Opini  

Part III: Menertawakan Kengerian Masa Lalu

Oleh: Fauzan Azima

Setelah lolos dari kepungan musuh di Ulu Nuih Serule, kami menyelamatkan diri masuk hutan belantara yang belum pernah kami masuki sebelumnya. Pada hari yang kacau itu, semua perbekalan kami tertinggal. Empat karung beras, gula merah, sepatu, sendal, kain sarung, parang dan santapan siang; nasi dan gulai ayam kampung.

Bagi kami menyelamatkan diri dari kematian jauh lebih penting daripada memikirkan harta benda itu. Selama nyawa masih di kandung badan, selama itu pula kita punya kesempatan mencari kekayaan. Dalam fikiranku, kematian pimpinan gerilyawan akan menjatuhkan semangat pasukannya. Maka dari itu, dalam setiap bait do’a selalu aku selipkan, “Ya Allah, selamatkan aku dan jangan pernah aku menjadi tawanan musuh.”

Hari mulai gelap, namun kami terus saja berjalan. Meski lapar dan terhuyung-huyung. Kaki kami pun sudah mulai luka akibat menginjak duri dan krikil-krikil tajam karena tidak pakai sendal dan sepatu. Begitu menderitanya berada di dalam hutan tanpa alas kaki, parang, korek api dan kain sarung. Tidak berguna senjata AK-47, tanpa semua itu. Kalau pun dapat rusa, lalu dengan apa mengulitinya? Serta dengan apa dibakar?

Pada hari-hari berikutnya, bagaimanapun hebatnya musuh mengepung, aku tetap berusaha mengambil kain sarung, sendal atau sepatu, parang atau pisau, buku-buku dan tentu saja senjata. Sehingga ketika kami terkepung pada tanggal 27 Agustus 2004 di daerah kaki Gunung Kapal, akulah orang yang terakhir menyelamatkan diri dari kepungan.

Aku melihat Abang Aman Suhada lari di depanku yang hanya mengenakan celana pendek dan menyelempangkan sarungnya. Namun setelah bertemu esok harinya, beliau dengan sangat yakin menyatakan, bahwa dirinyalah orang terakhir yang lolos dari kepungan dan mengikuti jejak saya menuju hutan belantara. Apa yang terjadi? Entahlah!

Waktu subuh, matahari belum bersinar, kami terus saja berjalan tanpa arah tujuan untuk menghangatkan tubuh. Sampailah kami di Sungai Kala Linge yang bermuara ke Sungai Jambo Aye. Bersyukur kami bertemu dengan masyarakat Linge yang mencari ikan. Setelah lima waktu tidak makan, akhirnya bisa menikmati nasi dan “gegareng gulai”. Mereka juga menghadiahi kami sendal dan parang.

Kami melanjutkan perjalanan ke arah Kampung Nasuh, Jamat, melewati persawahan DI/TII dulu di daerah Layong. Di sana kami membuat kesepakatan. Pang Gerhana dan Pang Rinen turun ke Kampung Nasuh dan mereka minta aku menunggu di pinggir sungai kecil. Mereka khawatir kalau aku ikut, tidak leluasa bereaksi di kampung.

Hari sudah mulai gelap. Binatang-binatang malam mulai bersahutan. Aku mengisi waktu kosong dengan shalat sunat mutlak untuk keselamatan pasukan dan melanjutkan dengan berzikir. Kira-kira pukul 10 malam, burung rimba yang berhantu mulai menggoda saya. Mula-mula dia tertawa dengan suara laki-laki. Aku tidak peduli dan tetap meneruskan zikir dengan khusu’.

Tidak lama kemudian tawanya berubah menjadi suara perempuan. Aku sama sekali tidak takut dengan godaan semacam itu. Terakhir dia menangis “bersebuku” dan aku mulai merinding. Aku cepat bergeser ke daerah yang terbuka di seberang sungai kecil itu sebab jika dia berhasil menguasai fikiranku, burung rimba itu akan berubah menjadi kuda yang menyeramkan.

Waktu itu aku belum mendapat ilmu pengetahuan tentang anti burung rimba berhantu. Padahal ternyata gampang saja mengusirnya. Caranya, ambil dua ranting kayu, lalu bentuklah seperti bentuk gagang katapel dan arahkan kepadanya serta teriakkan sebuah mantra, “Geh renye kini, ini nge ku tos pangangmu.”

Tepat pukul 12 malam, aku mulai diserang kantuk. Aku pun merebahkan diri, “Ah, nikmat mana lagi yang aku dustakan” kata bathinku dan tertidur pulas. Antara sadar dan tidak, aku mulai merasakan tubuhku panas dan berkeringat. Padahal udara sangat dingin. Aku bangkit dari tidurku, “Ada apa dengan tempat ini?” Penasaran ingin tahu dengan menyalakan korek api. Ternyata aku tidur di atas kuburan berbantal batu nisan.

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge