Oleh: Fauzan Azima
Tulisan singkat ini saya tujukan kepada saudara-saudara saya yang menjadi pejabat, para orang pinter dan para orang kaya yang punya tanggung jawab lebih besar sebagai khalifah di bumi ini. Orang-orang yang punya kemampuan lebih, yang paling berkewajiban melestarikan dunia ini. Seleksi alam akan berlaku, siapa yang kuat maka ia yang akan bertahan.
Keselamatan dunia ini bergantung kepada kita menjaga keseimbangan, yang bisa diinterpretasikan kepada memelihara, melindungi, menafkahi dan menikahi perempuan lebih dari satu dengan tujuan memberdayakannya dari segi ekonomi dan mewariskan generasi unggul melalui anak-anaknya.
Andai saja mereka setia beristri empat, tentu kecil kemungkinan ada orang-orang miskin, yang selanjutnya disebut sebagai “rawan ekonomi”. Andai satu kepala dinas punya empat istri dan andai ada 30 dinas, maka 120 perempuan hidupnya menjadi berdaya akan kaya, selanjutnya disebut “berdaya secara ekonomi”.
Seterusnya demikian juga para orang kaya, kalau juga punya tanggung jawab sama menurut kemampuannya. Apalagi ada niat baik menikahi para janda, selanjutnya disebut “wanita rawan ekonomi” tentu akan sangat membantu mereka dari sisi keadilan sosial bagi seluruh perempuan.
Bayangkan, betapa kasihan para “wanita rawan ekonomi” yang tinggal di rumah sangat sederhana. Di tengah hujan deras disertai petir dan dicekam rasa takut. Ia hanya hanya memeluk anak-anaknya yang kecil yang menangis ketakutan dan ia hanya mampu memeluk bantal guling. Ia hanya bisa berharap dan berharap dalam kegelapan malam, kasih sayang orang-orang yang punya hati nurani di sekitarnya.
Sementara pejabat dan orang kaya tidur dengan memeluk istrinya dan larut dalam mimpi indah. Tidakkah dia berfikir, tanggung jawabnya terhadap lingkungannya. Terutama, terhadap anak-anak yang tidak mendapat perhatian orang tuanya karena “rawan ekonomi”. Apakah itu tanda-tanda hati sudah tertutup dan tidak ada lagi seberkas cahaya kasih sayang sedikitpun lagi.
Meskipun menikahi “wanita rawan ekonomi” dan memelihara anak-anaknya sebagai anak sendiri dihitung sebagai amal baik dan dicintai Allah SWT, tetapi perlu keberanian ekstra. Tanamkan dalam hati, bahwa apapun keadaan kita pasti ujungnya akan mati juga. Akan tetapi manakah lebih baik mati sebagai pemberani atau sebagai pengecut? Percayalah ksatria dikenang karena keberaniannya, sedangkan pengecut akan terhina sampai tujuh turunan.
Kini, keberanian itu hanya milik orang-orang yang kurang mampu. Sehingga “wanita rawan ekonomi” itu tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan anak-anak yang dilahirkan kurang berkualitas. Sedangkan tujuan menikahi “wanita rawan ekonomi” itu menjadi efek domino bagi lingkungannya.
Memang dalam berbuat baik pasti banyak hambatan. Sebagai manusia yang punya akal budi yang diwariskan nenek moyangnya, Nabi Adam AS, perlu putar otak untuk mengatasinya. Maju terus, pantang mundur, selama ada kemauan pasti dimudahkan untuk menemukan jalannya. Dikhawatirkan kemauan berbuat baik pun tidak ada, bagaimana mungkin Allah SWT membukan jalan menuju kebaikan.
Seperti perang, ketika mengungkapkan keinginan untuk menikah lagi, “bapak-bapak” perlu baju besi dan helm waja menghadapi serangan “ibu-ibu”. Kadang hidup ini perlu melewati derita untuk mendapatkan kenikmatan. Jangan mau buah nikmatnya saja, sementara susahnya berkorban tidak dilalui. Maunya instan saja, sehingga tidak bisa merasakan manisnya perjuangan.
Perlu juga pengetahuan bagi “ibu-ibu” bahwa “bapak-bapak” akan lebih setia kepada istrinya yang pertama kalau mau menginisiasi pernikahan suaminya untuk kedua, ketiga dan seterusnya. Sayangnya “kaum ibu” terlalu tertutup fikirannya, sehingga tidak akan memberi peluang kepada “kaum bapak” dengan mempropagandakan kalimat, “cukup satu dunia dan akhirat.”
Bukanlah dalam pernikahan yang penting adalah kesetiaan. Bukankah lebih baik setia dengan banyak istri daripada tidak setia, apalagi berselingkuh. Bukankah dengan membatasi pernikahan lagi kaum bapak mendorongnya berselingkuh, yang menyebabkan dosa besar? Bukankah yang penting adalah menutup serapat-rapatnya peluang dosa lebih baik dalam hidup ini?
Pun demikian, walau ada ayat Qur’an yang menyatakan boleh beristri empat, tetapi kalau khawatir tidak bisa berbuat adil, cukup satu istri saja. Saya menjunjung tinggi cukup satu istri. Begitupun saya sangat berharap saudara-saudara yang punya kemampuan untuk beristri lebih dari satu, dengan tujuan mulia. Bukan untuk gagah-gagahan tetapi benar-benar sebagai tanggung jawab sesama hamba Allah.
Penulis merupakan mantan panglima GAM Wilayah Linge