LINTAS NASIONAL – BIREUEN, Nasruddin M. Basyah salah satu dari sekian banyak petempur Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Batee Iliek yang pantang menyerah dan berani melawan Negara Indonesia untuk merebut Kemerdekaan.
Pria kelahiran Samalanga 6 Desember 1978 tersebut bergabung dengan Kelompok GAM pada tahun 1999 dengan mengikuti pelatihan Militer GAM di usia masih sangat muda ia menyelesaikan latihan di lapangan Kreueng Meuseugob Kecamatan Simpang Mamplam Bireuen.
Di usia 21 Tahun pria yang akrab disapa Nyakdin tersebut setelah meyelesaikan Latihan Militer GAM dan diambil Sumpah Nyakdin awalnya diberi tugas sebagai pemegang radio, karena memiliki badan tegap, berjiwa berani dan loyal terhadap Komandan akhirnya ia dipercayakan memanggul Senjata AK 47 serta bergabung dengan teman-teman lainnya bergerilya di hutan.
Waktu itu Nyakdin bersama beberapa pasukan lainnya berada dibawah komando Husaini M. Amin alias Tgk. Batee atau Abu Syakban, Sanjai dan Tiyoeng, saat itulah dirinya tidak pernah lagi pulang kerumah karena harus bergerilya dari satu tempat ke tempat lain dalam hutan.
“Tahun 2000 sampai 2003 kami masih sangat leluasa bergerak untuk mengajak masyarakat dan mengajak teman-teman lainnya agar bergabung dengan GAM sehingga pada saat itu jumlah pasukan GAM semakin ramai,” kata Nyak Din dengan penuh semangat saat berbincang dengan wartawan lintasnasional.com pada Selasa 7 Juli 2020.
Tepatnya pada 19 Mei 2003, Aceh ditetapkan status Darurat Milter melalui keputusan resmi Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003, Izin operasi penumpasan GAM saat itu dimanfaatkan TNI dengan menyiapkan 50.000 sampai 60.000 pasukan yang terdiri atas Angkatan Darat, Brimob, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Selama darurat militer Gerilyawan GAM di semua daerah semakin terjepit dan harus bertahan di hutan untuk menghindari pengepungan Militer Indonesia, saat itu Nyakdin bersama pasukan lainnya dibawah Komando Tgk. Batee yang bermarkas di pengunungan Ie Rhob dikepung oleh puluhan anggota TNI sehingga Tiga temannya Syahid diterjang peluru.
“Disaat pengepungan dan terjadi kontak senjata, kami sedang turun mengambil bahan makanan, dalam pengepungan tersebut Tiga rekan Syahid diantaranya Menteri dan Bang Mun Puloe Drien serta Cut Adek Geulumpang,” lanjut Nyakdin
Karena Camp persembunyian mereka sudah diketahui, Nyakdin bersama kawan-kawannya atas perintah Komandan mulai berpindah-pindah untuk menghindari kontak senjata lansung denga pasukan TNI
“Kami harus berpindah-pindah dari satu gunung ke gunung lainnya, kadang-kadang dua hari sekali bisa juga seminggu sekali, itu semua tergantung keaadaan pengerakan TNI di lapangan,” ujar Nyakdin
Awalnya lanjut Nyakdin, pasukan yang dipimpin Tgk Batee dibagi dalam beberapa grup namun sesudah bencana Tsunami dan terjadi bentrok di gunung Desa Glee Meundoeng dari pukul 00.00 sampai jam 1 siang, setelah Syahid beberapa anggota dan keadaan semakin terjepit maka digabung dalam satu camp.
“Pengepungan dan kontak tembak dengan TNI selama 13 Jam di Gunung Glee Meundong menjadi peristiwa yang tidak terlupakan, karena saat itu semua pasukan berjuang sampai titik darah penghabisan serta membuat 4 rekannya syahid yaitu Hamdani Ulee Jembatan, Bento Mns. Lueng, keduanya merupakan sepupu saya kemudian Belo Ie Rhoeb, M Saleh Glee Meundoeng dan Dek Nyak Ie Rhoeb, mereka semua Syahid diterjang peluru TNI,” kenang Nyakdin
Setelah kejadian tersebut tidak membuat dirinya takut dan patah semangat, Nyakdin bersama pasukan lainnya masih melakukan gerilya, meskipun stok makanan dan amunisi sudah menipis.
“Selama di hutan kami hanya mengandalkan Sarimi, Roti Unibis, sekali-kali kami dapat Kambing Gunung dan Rusa, serta bantuan dari makanan dari masyarakat, kalau ada informasi kami kelaparan itu hanya rekayasa TNI, meski kondisi terjepit kami tetap makan walaupun hanya sehari sekali, Alhamdulillah, meskipun beberapa kali terjadi kontak senjata saya masih selamat ” ungkapnya
Pada 15 Agustus 2005 ditandatangani perjanjian Damai antara TNI dan GAM, atas perintah Panglima tertinggi semua pasukan GAM harus turun Gunung untuk menyerahkan senjata kepada Uni Eropa sebagai penengah pada saat itu.
Pasca Damai semua eks pasukan GAM bergabung dibawah naungan lembaga Komite Peralihan Aceh (KPA) yang diketuai oleh mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf alias Mualem.
Pasca damai hingga sekarang Nyakdin dipercayakan sebagai Panglima Sagoe sekaligus merangkap Wakil Panglima Daerah 1 Wilayah Batei Iliek, sehingga ia merasa bertanggung jawab terhadap teman-teman seperjuangan baik yang masih hidup dan yang sudah syahid.
Nasruddin juga menyampaikan terima kasih kepada masyarakat, khususnya Simoang Mamplam dan Samalanga yang telah membantu tempat persembunyian dan persediaan makanan bagi perjuangan GAM pada saat itu.
“Insya Allah kalau ada kemudahan saya selalu membantu kawan-kawan seperjuangan dan anak-yatim serta janda korban konflik seperti di hari Meugang, Lebaran saya berusaha membantu mereka termasuk memperjuangkan Rumah layak huni, baik dari BRA maupun dari Pemerintah Aceh,” kata Nyakdin
Sebagai Panglima Sagoe Nyakdin berharap kepada Pemerintah Aceh untuk lebih memperhatikan mantan Kombatan GAM, karena berkat perjuangan mereka baik yang masih hidup dan sudah Syahid, Aceh bisa mendapatkan hak istimewa dan mendapat Dana Otsus.
“Kepada teman-teman yang belum mendapatkan mohon bersabar, karena jangankan korban konflik, yang masih hidup saja belum merasakan hasil MoU, walaupun ada beberapa dari Eks GAM yang sudah hidup berkecukupun, itu semua hasil usaha sendiri, bukan dikasih oleh Nanggroe,” pungkas Nasruddin Alias Nyakdin yang punya akun Facebok Abu Lam Krueng tersebut. (AN)