Iklan Lintas Nasional
Opini  

Gerilyawan GAM Linge, ‘Ular Cobra dan Suara Senjata Musuh Jadi Obat Malaria’

 

Oleh: Fauzan Azima

Hampir seluruh pasukan GAM Wilayah Linge pernah merasakan sakit malaria. Penyakit ini menyebar lewat gigitan nyamuk, namun bisa juga lewat telurnya pada air tergenang atau air sungai kecil yang langsung diminum tanpa dimasak.

Sebagai mana penyakit biasa, malaria mudah menyerang orang yang memiliki imun tubuh yang rendah. Dipastikan pasukan GAM Wilayah Linge selama berada di hutan makan dan tidur tidak teratur, sehingga sangat rentan terpapar penyakit,
terutama malaria.

Pasukan yang sakit malaria sudah mengetahui waktu datangnya demam tinggi yang dimulai dengan tubuh dingin sampai ke tulang. Sebelum masuk jam menggigil mereka sudah menyiapkan ayun dan kain sarung sebagai selimut. Kurang lebih waktunya sekitar satu jam penderita mengalami demam tinggi dalam sehari semalam.

Tengku Ibni Faisal atau Pang Medang menyambut waktu kedatangan “jam” sakit malaria dengan tertawa terbahak-bahak. Perilaku itu sebagai bentuk “pengobatan” alami untuk membangkitkan semangat agar tidak terpuruk dari sisi mental pasukan.

Setelah melewati waktu itu, seolah penderita malaria tidak pernah sakit. Pasukan kembali sehat seperti sedia kala, sampai menunggu besok hari lagi, pada waktu yang sama. Kalau tidak ada obat, paling kurang satu minggu penyakit mematikan itu bersarang pada tubuh penderitanya.

Para pasukan mengantisipasi sakit malaria dengan selalu membawa obat reboquin atau cloroquin; baik yang didapat dari toko obat, masyarakat maupun dari Pos TNI melalui masyarakat yang berpura-pura sakit malaria, kemudian diberikan kepada pasukan GAM. Obat malaria khusus TNI itu berwarna hijau dan sangat paten.

“Saya sendiri hanya minum satu butir dan sampai sekarang tidak pernah lagi terserang sakit malaria” kata Wakil Panglima GAM Wilayah Linge, Tengku Chalidin Gayo alias Pang Jangko Mara.

Disamping obat kimia, ada juga cara penyembuhan lewat pengobatan alternatif. Di antaranya minum air rebusan daun pepaya, akar tumbuhan Tongkat Ali sampai cara yang ekstrem, yakni ular cobra yang “diperabuarang” atau dibakar dan digosongkan.

Tengku Ibnu Sakdan atau populer dengan panggilan Syech Sapuarang sudah tiga tahun menderita sakit malaria. Segala macam obat dan ramuan sudah dicoba, namun penyakit malaria tidak bergeming juga. Keadaan sakit-sakitan membuat pasukan; Pang Ekonomi, Pang Ujang Mera dan Pang Rela mencari obat yang tidak lazim.

“Apakah rasa kopinya enak, Ama?” tanya Pang Ekonomi kepada Syech Sapuarang.

“Inilah kopi yang paling nikmat di dunia” jawab Syech Sapuarang sambil tertawa terbahak-bahak.

Keringatnya mulai bercucuran. Mukanya yang semula putih pucat, kini mulai memerah kembali. Tubuhnya yang biasa lunglai, tampak semakin kuat. Seperti bukan dirinya selama tiga tahun terakhir ini. Tidak perlu lagi pada waktu-waktu tertentu menyiapkan diri menyambut demam tinggi. Syech Sapuarang benar-benar sudah bebas dari Malaria.

“Kami mohon maaf, Ama,” lanjut Pang Ekonomi, “Kopi yang Ama minum sudah kami campur dengan ular cobra yang sudah kami perabuarang. Sekali lagi kami mohon maaf, Ama.”

“Alhamdulilah..terima kasih atas kesetiaan kalian semua. Berkat kopi ular cobra yang kalian buat, saya sudah sembuh total sekarang. Sekali lagi terima kasih” kata Syech Sapuarang dengan gembira sambil mendendangkan sebait syair.

“GAM Wilayah Linge olok nyanya
Atan uten sabe gerilya
Lang Ike sakit malaria
Enti lupen uwake perabuarang lipe cuala.”

Berbeda dengan Tengku Ismuddin alias Pang Renggali; sebagai mana Syech Sapuarang, sudah berobat kemana-mana; tabib, dukun, juga sinshe tidak mampu mengobatinya, sampai terjadi perang antara pasukan GAM dengan TNI di daerah Krueng Keureuto, Bayu, Wilayah Samudera Pase (Aceh Utara).

Dalam perang itu, pasukan berlari ke seberang sungai untuk menyelamatkan diri dari kepungan musuh. Pang Renggali yang sedang menderita sakit malaria menahun, ternyata bisa lari kencang serta dengan mudah menyeberangi sungai. Sejak perang itu, Pang Renggali sembuh total dari sakit malaria.

Malaria bukan penyakit “bercanda”. Menurut catatan WHO, pada tahun 2015 tercatat 214 juta kasus malaria baru di seluruh dunia dan 438.000 penderitanya berujung pada kematian. Dari jumlah penderita, 90 persen penderita dari Wilayah Afrika, sisanya 7 persen dari Asia Tenggara dan 3 persen dari belahan dunia lainnya.

Penulis merupakan Mantan Gubernur GAM Wilayah Linge

Bersambung