Oleh: Adam Zainal
Secara umum, “Rapat Tikoh” atau pula “Rapat Tikus” dapat diartikan sebagai sebuah musyawarah rahasia yang tentunya isi dari suatu muwafaqat terkesan haram diketahui oleh orang luar, pihak lain, bahkan pihak musuh atau lawan politik (bagi organisasi politik).
Akan tetapi, secara garis besar dan global, rapat tikoh juga diartikan dalam pola pandang yang tak baik, pun dijabarkan sebagai sebuah siasatan kepentingan kaum elit. Di Aceh sendiri, rapat tikoh menjadi konotasi yang buruk. Hal itu dipercayai oleh semua masyarakat yang hidup dalam lingkup kehidupan majemuk.
Konotasi “rapat tikoh” dalam kehidupan masyarakat Aceh tak lagi menjadi frame dan kalimat yang asing, ia telah menjadi sesuatu hal yang lazim dibicarakan oleh rakyat banyak, bahkan amat sering dikait-kaitkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Istilah rapat tikoh tak hanya menjadi pameo di kalangan para elit, instansi tertentu, lembaga kepemudaan, dan ormas-ormas, melainkan juga menjadi rihlah serta kelaziman yang sering berlaku di lembaga pemerintah tingkat gampong-gampong, juga yang paling rendahnya juga berlaku dalam kelompok-kelompok kecil apapun.
Awal mulanya sebutan rapat tikoh itu sendiri lahir dari mulut ke mulut, lalu menjadi sesuatu yang dipercayakan ada kaitan dengan muwafaqat kelompok yang memiliki peranan penting dalam suatu negara, daerah, gampong, bahkan lembaga-lembaga kepemudaan hingga koperasi unit usaha desa, kelompok tani, serta kelompok nelayan.
Lain sisi, kenapa dinamakan rapat tikoh? Sebermula lahir dari suatu musyawarah yang hasilnya bersifat tidak mewakili suatu kelompok bangsa atau kelompok masyarakat. Dalam hal ini, ketika sebuah rapat tikoh usai dilaksanakan, maka sama sekali tak berefek terhadap kepentingan rakyat banyak, sehingga sebagian masyarakat menyebut muwafaqat tersebut sebagai “rapat tikoh”, yang secara umum dipandang sebagai musyawarah busuk.
Dalam sebuah organisasi atau kelompok tani misalnya, rapat tikoh hanya melibatkan beberapa orang saja, pelaku atau pengurus inti yang memiliki jabatan penting, diantaranya, ketua kelompok, sekretaris dan bendahara. Pun, demikian dengan rapat tikoh yang berlaku di tangkat gampong yang juga hanya melibatkan tiga atau empat orang.
Biasanya, rapat tikoh yang berlaku di gampong melibatkan Geuchiek (Kepala Desa), Keurani Tjut (Sekretaris Desa), Kasi Keuangan (Lazim disebut bendahara), dan Ketua Peutuha Peut. (Bila hubungan bilateral dan siasatnya selaras dan seirama dengan Eksekutif gampong).
Namun, yang amat membedakan rapat tikoh dengan rapat rakyat (musyawarah umum yang melibatkan semua masyarakat) adalah tempat, tujuan, regulasi, yang tentunya menjadi rahasia yang sama sekali tidak bisa diketahui oleh sembarang orang, atau masyarakat luas.
Pun demikian, yang dinamakan rahasia atau sesuatu yang kerahasiaannya tak perlu diketahui oleh orang banyak merupakan “siasat jahat” atau “rahasia busuk” yang memiliki tujuan dan hasrat yang tak tentu sama dengan impian, harapan, serta keinginan masyarakat. Pun, sesuatu hal yang terjadi seperti di atas barangkali dapat dikatakan atau diartikan sebagai perumpamaan yang mungkinya berkaitan dengan makna dari pameo “rapat tikoh” itu sendiri.
Dari rentetan rapat tikoh ataupun rahasia yang katanya “rahasia negara”, dan tidak boleh sembarang dipublikasi dan di konsumsi oleh masyarakat luas, diantaranya terdapat kasus koruptif yang disembunyikan dengan rapat-rapat. Terdapat pula rentetan laporan pertanggung-jawaban yang keliru, tumpang tindih dan fiktif, maupun bukti-bukti keuangan yang tidak jelas. Bahkan, Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ) dana desa berkesan diklaim sebagai rahasia negara.
Sesungguhnya, yang disebutkan dengan “rahasia negara” adalah sesuatu yang bila dipublikasikan akan berdampak bagi pertahanan dan keutuhan negara. Sedangkan laporan pertanggung-jawaban uang negara wajib disampaikan secara terbuka kepada masyarakat atau otoritas terkait, sebab uang negara merupakan milik rakyat.
Kembali lagi ke rapat tikoh: rapat yang tak habis-habisnya bila dibahas dari tahun ke tahun, abad ke abad. Sebab, muwafaqat busuk itu tak hanya berlaku di zaman ini, bahkan barangkali juga pernah terjadi di zaman sebelumnya, sehingga sebutan rapat tikoh telah menjadi wujud tradisi yang turun temurun hingga kini masih berkembang di masyarakat luas, khususnya masyarakat Aceh.
Namun begitu, secara harfiah rapat tikoh perlahan menjadi kebiasaan yang sering dilakukan oleh kelompok tertentu tanpa pertimbangan, kendala dan frame negatif yang saban waktu melilit telinga-telinga yang merasa komentar-komentar tak sedap dari masyarakat ditujukan kepada mereka berdasar kebijakan serta tingkah laku yang dinilai merugikan rakyat banyak.
Contoh kecilnya yang barangkali menjadi catatan masyarakat Bireuen khususnya, adalah muwafaqat beberapa oknum atau kelompok tertentu dalam meminit desa-desa dengan beragam dalih, bujuk rayu, bahkan cara-cara yang dinilai sedikit “terpaksa”. Barang-tentu kelompok memiliki hasrat besar yang tentunya tak selaras dengan keinginan masyarakat.
Nah! Sebelum bertempur dan bergerilya ke desa-desa, kelompok tersebut terlebih dahulu membuat pemetaan, menyusun strategi tempur, merembuk tujuan dan capaian, serta mencari penghubung yang memiliki pengaruh di desa masing-masing. Semua taktik dan strategi di atas lahir dari muwafaqat yang disebut dengan rapat tikoh.
Belakang, desa menjadi lirikan para pujangga yang barangkali masuk dalam skuad atau jamaah “rapat tikoh”. Tujuan mereka tak perlu dijabarkan lagi secara jelas dan blak-blakan, sebab semua orang sudah mengetahuinya, mereka meminit desa-desa atas tujuan menggerogoti anggaran Dana Desa (DD) yang bergelimpangan.
Pun, untuk diketahui bersama, tulisan ini hadir hanya untuk menerjemahkan sedikit tentang frame atau sebutan “Rapat Tikoh” yang begitu melekat di benak masyarakat Aceh. Di sisi lain juga sedikit mengulas tentang keterkaitannya dengan realita yang sedang terjadi.
Penulis merupakan Jurnalis, Novelis dan aktif penulis lepas