Opini  

Para Panglima yang Tidak Mau Jadi Pahlawan

Oleh: Fauzan Azima

“Terlambat tidak ditunggu, hilang tidak dicari” begitulah para pendahulu kita dalam menyembunyikan dirinya agar jasa-jasanya tidak disebut-sebut oleh anak cucunya kelak. Biarlah apa yang diperjuangkan menjadi ladang amal baginya.

Sehingga ketika kelompok masyarakat mengajukan para nenek moyang kita di Aceh untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional akan selalu “mental” karena do’a mereka lebih pada untuk memperoleh nikmat hidup dan kehidupan yang akan datang daripada harus populer di masa kini.

Kecenderungan karakter dan akhlak para nenek moyang kita dahulu dalam soal tanda jasa kepahlawanan lebih kepada sufi yang mengamalkan prinsif, “Melupakan amal kebaikan dan menyesali perbuatan salah.” Bahkan di antara mereka tetap mengisolasi diri di dalam hutan belantara walau negeri sudah merdeka.

Begitulah Pang Akub, Pang Ben, Pang Cik dan Pang Latih masih bertahan dan tidak mau keluar dari hutan belantara sampai akhir hayatnya pada tahun 1980-an. Tidak banyak penjiarah maupun penulis sejarah yang mengetahui makam dan perjuangan mereka. Apalagi jalan menuju peristirahatan para Pang itu jauh di tengah hutan Tualang, Pasir Putih, Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah.

Pada akhir tahun 1945, Muspida atau sekarang disebut Forkopimda Aceh Tengah yang didampingi Tengku Ilyas Leube bertemu dengan para Pang itu di Mersah Lane, Samarkilang. Dalam pertemuan yang sangat kaku itu, hampir tidak ada pembicaraan. Mereka semua diam larut dalam suasana hening.

“Maaf Tengku-Tengku…Kami atas nama rombongan para pemimpin Aceh Tengah mengabarkan kepada Tengku-Tengku, bahwa Indonesia sudah merdeka. Kami mohon kepada Tengku-Tengku untuk tidak lagi tinggal di hutan” kata Tengku Ilyas Leube membuka pembicaraan.

Tengku Leube dan para pemimpin daerah berharap dengan kalimat itu, ada reaksi dari Pang Akub dan Pang lainnya agar suasana menjadi cair dan obrolan jadi meluas, tetapi ternyata mereka salah. Lebih dari sejam mereka tetap diam dan membisu.

“Izinkan kami berbicara hanya dengan Tengku Ilyas Leube” kata Pang Akub kepada rombongan pengabar kemerdekaan.

Mereka pun meminta salah satu rumah masyarakat di sana untuk berbicara. Lebih dari satu jam juga Para Pang dan Tengku Leube terlibat pembicaraan. Kesimpulan pembicaraan itu tidak pernah ada yang tahu, apa isinya, tetapi setelah itu, para Pang itu kembali pulang ke hutan belantara Tualang setelah pamit kepada rombongan.

Tengku Ilyas Leube pun tidak menceritakan apa isi pembicaraan sebenarnya dengan para Pang itu kepada sejawatnya dari Pemerintahan Aceh Tengah.

“Para Pang berterima kasih kepada kita semua telah mengabarkan kemerdekaan” kata Tengku Leube. Mereka pun kembali ke Takengon dengan tidak bertanya lebih lanjut tentang detail isi pertemuan itu.

Pada masa perang DI/TII, para Pang itu pernah bergabung dengan pasukan Tengku Leube di daerah Pulo Ruse, Samarkilang, ketika mereka diserang oleh pasukan Mobrig, tetapi Pang Akub tidak mau ikut lagi berjuang karena kehilangan keramatnya. Pang itu jatuh ke parit dan pakaiannya basah. Padahal para Pang itu, menyeberang sungai sekalipun pakaiannya tetap kering, bahkan “tepi” kain sarungnya bisa untuk menyembelih ayam.

Walau jarang dijiarahi, makam para Pang itu, selalu bersih, seolah baru saja dibersihkan para penjiarah. Begitulah para pejuang sejati, tidak berharap pujian atau gelar pahlawan, tetapi jelas tampak pada makamnya bahwa mereka orang-orang yang mulia di Sisi Allah SWT.

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge