahlawan Aceh
Pada tahun 1909, oleh Belanda dimulailah pengejaran terhadap anggota – anggota keluarga terakhir ulama di Tiro digunung – gunung Tangse. Pada akhir tahun 1910, Belanda mengetahui lokasi persembunyain Teungku Mayet di Tiro beserta istrinya.
Dalam pengejaran tersebut, beruntung Teungku Mayet dapat meloloskan diri, tetapi istrinya ditemukan dalam kondisi terluka parah. Ia berseluar dan berbaju warna hitam, badannya tegap, berumur kira-kira tiga puluh tahun. Ia tertidur lentang dengan luka-luka akibat tembakan diperutnya. Juga dalam penderitaan ini ia menampakkan wajah yang gagah berani. Walau bagaimanapun sakit yang dideritanya, namun ia tidak mengerang sedikitpun.
Seorang tentara Belanda Schmidt mendekatinya dengan membawakan air minum. Secara sopan ia bertanya dalam bahasa Aceh, apakah ia tidak ingin dibalut lukanya. Dengan membuang mukanya wanita itu menghardik ;” Bek Kamat Kee, Kaphe Budok” (=Jangan Kau Pegang Aku, Kafir Kusta). Begitu kuat kebencian dan pendiriannya, Ia enggan dan jijik dipegang oleh seorang “Kaphee”. Ia bernama Cut Gambang, puteri Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.
Suatu ketika, dalam cerita lain – di daerah Pidie. Belanda berhasil menembak seorang mujahidin. Istrinya mendekapnya ke pangkuannya. Sewaktu melihat, bahwa suaminya tidak bernyawa lagi, ia membiarkannya terbaring ditanah lalu mengambil kelewang suaminya dan menyerbu brigade. Dengan sebuah tetakan, seorang marsose berhasil memukul pergelangannya hingga puntung, tetapi dengan tangan yang lain wanita ini memungut kelewang nya lagi yang telah merah gagangnya terkena darah dan kembali menyerbu sampai ia syahid, penuh dengan luka.
Wanita Aceh berjuang atas dasar “Sabilu’llah” (Jalan Allah) menampik setiap kompromi. Ia tidak mengkhianati wataknya sebagai seorang wanita dan hanya mengenal alternatif “Membunuh atau Dibunuh”.
Dikisahkan juga, seorang istri Teungku di Barat, dengan suaminya salah seorang suaminya hingga terpojok ke suatu tempat yang berbahaya sekali yang rahasianya hanya diketahui oleh marsose-marsose pada masa itu. Teungku dan istrinya serta beberapa orang pengikutnya terjepit di antara gunung-gunung.
Dalam sekejap mata saja semua mereka telah siap sedia menghadapi segala kemungkinan, sementara wanita itu berdiri disamping suaminya. Sebuah peluru mengenai lengan kanan Teungku, dengan segera ia menyerahkan karabennya kepada istrinya yang kini berdiri didepannya sebagai pelindung. Sebuah peluru menembusi tubuh wanita itu, kemudian suaminya. Keduanya roboh dan gugur. Sebuah bentuk keberanian sejati, yang ditunjukkan sang istri kepada teungku. Keduanya memilih mati syahid, suatu akhir kebahagian yang tidak dapat dituliskan.
Bagi Belanda , tidak ada satu bangsa yang begitu bersemangat dan fanatik dalam menghadapi musuh selain bangsa Aceh dengan wanita-wanitanya yang jauh lebih unggul dan berani menghadapi maut.
Bahkan dalam mempertahankan sesuatu pendirian yang merupakan kepentingan nasional dan agama, para wanita baik dibelakang layar maupun secara terang-terangan telah memimpin perlawanan yang tak kalah unggulnya dari kaum pria.
Ia menuju ketempat tidur pengantin dengan api yang menyala-nyala sebagai seorang wanita yang sedemikian panasnya, tetapi dengan nafsu yang demikian pula ia menuju ke medan perjuangan senjata. Ia tak pernah gentar mengikuti suami dan pasukan-pasukannya dalam pertempuran maupun dalam perjalanan mengarungi rimba raya dengan kekurangan dan bahaya yang tak luput dari intaian pasukan marsose yang berada dimana-mana.
Ia menerima kandungannya dalam peperangan dan di situ pula ia melahirkan, kadang – kadang antara dua buah peperangan dan semua itu selalu penuh dengan ketegangan. Kemudian ia berpindah-pindah dengan pasukan suaminya. Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya. Kadang pula disampingnya atau dihadapannya dan ditangan yang kecil mungil itu kelewang dan rencong dapat berubah menjadi alat-alat senjata yang sangat dahsyat.
Wanita-wanita seperti ini ratusan jumlahnya, mungkin juga ribuan, dan keberanian mereka turut menimbulkan kekaguman dipihak Belanda. Tentunya tidaklah dapat dideskripsikan ketokohan wanita Aceh tersebut satu persatu.
Sejak Snouck Hurgronje menyikap tatacara kehidupan orang Aceh, mulailah orang mempelajari secara teratur tentang perhubungan-perhubungan yang bertautan dengan kehidupan wanita Aceh. Terutama keturunan dan perkawinan merupakan hal-hal yang terpenting untuk mengetahui garis-garis perhubungan dikalangan para uleebalang dan ulama serta titik-titik pengaruhnya. Tokoh-tokoh wanita ternyata selalu berada pada titik-titik sambung itu.
Pengaruh Cut Nyak Dhien juga memaikan peranan yang amat penting dikalangan penduduk, baik dikalangan atas maupun dikalangan bawah. Cut Nyak Dhien terus menggembleng semangat patriot para wanita guna membantu peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dan agama. Ia juga mengajarkan wanita-wanita cara mendidik bayi, menanamkan semangat kepahlawanan dan kesatriaan melalui syai-syair seperti;
Allah hai dô dô da idang
Seulayang blang ka putôh taloe
Beurijang rayek muda seudang
Tajak bantu prang tabila nanggroe
Itulah sepenggal syair Cut Nyak Dhien untuk membangkitkan perjuanangan, Banyak syair-syair yang disusun oleh Cut Nyak Dhien sendiri untuk menanamkan semangat jihat kepada anak-anak sejak dimulai dalam ayunan sampai besar. Dalam tubuh anak-anak itu tertanam semangat jihad. Cut Nyak Dhien juga menjadikan dirinya seorang guru kepada seorang murid.
“ Hai Jantung hatiku, hai anakku lekaslah besar karena engkau seorang laki-laki dan ayah datuk laki-laki dan perlihatkanlah kesatriamu, karena kafir (Belanda) hendak menjajah negeri kita (Aceh), hendak menyebarkan agamanya yaitu agama kafir dan hendak menjajah tanah air kita serta memperbudak kita orang Aceh. Pertahankanlah agama kita yaitu Agama Islam”.
Cut Nyak Dhien juga berhasil menanamkan pengaruhnya seperti di Meulaboh, Uleebalang, datuk-datuk, penghulu-penghulu dan lain- lainnya mulai dari tertinggi sampai terendah, Serangan-serangan kelewang yang hebat dialami Belanda umumnya digerakkan oleh pejuang-pejuang atas instuksi Cut Nyak Dhien. Segala perjuangan yang ada dia Aceh, terutama di Aceh Besar adalah menurut petunjuknya.
Kita bangsa Aceh kini, patut bersyukur mempunyai banyak nenek yang “Jenggo” di zaman itu, karena tumpah darahnya lah Agama Islam dan Tanoh Aceh ini dapat dipertahankan. Belanda harus menerima pukulan yang cukup keras dengan tidak disangka bahwa perjuangan mujahiddin Aceh tidak hanya di dominasi oleh lelaki saja, tetapi keterlibatan wanita didalamnya membuat perang Aceh berlangsung cukup panjang, dengan penggelembungan biaya perang serta beban psikologis yang harus ditanggung dan sangat menyakitkan dipihak Belanda.
Rasanya tak ada seorang penulis roman manapun yang sanggup dan berhasil mengungkapkan daya khayal yang segila – gilanya seperti yang telah dibuktikan oleh wanita Aceh dalam kenyataannya.
Penulis merupakan pemerhati Sejarah