Oleh: Nab Bahany Ahmad
“Tapeukhem dikhem, ditem han, Dianggok dianggok, dijok han”
Suatu hari di tahun 1993, saya berada di ruang tamu Redaksi kantor Surat Kabar Harian Media Indonesia di Gondangdia, Jakarta.
Saat itu saya sedang berbincang-bincang dgn seorang teman Redaktur, menyangkut suhu politik pencalonan figur pemilihan Gubernur di Aceh, yang akan menggantikan Gubernur Ibrahim Hasan.
Teman Redaktur ini, sebelumnya pernah menjadi Redaktur Eksekutif Surat Kabar Atjeh Post, yang terbit di bawah manajemen Surya Persindo di Banda Aceh.
Saat kami sedang berbincang-bincang di ruang tamu Redaksi hari itu, masuklah seorang anak muda di ruang tamu itu, mengantar sebuah tulisan opininya, menyangkut perkembangan politik pemilihan Gubernur di Aceh.
Saya sudah tak ingat persis, kalau tidak salah, yang mengantar tulisan opini itu adalah Al Khaidar, putra Aceh yang tinggal di tinggal di Jakarta.
Lalu, sang Redaktur bertanya pada yg mengantarkan tulisan opini itu. “Dalam tulisan kamu ini, kamu menjagokan siapa untuk calon Gubernur Aceh, pak Syamsuddin Mahmud atau Usman Hasan?”.
“Ya, pak Usman Hasan lah bang”, jawab anak muda yang mengantar tulisan itu. “Kalau yang kamu jagokan pak Usman Hasan, besok tulisan kamu kita muat”, kata teman saya yang Redaktur itu.
Ya, esok harinya, menjelang dua hari lagi pemilihan Gubernur Aceh, tulisan itu dimuat di Media Indonesia. Dan saya baca tulisan opini itu, memang benar penulisnya jelas sekali sangat menjagokan Usman Hasan, sebagai figur yang sangat cocok dan pantas jadi Gubernur Aceh saat itu, menggantikan Gubernur Ibrahim Hasan.
Memang, saat itu Jakarta sendiri telah mensetting habis-habisan, dan dengan kekuatan politik Gorkar saat itu, Usman Hasan memang benar-benar disiapkan Jakarta untuk menjadi Gubernur Aceh.
Surat Kabar Harian Media Indonesia saat itu, juga berjuang habis-habisan mencitrakan pak Usman Hasan untuk jadi Gubernur Aceh.
Malah secara kalkulasi politik suara di DPRD Provinsi Daerah Istimewa Aceh saat itu, Usman Hasan sudah diperkirakan bakal unggul lebih dari 60 persen suara di DPRD Provinsi Aceh untuk duduk di kursi Gubernur Aceh.
Samapai sehari sebelum pemilihan, kekuatan politik Jakarta melalui kerja Partai Golkar di pusat, posisi Usman Hasan yang bakal unggul jadi Gubernur Aceh tidak tergoyahkan. Bahkan pengamat politik di Jakarta dan di Aceh saat itu sudah cenderung berkesimpulan, bahwa Usman Hasan akan tetap unggul dalam pemilihan Gubernur Aceh kala itu.
Namun apa yg terjadi kemudian? Menjelang beberapa jam sebelum pemilihan Gubernur esok paginya. Sekira jam 2.0 Wib dinihari menjelan pemilihan besok pagi, sebuah rapat gelap terjadi yg dipimpin oleh pak Ibrahim Hasan.
Dengan terjadinya rapat gelap itu, semua agenda setting Jakarta untuk menggolkan pak Usman Hasan jadi Gubernur Aceh pun terbuyarkan. Kalkulasi suara untuk Usman Hasan yang sudah menjadi pegangan di DPRD Aceh pun berubah dalam hitungan jam.
Tentu saja, kita tidak tahu apa kesepakatan yang muncul dalam rapat gelap dini hari, menjelang beberapa saat pemilihan Gubernur Aceh pada pagi harinya kala itu.
Yang jelas, begitu pemilihan, ternyata pak Usman Hasan yg dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Jakarta, yang unggul adalah pak Syamsuddin Mahmud yang terpilih menjadi Gubernur Aceh waktu itu.
Dan itu, sangat jelas sebagai sebuah perlawanan politik Aceh terhadap Jakarta. Artinya, tidak semua keinginan Jakarta terhadap Aceh dapat di iyakan oleh tokoh-tokoh Aceh kala itu. Dan ini adalah bentuk pembangkangan politik Aceh yang luar biasa terhadap keinginan Jakarta kala itu.
Padahal kita tahu, melawan keinginan politik Jakarta di zaman Orde baru bukan perkara mudah, tapi waktu itu masih ada tokoh-tokoh Aceh, yg berani pasang badan melawan keinginan politik Jakarta yang akan dijalankan untuk Aceh.
Itu sebabnya, harian Media Indonesia yg mengusung Usman Hasan yang kalah dlm pemilihan Gubernur Aceh saat itu, sehari setelah pemilihan, Media Indonesia menurunkan hedline beritanya: “Tapeukhem dikhem, ditem han. Dianggo-dianggok, dijok han”.
Itu artinya, orang Aceh secara politis, kadang apa yg sudah diiyakan belum tentu bisa dijadikan sebuah pegangan. Bisa saja bagi orang Aceh, seyum dan anggukan yang telah diberikan, bukan berarti ia sudah setuju dgn apa yang kita inginkan. Begitulah politik orang Aceh.
Penulis Merupakan Budayawan, Tinggal di Banda Aceh