LINTAS NASIONAL, Usai terjun ke kancah perpolitikan, Abu Suhai muda tetap fokus pada dunia lingkungan hidup dan sisi sosial kemasyarakatan yang telah mendasarinya dikenal serta menjadi seorang pesohor di Bireuen, terutama menjadi sosok yang berpengaruh di wilayah barat Bumi Jeumpa.
Makin hari, makin pula nama Abu Suhai menjadi buah bibir berbagai kalangan; para nelayan, petani sawah, pekebun, kuli lepas, peniaga pasar, kaum pejabat serta masyarakat di kampung-kampung mulai penasaran dengan sosok Abu Suhai yang kala itu dianggap terlalu berani mengambil resiko untuk menjadi seorang politikus muda.
Keberaniannya terjun ke dunia politik dan memilih berseberangan dengan ideologi politik para gerilyawan rimba (pejuang GAM) paturtlah diacungi jempol. Manakala periode 2009-2012 partai Aceh besutan para petinggi GAM lagi menuai reputasi tinggi di Aceh, khususnya Bireuen.
Namun, ketika politik identitas yang digawangi pihak rival sedang berada di puncak klasemem perpolitikan, Abu Suhai memilih jalan terjal; ia menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Rakyat Aceh (DPW-PRA) Kabupaten Bireuen yang secara terang-terangan memang dimusuhi oleh partai politik lokal lainya.
Memilih berseberangan dalam pilihan politik dengan pihak gerilyawan GAM saat itu tentu lah menjadi sebuah konsekuensi yang besar, bahaya, pun juga resiko memanglah mencekam. Rentang perjalan politik pasca damai Helsinki, beberapa pembunuhan terjadi di Aceh, dan itu mutlak karena urusan “ideologi” yang tak sepemahaman.
Dicap Pengkhianat
Di tanah konflik, amunisi tentulah jauh tak berguna dari pameo dan idiom “merdeka”, atau pula syair-syair perlawanan yang telah khatam membentuk suatu kelompok atau sebuah bangsa untuk bersatu dalam satu tujuan.
Pula sebaliknya, jargon “pengkhianat” juga tak kalah tersohor dari nadi “merdeka” yang saban hari digelorakan. Pengkhianat menjadi bumerang dan malapetaka bagi orang-orang yang dianggap tak sehaluan. Ketika Aceh bergejolak, frasa “pengkhianat” ditautkan kepada orang-orang yang pro republik, dianggap memusuhi perjuangan suci.
Berangkat dari itu; dari perang paruh windu lalu, stigma “pengkhianat” masih mengakar di tengah-tengah masyarakat Aceh. Stigma itu kini menjadi serupa nyawa, hidup tumbuh berbarengan sehingga sulit untuk dimusnahkan. Apalagi telah menjadi hukum tunggal sosial hingga dengan hari ini.
Kendati demikian, Abu Suhai sudahlah selesai dengan pertikaian purba tersebut. Kini, cakrawala masyarakat telah terbuka seiring perjalan politik Aceh. Hukum alam telah memilah—memilih dan menyeleksi perkara ittu dengan khatam dan khidmat.
Abu Suhai, adalah satu dari ratusan bahkan ribuan orang di Aceh yang dicap pengkhianat bangsa oleh kawannya sendiri, sanaknya sendiri, kerabat dan bangsanya sendiri. Alasannya, tentulah sepele sekali. Bersebab berbeda persepsi, bukan berbeda ideologi.
“Kalau dicap sebagai pengkhianat itu sudah biasa. Sudah menjadi makanan sehari-hari. Alasannya, karena saya dan kawan-kawan di PRA dianggap menjadi musuh,” kata Abu Suhai kepada Lintasnasional.com, Selasa 23 Agustus 2022 di salah satu warung kopi di seputaran Bireuen.
Menurut Abu Suhai, saat itu siapapun dan apapun partai yang berhaluan akan dilakap sebagai musuh. Kader-kader yang ingin maju sebagai calon legislatif melalui partai lokal lain juga lazim dicap sebagai musuh bangsa dan pengkhianat.
Bila pun begitu, semua peristiwa masa lalu, kata Abu Suhai, menjadi pijakan untuk menuju dan menata masa hadapan. “Pengalaman tentunya menjadi pengajaran berharga untuk kita semua. Terlepas dari pahit–manis, serta perih pilu”.
Beranjak dari lembah masa lalu, hulu—hilir kelana hidup Abu Suhai tak hanya bertumpu di partai PRA semata. Pada 2013, lelaki hitam manis, berambut ikal itu juga diusung oleh masyarakat Gampong Meunasah Asan untuk menjadi Keuchik (kepala desa) dan akhirnya terpilih.
“Saat itu saya juga menjabat sebagai keuchik, hanya mengisi kekosongan. Masa itu itu belum ada dana desa (DD). Jadi, jabatan menjadi keuchik tidak diperebutkan seperti hari ini,” ujarnya.
Maju sebagai Calon Legislatif
Menjelang Pemilihan Daerah (Pilkada) 2014, pasca dua tahun ia menjabat sebagai sekretaris (sekjen) Dewan Perwakilan Wilayah Partai Nanggroe Aceh (DPW–PNA) kabupaten Bireuen, ia juga menjabat sebagai keuchik Gampong Meunasah Asan.
Abu Suhai diusung sebagai calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen mewakili daerah pemilihan IV Samalanga, Simpang Mamplam dan Pandrah.
Setelah menyatakan diri maju sebagai caleg, Abu Suhai memilih mengundurkan diri dari jabatan kepala desa. Namun, hal ini ditolak oleh warga gampongnya, khusus masyarakat dan peutuha gampong yang telah menitip kepercayaan dan amanah di pundaknya.
“Peutuha di gampong tak merestui saya maju sebagai caleg, alasan mereka melarang saya karena saat itu gampong lagi kekosongan kepala desa,” tuturnya.
Ia menjelaskan, penolakan itu bukan karena masyarakat Gampong Meunasah Asan tak menyukai atau tidak mendukungnya. Namun, warga masih menaruh harapan kepada dirinya untuk memimpin gampong ke arah yang lebih baik.
Abu Suhai yang cerdik dan banyak akal, tentu dapat meluruskan miss—komunikasi tersebut. Ia mencoba menjelaskan dan memberi pemahaman kepada para warga terkait niatnya maju sebagai caleg. Tetapi, usaha ini gagal, masyarakat tetap berdiri pada argumennya. Sementara Abu Suhai tetap maju serta mempersiapkan diri menuju gedung parlemen Bireuen.
Kampanye tanpa Cost Politik
2014, peta politik partai lokal mulai bergeser, parlemen tetap dikuasai oleh kubu Partai Aceh (PA). Namun, di hampir semua kabupaten/kota di Aceh, kursi PA mulai berkurang seiring berkurangnya simpati rakyat. Pun, partai lokal di Aceh mulai menjamur, tak hanya PA semata.
Katakanlah, meleburnya Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar dengan mendirikan masing-masing partai, PNA dan SIRA tentunya menjadi tolak ukur berkurangnya suara PA. Bagaimana tidak, Irwandi-Nazar merupakan pasangan gubernur–wakil gubernur pertama yang berlatar belakang dari GAM. Artinya, kedua pentolan Aceh itu memiliki loyalis di mana-mana.
Abu Suhai yang jeli dan cerdas memanfaatkan momen kekecewaan rakyat terhadap janji-janji politik para pejabat parlemen Aceh dan parlemen kabupaten/kota periode sebelumnya. Namun, ia tetap berupaya menjalankan konsep kampanye damai dan sehat tanpa menjatuhkan orang lain.
“Saat itu, saya tak mengeluarkan cost politik yang besar. Hanya biaya atribut dan minum kopi semata. Apalagi ketika itu belum lahirnya trik-trik money politik,” paparnya.
Abu Suhai mengaku, periode pertama maju sebagai caleg ia memang bekerja keras siang dan malam, tak hanya mengandalkan keadaan politik semata. Apalagi, kemunculan partai PNA saat itu memang identik dilakap sebagai “pengkhianat” oleh rival politik.
Ia mengatakan, untuk menepis cap “pengkhianat” di tengah-tengah masyarakat yang masih terjerembab ideologi pergerakan dan fanatik terhadap partai PA bukanlah suatu yang mudah. Hal ini, menjadi masalah serius bagi seluruh kader dan pengurus PNA saat itu. Bahkan, masyarakat yang simpati kepada PNA juga kerap dicap pengkhianat.
“Namun begitulah wajah politik kita. Susah menghapus hukum sosial itu di tengah-tengah masyarakat,” sebutnya.
Bersambung
Penulis: Adam Zainal.