Iklan Lintas Nasional
Daerah  

Begini Tanggapan Budayawan Aceh Terkait Larangan Musik di Bireuen

LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Budayawan serta Seniman Aceh Nab Bahany As menanggapi terkait Surat Edaran Pj. Bupati Bireuen terkait larangan Live Musik di Cafe-cafe, Hotel dan tempat umum lainnya.

Nab Bahany menyebutkan, setelah akhir tahun lalu, dunia seni budaya Aceh viral oleh polemik (pro-kontra) soal pelarangan musik yang difatwakan MPU Aceh, Nomor 12 tahun 2013.

“Kini dunia seni budaya Aceh kembali dihenyakkan oleh Surat Edaran Pj. Bupati Bireuen, yang melarang penggunaan alat musik dlm syair dan nyanyian-nyanyian, terutama dalam wilayah teritorial Kabupaten Bireuen,” kata Nab Bahany pada Minggu 5 Maret 2023

ia menyebutkan, pelarangan itu juga didasarkan pada fatwa MPU Aceh, nomor 12 Tahun 2013, tentang pelarangan menggunakan alat musik dalam lantunan-lantunan syair dan nyanyian.

Padahal, kata Nab Bahany, persoalan seni musik dalan Islam ini, tahun 2022 kemarin, telah dibuat sebuah diskusi publik yang diinisiasi oleh Disbudpar Aceh, di Hotel Hermes Banda Aceh.

Diskusi itu dimaksudkan untuk memperoleh kesamaan pandangan, terutama di Aceh, terhadap bagaimana sebenarnya kekedudukan seni dalam Islam.

Dalam diskusi publik itu, dihadirkan Ketua MPU yang diwakili Wakil Ketua MPU Aceh, ahli sejarah kebudayaan Islam dari UIN Ar-Raniry, dan ulama-ulama pimpinan dayah yang ada di Banda Aceh serta Aceh Besar, sebagai pembicara dalam diskusi publik itu.

“Hasil diskusi tersebut melahirkan tiga rekomendasi, salah satu rekomendasinya menghimbau MPU Aceh agar dapat meninjau kembali (mengkaji ulang), salah satu butir fatwanya yg melarang alat musik di Aceh, seperti gitar, piano, bas, seruling, biola dan sejenisnya,” lanjutnya

Budayawan Aceh itu juga mengatakan, untuk diketahui, persoalan pengembangan seni budaya di Aceh, termasuk seni musik, telah pernah diselesaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh tahun 1972, yaitu masa Tgk. Abdullah Ujong Rimba selaku ketua MUI Aceh saat itu.

Ia menguraikan, dalam keputusan MUI Aceh tahun 1972, yang ditandatangani Tgk. Abdullah Ujong Rimba sama sekali tidak melarang (mengharamkan alat musik). MUI Aceh dlm keputusannya tahun 1972 itu, hanya memberikan rambu-rambu bahwa setiap pengembangan seni budaya Aceh, dapat disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

“Itu artinya, silahkan Anda bermusik, asal musik yang Anda gunakan tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam,” sebut Nab Bahany

Katanya lebih lanjut, bagaimana Islam tidak membolehkan musik. Sementara dalam sepanjang sejarah Islam sendiri, teori-teori tentang musik dikembangkan oleh ulama-ulama (para filosof-filosof) Islam terkemuka di abad-abad kejayaan peradaban Islam.

“Para filosof-filosof Islam dulu telah menulis ratusan kitab-kitabnya tentang teori musik. Ibnu Sina selain dikenal sebagai ahli kedokteran, beliau juga seorang pakar musik dalam dunia Islam,” tuturnya

Oleh karena itu ia mempertanyakan, bagaimana musik diharamkan dalam Islam, karena musik bagian dari satu kemajuan budaya dalam sejarah kejayaan Islam.

“Lalu kenapa musik ini kemudian menjadi sesuatu yang haram dalam Islam. Padahal, dalam sejarah Islam itu, musik ini adalah bagian dari salah satu kemajuan kebudayaan Islam dalam sejarah kejayaan peradaban umat Islam itu sendiri,” pungkas Nab Bahany As (AN)