Oleh: Fauzan Azima
“Ama, kalau arah jalan ke Kala Bugak, kita harus ke arah selatan, arah sini” kata Pang Kobar meyakinkan Kepala Keuangan GAM Wilayah Linge, Syech Sapuarang yang “ngotot” harus ke utara.
“Benar Ama! Kalau ke arah sungai Kala Bugak, ini arahnya” timpal Pang Amri mendukung pernyataan Pang Kobar.
“Pang Amri! Arah ke pintu belakang rumahmu pun, kamu tidak tahu, apalagi jalan di hutan ini” kata Syech Sapuarang dengan nada tinggi.
Perdebatan soal arah itu terjadi di Base Camp VI, bekas tempat pengumpulan kayu hasil tebangan HPH PT. RGM. Ada tiga persimpangan dari sana; ke utara menuju Simpang Parabola (Aceh Utara) ke Selatan arah ke Sungai Wih Bidin dan Kala Bugak dan ke timur ke arah Kampung Pasir Putih. Kecuali Syech Sapuarang, pasukan biasa melewati daerah tersebut, sehingga tidak mungkin tersesat.
“Hari sudah menjelang malam, jam 6 sore, sebaiknya kita istirahat di sini. Besok kita teruskan soal debat arah tujuan kita” kata Pawang Samarkilang. Seluruh pasukan diam dan berusaha membuat bivak masing-masing untuk istirahat dan bermalam.
Pada esok paginya, matahari terbit, baru jelas arah mata angin; timur, barat, utara dan selatan. Pasukan diam saja, seolah tidak pernah terjadi perdebatan tadi malam. Pagi ini, alam telah menunjukkan arahnya. Beberapa pasukan berbisik-bisik soal arah, tetapi segan untuk berkata-kata.
“Banar, ternyata arah ini ke Sungai Kala Bugak” kata Syech Sapuarang malu-malu.
Perjalanan ke Kala Bugak tidak terlalu jauh. Setelah merapikan bivak-bivak dan membersihkan lokasi agar tidak terendus musuh, pasukan mulai berjalan dengan cepat agar bisa memasak dan menebar jala ikan untuk lauk pauk sarapan pagi.
Usai sarapan dan istirahat sejenak, terjadi lagi selisih faham soal arah jalan menuju Kampung Simpur. Normalnya pada pukul 16.00 sore sudah sampai di tempat tujuan. Namun, pasukan enggan mendebat Syech Sapuarang.
Tengku Ismuddin alias Pang Renggali dan Tengku Ibni Faisal alias Pang Medang mendukung agar Syech Sapuarang sebagai penunjuk jalan dengan syarat “Sang Syech” merintis berada di depan untuk merintis jalan.
Pasukan tidak berkata-kata, walau sedikit kesal. Mereka ikut saja, daripada berdebat dan ribut. Mereka melewati hamparan tumbuhan andaliman (empan) yang penuh duri. Sebenarnya jangankan manusia, ular pun enggan melewati kawasan itu. Seharusnya kalau mengikuti jalan yang ditunjuk pasukan sudah lama sampai, tetapi mereka harus rela sampai ke tujuan pada jam 12 malam.
Setelah istirahat satu malam, pagi esoknya, pasukan mengambil alih sebagai penunjuk jalan. Jangan sampai tiga kali mereka dibawa ke jalan yang “sesat”. Namun sampai di pematang Syech Sapuarang ingin kembali mengambil alih sebagai penunjuk jalan. Pasukan sempat menahan tawa karena Syech Sapuarang hanya mengenakan kain sarung memanjat pohon, sehingga tampak celana dalamnya warna orange.
Tujuannya memanjat pohon untuk meyakinkan pasukan. Sayangnya semua pasukan tahu kalau ikut arah “Sang Syech” jatuhnya bukan ke Kampung Balongan atau pasukan menyebutnya daerah Mungkur, tetapi jatuhnya dipastikan ke daerah Kampung Peking.
“Mengapa kalian harus susah payah jalan kaki di tengah hutan belantara. Saya sendiri sangat menyayangi tubuh saya agar tidak capek dan kaki saya tidak terkena duri. Sehingga saya lebih memilih lewat jalan aspal daripada susah payah lewat semak-semak” jawab saya pada pasukan dan Syech Sapuarang.
Saya sendiri biasa mengalah soal apapun kalau berada di tengah hutan karena memang saya tidak pernah masuk hutan dan menghindari berdebat. Namun pada saat Darurat Militer pada Agustus 2003, saya mencoba keyakinan “feeling” saya dengan berdebat dengan Tengku Gele Bayak (Kadhi GAM Wilayah Linge) soal arah kiblat. Seperti kata orang Prancis, “Keyakinan bisa memindahkan gunung”.
Hari mulai gelap, sementara pohon-pohon mulai berdzikir, suaranya seperti lebah, disusul suara gareng bersahutan dan waktu shalat maghrib mulai masuk. Kami belum sepakat soal arah kiblat. Tidak ada titik temu soal arah kiblat. Akhirnya dari lima orang; Tengku Ilyas alias Pang Doyok, Tengku Muhammad alias Pang Gerhana bersama saya menghadap ke arah yang berlawanan dengan Pang Gele Bayak dan Pang Rinen.
Setelah shalat kami berdzikir dan masih berlawanan arah. Setelah itu kami mengelilingi api unggun. Kami tidak membahas lagi tentang keyakinan kami masing-masing. Kami bercerita tentang musik dan lagu yang menurut Pang Gele Bayak haram karena melalaikan waktu. Kami tidak memprotesnya karena akan menambah “daftar menu” perdebatan.
Setelah ngobrol soal-soal ringan kami pun mulai akan tidur. Saya berharap pada esok hari keluar sebagai orang benar soal arah kiblat. Namun begitu bangun pagi, ternyata kami salah soal arah kiblat. Kami tertawa dan mengakui Pang Gele Bayak benar. Sehingga untuk hari-hari berikutnya, kami lebih mendengar pendapatnya daripada mengikuti perasaan kami.
Penulis merupakan mantan Panglima GAM Wilayah Linge