LINTAS NASIONAL – SURABAYA, Praktisi hukum Moch. Yusron Marzuki menegaskan, Dewan Kehormatan (DK) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat, terkait adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oknum advokat.
Hal itu menindaklanjuti wacana dikirimkannya pengaduan ke sekretariat DK Peradi oleh Ngambri Sudipo, warga Kabupaten Lamongan, terhadap dugaan pelanggaran kode etik advokat Edi Yusuf.
“Yang penting pengaduan itu disertai dengan bukti. Syukur-syukur dilengkapi dengan adanya laporan dugaan pidana yang telah dilaporkan ke kepolisian sebelumnya. Dan lebih bagus lagi apabila kasus pidananya itu sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap,” ujar Yusron, Jumat 20 November 2020.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya ini mengatakan, DK Peradi tidak memeriksa terkait perkara dugaan pidananya. Jadi murni memeriksa terkait dugaan pelanggaran kode etik oknum advokat.
“Silahkan saja dikirim pengaduannya apabila masyarakat merasa ada yang dirugikan oleh advokat. Namun DK tidak melakukan pemeriksaan terhadap perkara pokoknya, bukan kewenangan DK,” imbuh salah satu anggota majelis DK Peradi Jatim ini.
Berdasarkan Laporan Polisi bernomor LP-B/785/X/Res.1.9./2020/UM/SPLT Polda Jatim, Ngambri Sudipo, warga Perum Griya Agung Permata, Plaosan, Babat Lamongan melaporkan advokat Edi Yusuf, Rabu 7 Oktober 2020 lalu.
Edi merupakan kuasa hukum Ngambri pada perkara perdata yang sempat diproses melalui Pengadilan Negeri (PN) Lamongan, pada 2017 lalu. Pengacara yang berkantor di Ruko LTC Kabupaten Lamongan tersebut, dilaporkan atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHPidana.
Saat dikonfirmasi, Ngambri merasa keberatan dengan upaya hukum yang dilakukan Edi Yusuf selaku kuasa hukumnya. “Bukan karena hasil putusannya, melainkan apa yang dilakukan terlapor tanpa koordinasi dengan saya selaku pemberi kuasa pada proses hukum di tingkat pertama,” ujarnya sesaat usai keluar dari SPKT Polda Jatim.
Sedangkan, I Ketut Sudiharsa, selaku penasihat hukum pelapor, menduga ada kejanggalan dalam proses hukum waktu itu. Menurut I Ketut, Ngambri hanya sekali tanda tangan kuasa saat proses hukum gugatan perdata berjalan di PN Lamongan. Namun, belakangan diketahui ada surat kuasa “lain” tanpa sepengetahuan dirinya pada berkas hingga tingkat Peninjuan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA).
“Dalam surat kuasa tersebut tertera tanda tangan Ngambri yang menerangkan bahwa seakan-akan telah memberikan kuasa kepada terlapor guna menempuh proses hukum kasasi, padahal pelapor mengaku tidak pernah tanda tangan pada surat kuasa tersebut,” ujar I Ketut.
Tak hanya itu, tanda tangan Ngambri yang diduga dipalsu, juga tertera pada surat kuasa tertanggal 20 September 2019 pada berkas permohonan Peninjuan Kembali (PK) yang diajukan Edi Yusuf melalui Panitera PN Lamongan, pada 26 September 2019.
“Jadi kita menduga ada beberapa tanda tangan Ngambri yang diduga palsu dalam surat kuasa, kita serahkan ke pihak berwajib untuk menelusuri dugaan tersebut,” terang I Ketut. (Red)