Oleh: Auzir Fahlevi SH
Proses Penggantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPRK maupun DPRA tidak bisa dilakukan sembarangan atau sebatas usulan dari partai politik tanpa memenuhi persyaratan terlebih dahulu sebagaimana ketentuan aturan Perundang-Undangan.
Ketentuan mengenai PAW anggota DPRK maupun DPRA khusus di Aceh itu telah diatur di dalam pasal 38 mulai dari ayat (1) sampai ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pada pasal 36 ayat (1)huruf a dan b UUPA disebutkan bahwa proses PAW itu dapat dilakukan apabila Anggota DPRK/DPRA itu meninggal dunia atau mengundurkan diri secara tertulis atas permintaan sendiri.
Kemudian ayat( 2) nya menyebutkan bahwa Anggota DPRA/DPRK diberhentikan antarwaktu karena a. diusulkan oleh partai politik/partai politik lokal yang bersangkutan;
b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRA/DPRK;
d. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau
melanggar kode etik DPRA/ DPRK;
e. Tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRA/DPRK;
f. Melanggar larangan bagi anggota DPRA/DPRK; atau
g. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih.
Kemudian pada ayat (3)disebutkan bahwa pemberhentian anggota DPRA/DPRK yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) disampaikan oleh pimpinan DPRA kepada Menteri Dalam
Negeri melalui Gubernur bagi anggota DPRA atau oleh pimpinan DPRK kepada Gubernur melalui bupati/walikota bagi anggota DPRK untuk diresmikan pemberhentiannya.
Kemudian pada ayat (4) disebutkan bahwa pemberhentian anggota DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan setelah ada keputusan DPRA/DPRK berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan DPRA/DPRK.
Selanjutnya pada ayat (5) disebutkan bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Jadi jika ada partai politik yang mengusulkan perihal PAW hanya karena memaknai redaksi pasal 38 ayat( 2 )huruf a terkait diusulkan oleh partai politik dimaka itu sebuah interpretasi yang keliru.
Partai politik manapun bisa melakukan PAW dengan melihat peluang atau mensiasati celah hukum misalnya adanya perjanjian internal sesama Caleg tentang pembagian masa jabatan 2,5 tahun dari Caleg A ke Caleg B melalui pengunduran diri secara tertulis dari si Anggota DPRA/DPRK yang siap di PAW atas permintaan sendiri.artinya ada keihklasan dan kerelaan atas komitmen perjanjian internal yang telah dibuat oleh si Anggota DPRA/DPRK dengan pimpinan partainya walaupun secara hukum itu bisa diabaikan karena itu hanya sebatas komitmen moral,bukan syarat untuk bisa PAW sesuai perintah UU.
Kalaupun ada anggota DPRA/DPRK merasa keberatan dengan proses PAW dan kemudian dia dipecat dari keanggotaan Parpol maka itu tidak serta merta ia bisa didepak dari jabatan politiknya di DPR apabila prosesnya tidak sesuai ketentuan kecuali ia beralih menjadi anggota parpol lainnya.
Belum lagi jika anggota Dewan yang keberatan itu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri seandainya tidak selesai di tingkat Mahkamah Partai dan itu akan memakan waktu yang cukup lama.
Aturan spesifik lainnya yang mengatur tentang PAW diatur dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang telah di ubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2018, Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2017 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota DPRK, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kemudian juga diatur di dalam pasal 16, 32 dan pasal 33 Undang -Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik. Kemudian diatur juga dalam pasal 193 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah serta dalam pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2018.
Jadi ada banyak opsional aturan hukum terkait PAW yang secara umum dapat dijadikan pedoman oleh segenap pengurus partai politik, tidak hanya soal sentimen dan egoistik pimpinan parpol yang dikedepankan dan secara sepihak melakukan eksekusi PAW anggota DPRA/DPRK diluar persyaratan aturan hukum, PAW akan mudah dilakukan sejauh adanya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Anggota DPRK/DPRA sebagaimana yang dijabarkan dalam UU.
Sejatinya partai politik harus menjadi sarana pembinaan bagi kader dan anggotanya secara bermartabat dan berkeadilan.tidak elok jika nantinya PAW dilakukan justeru karena kecipratan “Bakpaw”.
Penulis merupakan Anggota Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) juga Ketua GeMPAR Aceh