
LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Kepemimpinan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh kembali mendapat sorotan tajam dari Pengamat Politik dan kebijakan publik Aceh Usman Lamreung.
Pasalnya kepemimpinan Nova Iriansyah sebagai diselimuti berbagai permasalahan terkait pengambilan kebijakan yang dianggap telah merusak tata kelola Pemerintahan dan Birokrasi di Pemerintahan Aceh saat ini.
Usman menilai pencopotan tujuh Kepala SKPA dan sejumlah pejabat di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin diduga tanpa adanya proses penilaian dan pertimbangan yang objektif, kemudian, ditolaknya permohonan kasasi Gubernur Aceh dalam gugatan Tata Usaha Negara (TUN) terkait kepengurusan Majelis Adat Aceh (MAA) juga menambah catatan hitam dalam pengelolaan pemerintahan oleh Nova Iriansyah.
Memang, baru-baru ini Gubernur Aceh Nova Iriansyah telah merombak tujuh pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh, mereka yang dicopot antara lain adalah Kadis Koperasi dan UKM, Kepala Arpus, Direktur RSUZA, Wadir Umum RSUZA, Wadir Penunjang, Direktur RSIA, dan Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan.
“Pergantian sejumlah pejabat tersebut oleh Gubernur Nova terindikasi tidak sesuai dengan mekanisme dan tata kelola pemerintahan yang baik dan terkesan tanpa perencanaan yang matang,” kata Usman pada Jumat 8 Januari 2020
Akademisi dari Universitas Abulyatama tersebut menjelaskan, tata kelola pemerintahan telah diatur tentang mekanisme pemberhentian dan pengangkatan pejabat sehingga keputusan yang diambil bisa berjalan objektif.
Disisi lain menurut Usman, pemberhentian para pejabat tersebut juga tidak mempunyai perencanaan yang matang, hal ini terlihat dari penunjukan pejabat pengganti dengan status Pelaksana Tugas (Plt).
Padahal, sebelumnya mekanisme evaluasi kinerja serta pelibatan tim penilai dijalankan dengan baik dalam penentuan pejabat dilingkungan Pemerintah Aceh.
“Bila dianggap bersalah dan keluar jalur dalam menjalankan tugas, seharusnya ada surat peringatan pertama sampai ke tiga, ini tampaknya tak terjadi, tiba tiba di copot, seperti tidak ada dalam rencana, karena setelah dicopot tak ada yang definitif, hanya ditunjuk Plt,” Jelas Kandidat Doktor dari Universitas Merdeka Malang tersebut.
Padahal lanjut Usman, penunjukan pejabat pengganti dengan Plt justru menambah beban kerja para pejabat tersebut dan dikhawatirkan akan menganggu kinerja organisasi pemerintahan.
“Ada apa ini? Kok sepertinya Gubernur dan Sekda telah merusak birokrasi dan tata kelola Pemerintah Aceh,” Tanya Usman
Usman menduga, pergantian yang tiba-tiba tersebut erat kaitannya dengan konstelasi politik di Aceh akhir-akhir ini, sehingga pergantian tersebut bisa jadi disebabkan karena dugaan kurangnya loyalitas kepada sang Gubernur.
Memang menurut Usman, pencopotan dan pergantian pejabat dalam lingkungan pemerintahan dan birokrasi adalah hal yang biasa dan lumrah sebagai bentuk penyegaran
Namun menurutnya, pergantian yang tidak sesuai dengan mekanisme dan etika yang berlaku menjadi permasalahan yang dapat merusak tata kelola pemerintahan dan birokrasi.
“Pertanyaannya adalah apakah pencopotan pejabat eselon tersebut sudah sesuai dengan aturan, atau jangan-jangan pencopotan pejabat tersebut lebih hanya untuk kepentingan politis,” Tanya Usman.
Oleh sebab itu, kondisi beban kerja Pemerintah Aceh saat ini, seperti pandemi Covid-19 dan berbagai permasalahan lainnya membutuhkan kerja cepat, tepat, dan profesional.
“Tapi dengan banyaknya Plt, bagaimana berjalannya birokrasi dan tata kelola Pemerintahan yang baik serta pencapaian program sesuai target?,” Sebut Usman.
Usman justru heran, penunjukan posisi Plt di sejumlah SKPA seakan-akan menunjukkan bahwa Aceh saat ini sedang kekurangan figur yang dapat dipercayakan untuk memimpin posisi tersebut, padahal menurut Usman, hal itu tidak tepat karena Aceh memiliki putra-putri terbaik dengan kapasitas yang mumpuni, sehingga Ia melihat penunjukan Plt tersebut hanya persoalan ketidakpercayaan Nova Iriansyah saja.
“Apakah tidak ada orang lain di Pemda Aceh sehingga di tunjuk Plt, atau jangan-jangan ada kong-kalikong sehingga mesti diangkat Plt,” pungkas Usman Lamreung (Red)