Oleh: M. Dewantara
15 Tahun Perdamaian Aceh Pasca penandatanganan MoU Helsinki menjadi Beban berat bagi kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kini sejarah ada di pundak mereka, tipikal orang Aceh yang tidak mau tahu kegagalan Aceh pasca damai membuat para Eks GAM khususnya juru runding akan mendapat caci maki dan sumpah serapah rakyat.
Begitu cerdas dan pahamnya Sultan Muhammad Daud Syah terhadap karakter rakyatnya, beliau tidak mau menandatangani perjanjian damai dan mengakui kedaulatan Belanda atas kerajaan Aceh sampai akhir hanyatnya. Hal itu tidak terlepas dari kekhawatiran sumpah serapah anak cucu bangsa Aceh terhadap beliau dan menjadi sejarah kebodohan. Sehingga beliau lebih memilih jadi tawanan ketimbang jadi raja boneka.
Akankah perjanjian damai Aceh telah menjebak para petinggi GAM dan mantan GAM? sehingga makian dan sumpah serapah semakin mengerucut terhadap mereka, yang ironisnya lagi mereka telah dituduh menjual Aceh oleh segelintir masyarakat hal itu karena kemewahan dan jabatan yang mereka dapat.
Sangat ironis jika butir-butir MoU Helsinki gagal diimplementasikan, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan terjadi dan mereka beserta keluarga akan menjadi korban, ini tak ubahnya seperti peristiwa Teuku Daud Cumbok dan para Ulee Balang pengikutnya saat terjadinya revolusi yang di motori PUSA di tengah kekecewaan rakyat selama pendudukan Belanda secara de facto.
Jika permasalahan ini terus berlarut bersiap siaplah para mantan GAM dan embel-embelnya, tidak lama lagi gelar pahlawan yang pernah tersemat akan berubah menjadi pecundang.
Bagaimana pun hari ini kita jangan membiarkan mereka dalam sanderaan sejarah, kita harus memperkuat barisan mereka dengan segala kemampuan pengaruh dan intelektualitas, Begitupun kepada para pejuang kemerdekaan tersebut selayaknya menghindari sekecil apapun konfrontasi internal sesama kelompok dan seluruh lapisan masyarakat Aceh.
Kita hampir gagal mengantar Aceh menuju gerbang yang bermartabat, makmur, adil dan sejahtera pasca gagalnya cita-cita besar Aceh Merdeka. walaupun kita bersedia bersanding dalam damai dibawah panji Nasionalisme Indonesia, salahkah GAM? saya menjawab tidak, dan samasekali tidak.
Mengapa saya berani mengatakan tidak menyalahkan GAM, berbagai masukan tokoh Aceh, ulama dan rakyat Aceh pada saat itu sebahagian besar menginginkan adanya perdamaian antara GAM dan RI. Itupun bukan tanpa alasan, pandangan tokoh-tokoh Aceh kala itu diantaranya; modal besar berdirinya Indonesia tidak terlepas sumbangan sejarah dari Rakyat Aceh yg tidak pernah melepaskan sejengkal tanah pun untuk kedaulatan Hindia Belanda, besarnya pengorbanan jiwa raga dan harta untuk berdirinya Indonesia dan enggan melepas saudara se iman di seantero nusantara, juga tidak terlepas dari duka musibah tsunami yang sangat menyita emosional.
Berdasarkan masukan-masukan itulah sehingga GAM bersedia berdamai dan melucuti seluruh senjata kepada Tim pemantau international untuk di musnahkan.
Kini GAM ibarat harimau yang telah dicabut kuku dan taringnya, harus berjuang kembali menyelamatkan Aceh dalam damai agar tidak kembali pada sejarah silam ikrar Lamteh, tetapi ketahuilah pada para pejuang tersebut masih ada loreng ditubuhnya, gaung suara dari mulutnya masih membelah cakrawala, aromanya juga masih membuat musuhnya kecut, tinggal bagaimana mereka memamfaatkan semua potensi tersebut supaya bisa segera keluar dari kemelut permainan panjang politik Indonesia.
Cerdaslah, bersatulah dan merangkullah, serta bersedia mamanfaatkan semua potensi intelektual Aceh, terutama ulama dan insan kampus. Baik mereka yang ada di Aceh maupun diluar Aceh.
Bila perlu mereka segera Memfasilitasi diadakannya KONGRES RAKYAT ACEH Ban Sigom Donya, supaya masalah Aceh tidak tertumpuk dipundak mereka saja, dengan tidak lupa melibatkan seluruh elemen pemuda Aceh baik itu Ormas maupun organisasi legal lainnya, jika tidak, kegagalan implementasi MoU Heksinki dijamin akan menjadi tanggung jawab mereka penuh dihadapan rakyat Aceh.
Saya hanya bisa berujar kepada para pihak yang telah berdamai “Berdamailah Dengan Ikhlas”.
Semoga ALLAH menyelamatkan muka saudara kita dari hinaan dan cacian bangsanya juga kepada para pencela sadarlah, mereka juga manusia yg punya titik lemah dan salah, tetapi meruntuhkan martabat mereka sama saja menginjak kepala kita sendiri dihadapan bangsa lain.
Penulis merupakan Mantan Aktivis Universitas Syiah Kuala