Tak banyak yang kenal dengan lelaki senja ini. Namanya Ismail Aiyub (65) tahun, ia merupakan orang pertama yang membuat Logo Kabupaten Bireuen pada Tahun 2000 silam.
Angin gunung berembus sendu, matahari hendak beranjak ke barat langit Bireuen di petang itu. Seorang lelaki senja ditemani putri sulung sedang berleha di atas sebuah Jambo di beranda rumahnya.
Jambo merupakan sebutan orang Aceh kepada Lesehan atau benda serupanya, yang biasanya digunakan sebagai tempat menjamu tamu atau tempat istirahat.
Lelaki itu adalah Ismail Aiyub (65) seorang seniman seni rupa Bireuen yang tentu tak dikenali banyak orang. Kesehariannya, Ismail hanya menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga tercinta selepas Pensiun dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Maret 2015 lalu.
Namun, ada yang menarik dari sosok Ismail, ia merupakan pembuat logo Kabupaten Bireuen, sebermula kabupaten berjuluk Kota Juang tersebut melebur dari Kabupaten Aceh Utara beberapa puluh tahun yang lalu.
Ditangan apik Ismail, logo Kabupaten Bireuen dipatenkan dan menjadi simbol kebesaran Kabupaten berjuluk Kota Juang tersebut sampai dengan hari ini. Namun, yang amat miris dan mengikis batin, sosok Ismail tak banyak dikenali orang, pun terkesan tak dikenali oleh kalangan pejabat Bireuen, padahal karyanya patut dikenang sepanjang masa.
Kisahnya bermula ketika awal pertama berdirinya Kabupaten Bireuen. Pada tahun 2000, yang kala itu dipimpin oleh Drs. Hamdani Raden sebagai tampuk pimpinan pertama kabupaten tersebut Ismail merupakan sosok yang memiliki jasa dan andil besar. Akan tetapi, nasibnya kini serupa kacang yang kehilangan kulit.
Ditemui lintasnasional.com di gubuk sederhananya Minggu 5 Juli 2020 tahun lalu di Gampong Tanjong Bungong, Kecamatan Jeunieb, Kabupaten Bireuen, sedikitnya Ismail mengisahkan tentang awal mulanya ia mengikuti sayembara penciptaan logo Kabupaten tercinta tersebut.
“Saat itu diadakan sayembara pembuatan Logo oleh Pemkab dengan membentuk Tim panitia dan siapa saja bisa mengikutinya,” kata Ismail lugas.
Ismail menjelaskan, pada saat itu ada 23 peserta yang mengikuti sayembara, salah satunya adalah dirinya yang waktu itu masih berstatus PNS di bawah dinas Pendidikan Kabupaten Bireuen.
Meskipun tidak diumumkan seberapa besar hadiah bagi pemenang lomba, kata Ismail, namun ia tidak memikirkan hal itu, karena sejak awal ia tertarik mengikuti sayembara tersebut karena dari kecil Ismail mempunyai bakat melukis dan seni rupa.
Dihubungi kembali Lintasnasional, Minggu 19 September 2021 kondisi Ismail saat ini dalam keadaan kurang sehat. Hal itu disampaikan oleh putranya Agus di seberang gawai.
Kini, kondisi lelaki kelahiran 1 Februari 1955 tersebut tak sebugar dan sesehat dulu lagi, namun menurutnya, meskipun kondisinya sekarang sudah sakit-sakitan tapi ingatannya masih sangat kuat akan romantika dan nostalgia awal berdirinya Kabupaten Bireuen.
Dengan penuh semangat, Ismail menceritakan sejarah sayembara cipta logo Bireuen yang masih dipakai hingga saat ini kepada Lintasnasional.com secara gamblang dan lugas.
Terpilih sebagai Pemenang Sayembara Logo
Dari 23 peserta, kisah Ismail, kemudian diumumkan nama-nama yang masuk 10 Besar, tahap selanjutnya, Ismail masuk 5 Besar sampai akhirnya diumumkan 3 peserta yang masuk Tahap Final, Sehingga ketiganya diminta melakukan presentasi di depan Tim Juri yang dihadiri oleh Forkopimda di Pendopo Bupati Bireuen saat itu.
Ismail dengan penuh semangat dan teramat hati-hati menjelaskan satu persatu makna dari setiap gambar serta warna logo di hadapan dewan Juri.
“Saat itu konflik Aceh sedang berkecamuk, panitia meminta saya supaya berhati-hati dalam menjelaskan makna di setiap gambar dan warna karena jangan sampai memicu amarah dari pihak yang sedang bertikai, baik pihak GAM dan TNI/Polri, hingga saat itu saya tidak menyebutkan Bendera Merah Putih tapi hanya menjelaskan artinya,” kenang Ismail.
Setelah tiga finalis selesai mempresentasikan logo yang dibuat masing-masing akhirnya beberapa saat kemudian para juri berembuk untuk memutuskan pemenang, dan Logo milik Ismail terpilih sebagai yang terbaik karena ia mampu menjelaskan di setiap gambar dan warna yang dibuatnya dengan arti yang sesuai dengan karakter serta adat istiadat masyarakat Bireuen.
Kemudian sambung Ismail, barulah diumumkan dirinya sebagai pemenang, ia menerima hadiah sebesar Rp.750.000 dan selembar piagam penghargaan yang ditandatangani oleh Bupati Bireuen Drs. Hamdani Raden pada Tanggal 26 Mei 2000 serta sebuah Trophy yang bertuliskan Juara Satu Bentuk Lambang Daerah Kabupaten Bireuen.
Namun setelah logonya dipakai dan disahkan sebagai logo kabupaten Bireuen, Ismail seperti dilupakan, banyak janji manis yang diucapkan oleh Pemerintah Bireuen terhadapnya kala itu.
“Pemkab berjanji akan memberikan Tiket Naik Haji dan Umrah untuk saya dan istri pun termasuk bonus 50 Juta Rupiah,” ujar Ismail.
Hasrat Melanjutkan Kuliah di Yogyakarta
“Hasrat hati ingin memeluk gunung apadaya tangan tak sampai” barangkali peribahasa itulah yang pantas menggambarkan lara dilema yang dirasakan Ismail saat keinginannya tak sampai untuk melanjutkan kuliah di kota pendidikan Yogyakarta.
Remuk redam hati Ismail kala itu seakan tiada penawarnya. Hajat sucinya menjadi seorang sarjana seni pupus di ranting janji Pemerintah Bireuen kala itu. Andai-pun demikian, ia tetap teguh tabah pada takdir yang dihadapinya.
Semasih menjadi pengajar di salah satu SD di Kecamatan Pandrah, Ismail tak terlalu memikirkan dan mengharapkan serangkaian janji yang pernah diucapkan Pemerintah Bireuen kepadanya, ia hanya berpasrah diri pada keadaan dan nasib yang sedang dihadapinya.
Saat itu, Ismail hanya memiliki satu hasrat dan permintaan kepada Pemerintah Bireuen, yakni hajat untuk bisa melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesi (ISI) Yogyakarta supaya bisa mengambangkan bakat dan karirnya di bidang seni rupa, juga bisa menurunkan pengetahuannya kepada generasi berikutnya di Kabupaten Bireuen.
Perjuangan suci Ismail terbilang pilu dan berliku, masa itu ia bolak-balik ke Pusat kota Bireuen untuk memohon ke Pemerintah setempat supaya proposalnya diterima agar bisa melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta karena di Aceh pada saat itu belum ada Jurusan Seni.
Kemudian, Ismail menjumpai Kabag Kepegawaian Kabupaten Bireuen yang saat itu dijabat oleh Muzakkar A. Gani yang saat ini menjabat sebagai Bupati Bireuen, namun keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Muzakkar.
“Alasannya tidak ada Anggaran, saya pun pulang dengan penuh kekecewaan karena keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta sangat tinggi,” imbuh Ismail.
Tak pernah Patah Semangat
“Bak api di tungku peradaban” kalimat itu barangkali dapat mewakili kekecewaan dan remuk lunglai hati Ismail. Meskipun permohonannya ditolak oleh Pemerintah Bireuen, Ismail tidak pernah patah semangat, ia tetap mengajar anak-anak seperti biasa di sekolahnya.
Berselang setahun kemudian, berkat ide dari teman-temannya ia mengusulkan sekali lagi proposal untuk mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta, namun lagi-lagi tidak diterima, kali ini dengan alasan yang berbeda.
“Selain tidak ada anggaran, Pemkab juga mengatakan, kalau nanti saya selesai kuliah mau ditempatkan di mana? sedangkan Kampus yang ada di Bireuen tidak ada Jurusan Seni,” ucap Ismail menjelaskan perkataan pihak Pemerintah Bireuen.
Menurut Ismail, jawaban Pemkab Bireuen serupa belati yang menikam jantungnya, pun teramat menyakitkan baginya, karena keinginannya melanjutkan pendidikan bukan untuk menjadi dosen, melainkan untuk mengembangkan bakatnya semata.
“Hal itu pula yang yang menurutnya tidak dipahami oleh pihak Pemkab kala itu,” sebut Ismail.
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Ismail memutuskan untuk tidak berharap apapun lagi dari Pemerintah. Ia hanya menggeluti profesinya dengan mengajar anak-anak, pula ia berharap Logo dan makna yang terkandung didalamnya dapat diartikan dengan baik oleh Pemerintah Bireuen sampai hari ini. [ ]
Adam Zainal