Oleh: Fauzan Azima
Mungkin kita sudah bosan mendengar kata “banjir” karena dari tahun ke tahun terus terjadi berulang-ulang. Tidak ada upaya bersama-sama dan sungguh-sungguh untuk mengatasi banjir. Kita tidak peduli lagi terhadap korban banjir. Inilah sebagai bukti kurangnya kepekaan terhadap saudara kita yang terkena musibah bencana alam.
Banjir adalah akibat dari sebab curah hujan tinggi dan luas tutupan hutan semakin berkurang sehingga daya dukung alam tidak mampu lagi menyerap air ke dalam bumi, ditambah air laut pasang naik sehingga air tergenang dan tidak dapat diteruskan ke muara.
Demikianlah penyebab terjadinya banjir secara umum, namun pada masing-masing daerah punya kasus spesifik yang menjadi penyebabnya. Misalnya di Aceh Utara, Krueng Keureto yang seharusnya menjadi sumber air untuk persawahan dan sekaligus juga sebagai pengendali banjir, namun kabarnya beberapa oknum masyarakat belum mau membebaskan tanahnya untuk pelebaran bendungan itu.
Di samping itu, banjir di Aceh Utara juga disebabkan oleh deras dan lamanya hujan di hulu atau “air kiriman” dari Kabupaten Bener Meriah yang hutannya tidak mampu lagi menyerap air. Luas tutupan hutan dalam sepuluh tahun terakhir tergerus secara signifikan karena pembukaan perkebunan dan ilegal logging.
Dalam menghadapi situasi seperti ini seharusnya ada “subsidi silang”. Pemerintah Kabupaten yang ada di hilir harus memberikan insentif kepada kabupaten yang ada di hulu dengan tujuan untuk menyelamatkan hutannya. Semakin kuat pemerintah dan masyarakatnya menyelamatkan hutannya, semakin banyak insentif yang diberikan.’
Faktanya sekarang justru terbalik. Bukan saja tidak memberi bantuan dana, justru para ilegal logger masuk dari kabupaten hilir merambah hutan-hutan di kabupaten hulu. Illegal logger banyak merambah hutan di Bener Meriah, terutama di daerah Pasir Puteh, Kecamatan Syiah Utama.
Kita tahu, siapa pelaku “ilegal logging” tersebut karena hampir setiap malam keluar beberapa truck kayu-kayu hasil curian di hutan yang lewat di depan mata kita. Memang secara hukum itu tidak dibenarkan, tetapi dengan alasan tidak memiliki pekerjaan dan keahlian lain selain “main kayu” maka kita pun tidak berani tegas terhadap prilaku yang merusak alam itu.
Sedangkan di daerah Peureulak, Aceh Timur, pemukiman penduduk terkena dampak banjir juga menggenangi seribu hektar lebih sawah milik masyarakat yang sedang akan dipanen. Kekhususan penyebab banjir di sana; tidak ada kanal pengendali meluapnya air yang menyebabkan air tergenang.
Banjir sudah menjadi agenda tahunan. Sayangnya, tidak ada upaya bersama, khususnya Pemerintah Kabupaten membahasnya secara serius untuk mengantisipasi banjir. Ketika terjadi bencana hanya memberikan bantuan masa panik berupa pangan dan sandang. Belum ada yang secara terintegrasi membuat “green infrastructure design” pengendalian banjir jangka panjang.
Salah satu contoh penyelesaian pengendalian banjir yang dilakukan oleh Kabupaten Aceh Tamiang yang selalu mengalami banjir setiap enam tahun sekali atau disebut “siklus enam tahunan”. Secara khusus penyebab banjir kabupaten yang berbatas dengan provinsi Sumatera Utara itu adalah ekspansi secara illegal perkebunan sawit yang merambah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Meskipun belum terintegrasi dengan sempurna; berkat kerja sama; Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang bersama Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) dengan Polda Aceh dan Polres Aceh Tamiang untuk melakukan penyitaaan terhadap perkebunan sawit ilegal, menebangnya dan menghutankan kembali lahan-lahan sawit illegal itu. Sehingga pada tahun 2012 Aceh Tamiang aman dari banjir.
Sebenarnya mudah “membaca” penyebab banjir di setiap kabupaten. Hanya saja kadang pemerintah dan masyarakat malu mengungkapkannya. Bahkan boleh disebut hanya segelintir orang saja yang berbuat yang menyebabkan banyak korban banjir, tetapi sesama kita masih menutup mata. Sehingga setiap kali banjir terjadi, pemerintah hanya perlu memberikan santunan masa panik. Tidak berupaya, bagaimana supaya tidak terjadi lagi banjir pada masa yang akan datang.
Penulis Merupakan Eks Panglima GAM Wilayah Linge