Oleh: Fauzan Azima
“Kamu ingin menjadi apa?” Tuhan Yang Maha Agung bertanya kepada salah satu dari tiga malaikat ciptaannya.
“Saya ingin menjadi jin” malaikat itu menjawab tegas.
“Kalau begitu polan namamu dan kamu harus dikekang agar tidak mengganggu manusia” tegas Tuhan.
“Siap, Ya Tuhanku!” jawab jin.
Meski demikian jawab jin itu, tetapi dia selalu berdo’a agar bisa lepas dari kekangan supaya bisa mengganggu hidup dan kehidupan manusia.
Tuhan menciptakan malaikat yang memilih menjadi jin itu setelah ada “Nur Muhammad” bahkan sesudah tercipta arasy, kursi, pena, kalam, surga dan neraka. Penciptaannya serentak dengan dua malaikat; sebagai pencabut nyawa yang duduk dipangkal jantung dan malaikat roh insani yang dimasukan ke tubuh manusia.
Do’a jin tidak pantas dikabulkan Tuhan, tetapi sejurus dengan itu, maksiat manusia sudah terlalu masif, maka terpaksa sesekali dikabulkan.
Inilah masanya do’anya dikabulkan, dengan menyebarkan wabah virus corona atau apa yang disebut sebagai Covid-19 dengan variannya yang berubah-ubah dan semakin kuat. Orang Aceh menyebutnya sebagai “penyakit taeun”.
Sifat penyakit virus corona tidak bisa dilawan. Semakin dilawan semakin besar akibatnya. Oleh karena itu, sepatutnya tidak ada kata “lawan” untuknya. Satu-satunya cara adalah melakukan prosesi “tolak bala” seperti yang biasa dilakukan oleh nenek moyang kita jika terjangkit wabah.
Prosesi tolak bala melibatkan kalangan ulama dan kaum adat. Mereka bersatu padu mengantar virus corona kembali kepada rajanya di pusat lautan.
Begitulah seharusnya “memperlakukan” virus, bak manusia mereka juga punya raja. Sehingga penyebutannya, sebaiknya bukan virus, penyakit dan segala sesuatu yang diasosiasikan buruk, tetapi sebutlah mereka sebagai “raja”.
Mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker hanya menunda sementara penyebaran “sang raja” tetapi agar mereka hilang secara permanen adalah dengan memohon kepada penciptanya, Yakni Allah SWT, agar mereka dikembalikan kepada rajanya.
Sebagai mana janjinya, upayakan mereka berkumpul kembali dengan rajanya. Jangan buat mereka liar dan selalu di bawah kendali dan kontrol pemimpinnya.
“Vaksin” itu sendiri bermakna “packaging” atau “pengemasan” dan “pack jin” atau “bungkus jin” yang sudah bertransformasi menjadi virus.
Pemerintah harus memilih opsi tolak bala ini. Tidak saja hemat biaya, tetapi jauh akan lebih efektif, mengingat sulitnya meningkatkan kesadaran manusia sekarang dengan cara-cara pencegahan berdasarkan anjuran pemerintah.
Prosesi tolak bala bukan sekedar melanjutkan tradisi nenek moyang kita, tetapi juga “test case,” apakah masih ada orang keramat di antara kita? Meskipun kita tahu bahwa tanah Aceh banyak terdapat tempat dan makam keramat.
Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge