Oleh: Ahmad Zainul Hamdi
PERSIS seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan, upaya penghentian pandemi Covid-19 oleh pemerintah bisa terganggu dengan datangnya bulan Ramadhan. Kekhawatiran ini sama sekali bukan sebentuk Islamophobia, tapi karena tradisi Ramadhan di Indonesia dipenuhi dengan berbagai ritual komunal, mulai buka bersama, jamaah tarawih, tadarrus, pengajian, hingga salat Idul Fitri.
Sekalipun semua ritual ini bukan kategori kewajiban agama, namun keistimewaan Ramadhan bagi umat Islam telah mendorong seluruh ritual ini beraura “kewajiban” agama. Di mana partisipasi umat tergolong sangat tinggi.
Jika kita mengamati di banyak tempat, kekhawatiran ini agaknya cukup beralasan. Misalnya, banyak masjid yang masih menyelenggarakan ibadah jamaah shalat tarawih seakan kita tidak sedang berada di tengah wabah.
Bahkan, sebuah video viral di mana para jamaah shalat tarawih berlompatan menghindari protokol pencegahan penyebaran Coronavirus. Penjagaan aparat seakan aparat merintangi umat Islam yang hendak beribadah.
Sebegitu mengkhawatirkan situasi ini hingga Menkopolhukam, Mahfud MD, membuat pernyataan bahwa pihak-pihak yang masih ngotot menyelenggarakan jamaah shalat tarawih bisa diberi sanksi karena bisa dianggap melawan keputusan pemerintah. 9
Bahkan menteri yang juga mumpuni dalam ilmu agama ini menjelaskan pernyataannya itu dengan argumen agama bahwa dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan itu lebih didahulukan/diutamakan daripada mengambil kebaikan). Apalagi, jika kemaslahatan atau kebaikan itu bukan kategori kewajiban agama seperti jama’ah shalat tarawih.
Di samping ‘ekonomi’, mungkin ‘agama’ adalah kata yang paling banyak disebut dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Jika ekonomi menawarkan cara untuk mendapatkan kemakmuran di dunia, agama menawarkan keselamatan di dunia dan akhirat. Tidak seperti ilmu ekonomi di mana cara kemakmuran yang ditawarkannya boleh disanggah dan ditantang, jalan keselamatan yang ditawarkan agama selalu disegel dengan klaim kebenaran absolut.
Tapi justru karena inilah agama seringkali problematik. Dari mata air agama, kita menemukan pesan-pesan damai, tapi dari jantung agama pula kita menemukan berbagai konflik kekerasan yang berdarah-darah. Keduanya mengklaim sebagai jalan keselamatan. Agama adalah pedang bermata dua.
Saat wabah, ketika manusia dihantui kematian yang bisa datang kapan saja, agama yang mendaku sebagai jalan keselamatan itu mau tak mau dicari-cari pemeluknya untuk membuktikan janjinya. Sayangnya, dalam sejarah wabah, yang datang untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan adalah sains.
Sains yang lahir dari rasio manusia tak pernah mengklaim kebenaan absolut. Dia hanya menjelaskan mengapa sesuatu terjadi. Mungkin penjelasannya salah, tapi dia mencari penyebab yang ada di bumi. Penyebab yang ada di langit yang seringkali keluar dari lisan para agamawan tak pernah bisa dimasukkan ke dalam tabung-tabung laboratorium untuk diperiksa.
Saat Wabah Hitam (Black Death) membunuh seperempat hingga setengah penduduk Eropa pada abad ke-14, misalnya, para agamawan nyaris kehilangan reputasinya karena doa-doanya tak bisa menjaga umatnya dari serbuan wabah. Mereka juga tumbang oleh bakteri yang menginfeksi kutu tikus-tikus yang ngendon di geladak kapal-kapal yang berlayar dari Asia ke Eropa.
Salib yang ditempel di pintu-pintu rumah tak sanggup menolak bakteri yersinia pestis yang masuk ke dalamnya. Berbagai ritual penyiksaan diri untuk menapaktilasi pengorbanan Yesus yang kematiannya untuk menebus dosa-dosa anak cucu Adam pun hanya menambah luka.
Saat para dokter berjibaku mencari sebab-sebab duniawiyah mengapa wabah terjadi, para tokoh agama sibuk menyibak langit. Khotbah-khotbah keagamaan dipenuhi dengan seruan pertobatan.
Semakin banyak yang mati, semakin melengking seruan itu untuk mengajak sebanyak mungkin orang berjamaah memohon ampunan Tuhan. Dan, semakin banyak pula nyawa-nyawa umatnya yang menemui kakek-neneknya di surga.
Setengah milenium lebih wabah hitam itu berlalu. Apa yang kita temukan kini? Penjelasan agama tak beranjak. “Tuhan lebih besar dari Coronavirus,” kata pendeta di sana. “Corona hanya akan menginfeksi orang-orang munafik,” kata ustadz di sini.
Tidak seperti saat kehidupan dipenuhi kenyamanan tanpa wabah, kali ini dua pihak yang biasanya berseteru berebut kebenaran itu seakan sepakat melakukan gencatan senjata. Keduanya mengumandangkan himne bersama, “Wabah ini adalah hukuman Tuhan. Saatnya kita bertobat ketika sekian lama kita mengabaikan-Nya karena terlalu menaruh kepercayaan pada sains dan rasio.”
Keduanya mengumpulkan umatnya untuk melakukan ritual pertobatan massal agar bisa merangkul banyak manusia yang tersesast. Doa dan tangis massal dalam ritual komunal diyakini segera bisa menjebol langit dan merayu Tuhan agar tidak terus-terusan marah dan menghukum manusia dengan wabah.
Setelah keluar dari rumah Tuhan dengan berhimpit-himpitan, satu per satu mereka bertumbangan, termasuk para penyeru dan penggaransi keselamatan. Kemudian, mereka mencari dokter untuk mencari pengobatan agar mereka tetap bisa berkelit dari kematian.
Di mana para tokoh agama tadi? Seperti orang biasa, mereka akan sadar pada waktunya, yaitu saat aliran darah di tubuhnya menjadi kolam renang Coronavirus.
Apakah agama salah? Tidak! Yang salah adalah cara kita beragama. Setiap klaim pada akhirnya harus bisa dibuktikan. Klaim yang hanya sebatas mulut pada akhirnya memiliki batasnya.
Batasnya adalah ketika ia dihadapkan pada ujian yang nyata. Biarlah klaim-klaim keselamatan ukhrawi terjawab saatnya nanti. Tapi, wabah adalah soal derita penyakit yang ditanggung manusia konkret dalam kehidupan konkret.
Permohonan ampunan dan doa-doa yang dipanjatkan jika itu menenangkan hati mungkin akan menjadi immune booster yang bisa menangkal bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Tapi mengumpulkan ratusan atau bahkan ribuan orang untuk menggelar ritual komunal jelas sebuah cara beragama yang sama sekali tidak bijaksana.
Wabah adalah wabah. Ia tidak peduli agama. Virus dan bakteri memiliki rumus hidup dan penularannya sendiri tanpa harus melihat rekam jejak peribadatan seseorang.
Saat ilmuwan berjibaku berusaha menemukan vaksin; dokter dan perawat mempertaruhkan nyawa mengobati para korban wabah; seruan mengkarantina diri digaungkan untuk memutus mata rantai penyebarannya, adalah menyakitkan jika atas nama Tuhan mereka tidak hanya menantang protokol itu, tapi juga mengolok para petugas sebagai manusia yang tak punya iman. Iman yang dewasa adalah iman yang memberi kehidupan, bukan mengajak bunuh diri massal atas nama Tuhan.
Sejarah telah memberi pelajaran, cukuplah kita menggunakan nalar dengan baik untuk menghindari penularan dalam masa wabah. Karantina adalah protokol pemutusan penularan pandemi yang sudah berusia ribuan tahun.
Sekalipun orang zaman dulu tidak tahu bagaimana mikroba menyebabkan penyakit, namun nalar sehat mereka bisa menyimpulkan bahwa kontak dengan orang sakit dapat menyebabkan penyakit.
Saat pandemi Wabah Hitam menyerang Eropa di abad ke-14, mikroskop belum ditemukan. Louis Pasteur dan Robert Koch baru berteori tentang kuman pada 1870. Dmitri Iwanosk baru mengidentifikasi virus sebagai agen penyakit pada 1892. Antibiotik pertama baru ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Dan, virus baru sungguh-sungguh terlihat oleh mata pada 1930.
Sekalipun demikian, otoritas Venesia, Itali, dan kota-kota pesisir lain saat itu menerapkan kebijakan karantina bagi kapal-kapal yang datang. Kapal-kapal itu harus dikarantina selama empat puluh hari sebelum berlabuh. Istilah “karantina” saat ini sebetulnya mengacu pada istilah ‘Quarantina” yang diterapkan otoritas Venesia saat itu, yang secara harfiyah berarti “empat puluh”.
Tak perlu tengadah ke langit bagi mereka untuk menyadari bahwa penyakit terjadi saat kapal-kapal dari daerah lain, terutama Timur Tengah, memasuki pelabuhan. Bahkan para dokter saat itu pun salah membuat diagnosis terhadap wabah yang membuat mayat-mayat hanya digeletakkan di jalan-jalan itu.
Saat itu, masyarakat awam meyakini wabah sebagai kecamuk roh jahat. Penggemar ilmu perbintangan berspekulasi bahwa bumi sedang mengeluarkan uap mematikan karena planet sedang dalam susunan tidak normal.
Agamawan mengkhotbahkan kemurkaan Tuhan karena kesombongan manusia. Namun mereka semuanya diam-diam menyadari bahwa penyakit itu datang karena sebab-sebab yang bisa dikenali oleh nalarnya. Mengakui atau tak mengakui, itu urusan lain.
Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan ketaatan dalam beragama. Namun, tak perlu menanggalkan rasio, karena rasio adalah perangkat yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia untuk menyelesaikan masalah-masalah di dunia.
Melalui rasio, manusia bisa menemukan mikroskop, antibiotik, vaksin, dan menemukan virus serta jalur-jalur mutasinya. Dengan itu pula, manusia bisa mempersiapkan diri dan memberi jalan keselamatan pada manusia dari kepunahan di dunia. Dan, orang-orang yang taat beragama bisa nyaman melanjutkan beribadah kepada Tuhannya.
Penulis Merupakan Direktur Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya
Artikel ini dikutip dari sindonews.com