Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Opini  

Full Kasih Sayang atau Mereka Menjadi Sampah?

Refleksi 16 Tahun Damai Aceh

Oleh: Fauzan Azima

Tidak ada kalimat yang paling pantas diucapkan, kecuali rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menyelamatkan kami dari medan perang. Dalam sumpah kami; nyawa, harta dan keluarga telah kami hibahkan untuk Aceh.

Penyerahan diri kepada Allah SWT dengan penuh rasa ikhlas kalau sewaktu-waktu tertembak oleh senjata musuh pun telah kami lalui. Alhamdulilah, sampai saat ini kami masih bisa menyaksikan sejarah perjalanan bangsa dengan segala problematikanya.

Perjanjian damai RI-GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinky, Finlandia bagi kami setidaknya sebagai perpanjangan usia harapan hidup yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Keselamatan hidup adalah hal yang utama dan terutama bagi kami, meskipun kami sudah siap dan rela mati demi Aceh tanah mulia.

Pasca damai Aceh, dalam perjalanan hidup, tentu ada harapan dan keinginan. Tidak saja untuk pribadi yang mulai dari nol dalam menata hidup dan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga harus ada cita-cita untuk masa depan Aceh.

Lahirnya emplementasi MoU Helsinky, yakni UUPA adalah “setengah” dari merdeka. Sayangnya tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Kita terlalu lama larut dalam euforia. Sehingga lupa tugas utama; mensejahterakan masyarakat yang sudah terlalu lama hidup dalam konflik.

Semangat dari MoU dan UUPA adalah kepemilikan dan pengelolaan SDA agar kelak tidak ada lagi bahasa, “Kita dapat perang, minyak dan gas alam kita diambil orang.”

Kalau kita bandingkan zaman konflik dengan Aceh hari ini, ibarat batu sudah pecah seribu. Hubungan antara sesama orang Aceh semakin renggang. Rasa kasih sayang telah hilang. Bata-bata kebencian disusun untuk semakin berpuak-puaknya Aceh.

Mengkontemplasikan keadaan ini, rasanya sulit bagi Aceh untuk maju dan sejahtera, yang syaratnya tidak lain adalah bersatu dalam mempercepat ke arah perubahan lebih baik. Perpecahan akan membuat Aceh stagnan, bahkan semakin mundur.

Aceh kini seperti kita memasuki kawasan yang tidak dikenal. Bingung, dari mana mulai menatanya. Bahkan ketika Gubernur Nova Iriasyah menjalankan roda pemerintahan dengan “On the track” juga tidak didukung.

Hampir semua sektor masih seperti “semak belukar”. Termasuk juga dalam sektor pendidikan yang selama ini kita anggap dunia paling ideal, ternyata di dalamnya jauh dari harapan.

Dunia pendidikan adalah gerbang kemajuan Aceh. Ternyata akar masalah selama ini, tidak ada kasih sayang terhadap peserta didik. Kasih sayang full akan “manusialah” mereka sebagai generasi penerus.

Sebaliknya kalau tidak ada kasih sayang maka mereka akan menjadi “sampah” atau “najis”. Hakikat najis adalah dalam bahasa Aceh “na” berarti “ada”, sedang “jis” adalah “jin, iblis, syetan” bersarang di dalam jiwanya.

Besar harapan agar semua pihak mendorong pendidikan Aceh maju. Semua pihak harus terlibat aktif memberikan masukan yang konstruktif. Tidak saling menyalahkan dan merendahkan. Sampaikan nasehat dengan “bil hal” dengan amaliah nyata sehingga saling melengkapi untuk kemajuan Aceh.

Penulis merupakan Mantan Kombatan, sekarang sebagai Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Pendidikan