Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Setahun Menjabat, Nadiem Makarim Dapat Rapor Merah dari Serikat Guru

LINTAS NASIONAL – JAKARTA, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan rapor merah terhadap kinerja satu tahun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Kebijakan yang diciptakan mantan bos Go-jek itu dinilai belum bisa memenuhi nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang mereka tentukan.

“Nilai di bawah 75, ini bisa dikatakan tidak tuntas atau kurang. Rata-rata nilai [Mendikbud] 68 kurang. Dalam kebiasaan pendidikan kalau ini nilainya merah menurut kami,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Mansur melalui konferensi video dilansir dari laman CNNI pada Minggu 25 Oktober 2020

Ia menjelaskan nilai tersebut diberikan berdasarkan perhitungan nilai dari delapan kebijakan yang dibuat Nadiem selama setahun ke belakang. Penilaian dilakukan dari survei dan pemantauan di lapangan oleh FSGI.

Kebijakan yang termasuk dalam unsur penilaian diantaranya penghapusan ujian nasional (UN), kurikulum darurat di tengah pandemi, Asesmen Nasional dan bantuan kuota belajar.

Kemudian hibah merek Merdeka Belajar dari Sekolah Cikal untuk Kemendikbud, relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan Program Organisasi Penggerak (POP).

Untuk penghapusan Ujian Nasional, FSGI memberikan nilai 100 untuk Kemendikbud. Biro Administrasi FSGI Slamet Maryanto mengatakan penilaian akhir yang dilakukan terhadap siswa di akhir jenjang tidak membantu kemajuan pendidikan.

Sejak awal pihaknya sudah berupaya menyuarakan hal ini kepada pemerintah, namun akhirnya dikabulkan di era Nadiem. Kebijakannya mempercepat penghapusan UN di tengah pandemi juga dinilai sigap.

“Tekanan psikologis masyarakat cukup tinggi. Untuk itu dengan penghapusan UN menghilangkan tekanan psikologis siswa dan guru,” ujarnya.

Kemudian pengganti UN, Asesmen Nasional sesungguhnya juga dinilai baik secara konsep. Namun karena pelaksanaannya belum berjalan, FSGI memutuskan memberi nilai 75.

Penetapan kurikulum darurat di tengah pandemi diberi nilai 80 karena berhasil meringankan beban siswa dan guru. Namun masih ditemukan kendala dalam implementasinya, seperti sekolah yang belum menerapkan kurikulum darurat karena menunggu instruksi dinas pendidikan.

Untuk itu ia menyarankan Kemendikbud menetapkan kurikulum darurat sebagai satu-satunya kurikulum yang digunakan selama pandemi. Dibanding membebaskan keputusan tersebut kepada sekolah.

Namun di luar tiga kebijakan tersebut, kebijakan Nadiem yang lainnya tidak mendapat predikat baik atau tidak mencapai KKM. Misalnya terkait bantuan kuota belajar.

Presidium FSGI Nihan menyebut sesungguhnya kebijakan subsidi kuota berniat baik, karena membantu masalah PJJ yang dialami sejumlah siswa dan guru. Namun bantuan ini tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Ia menegaskan masih banyak siswa yang tak punya gawai atau tidak mendapat akses jaringan internet, sehingga bantuan kuota pun percuma jika diberikan kepada mereka.

“Proses penyaluran kuota juga tidak sesuai rencana. Sampai saat ini masih ada sekolah bertanya kenapa belum dapat bantuan. Jadi tidak tepat waktu,” ujarnya.

Menurutnya, sebagian anggaran untuk kuota sebaiknya dialihkan untuk membantu memfasilitasi gawai untuk siswa, penguat sinyal maupun layanan Wi-fi di RT/RW. Sehingga dana yang dianggarkan tidak berpotensi mubazir.

Kebijakan PJJ pun diberi predikat kurang sekali, yakni dengan nilai 55. Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menyinggung pelaksanaan belajar dari rumah yang tak ada peningkatan secara signifikan meskipun sudah lebih dari setengah tahun.

Ia menduga ini karena Kemendikbud tidak pernah memetakan permasalahan PJJ di lapangan secara rinci dan mengevaluasinya secara berkala. Kalaupun sudah dilakukan, katanya, hal tersebut tak pernah dibuka ke publik.

“Karena tiap daerah itu berbeda masalahnya. Di Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan), sinyal sulit. Hanya 30 persen anak di daerah terlayani daring. Artinya di sana masalahnya sinyal. Dibantu kuota juga nggak ada gunanya,” pungkasnya.

Menurutnya, kebijakan Kemendikbud dalam mendorong PJJ seharusnya didasari oleh masing-masing permasalahan yang ada di lapangan. Bukan disamaratakan tanpa ada data dan analisa yang rinci.

Ia pun menyinggung dua siswa yang menjadi korban meninggal dunia karena dianiaya orang tua dan bunuh diri menenggak racun. Motif dari kedua kasus diduga berhubungan dengan PJJ.

Retno menyebut ini membuktikan berbagai masalah pada kendala PJJ belum banyak terselesaikan. Termasuk evaluasi yang seharusnya dilakukan sepanjang PJJ berlangsung.

Kemudian perkara kebijakan Merdeka Belajar, FSGI memberikan nilai 60 lantaran polemik yang sempat terjadi terkait didaftarkannya slogan program tersebut sebagai merk dagang oleh Sekolah Cikal.

Banyaknya kritik dari berbagai kalangan berujung penghibahan merk dagang kepada Kemendikbud. Namun menurut Retno penghibahan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur pada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah.

Ia menyebut penghibahan merek Merdeka Belajar harus melibatkan campur tangan presiden karena ada dugaan konflik kepentingan dalam kasus tersebut. Namun hal tersebut tidak dilakukan.

“Ini hanya Kemdikbud diwakili mas menteri. PT Cikal oleh Najeela Shihab, kemudian tandatangan di atas materai. Tidak bisa begitu, harus lawat Kementerian Hukum dan HAM,” lanjutnya.

Selanjutnya kebijakan relaksasi dana BOS diberi nilai 60. Melalui kebijakan ini, Nadiem mengizinkan sekolah menggunakan dana BOS untuk membayar guru honorer, fasilitas protokol kesehatan, atau membantu jalannya PJJ.

Namun menurut Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo, aturan yang mengikat di pemerintah daerah masih menghalangi fleksibilitas penggunaan dana BOS.

Ia menjelaskan dana BOS umumnya baru bisa dipakai setelah laporan penggunaannya diajukan dan dikabulkan Dinas Pendidikan. Perubahan laporan penggunaan anggaran di tengah pandemi akhirnya memakan waktu karena harus menunggu izin dinas pendidikan.

Yang terakhir kebijakan Program Organisasi Penggerak diberi nilai paling buruk, yakni 50. Ini lantaran kontroversi yang sempat melanda program itu sehingga akhirnya ditunda pelaksanaanya tahun 2021.

“Sementara dihentikan tidak menyelesaikan masalah. Justru potensi menghamburkan uang negara. Itu biayanya sudah mengalir ke sana untuk seleksi, sudah dikeluarkan,” tambahnya.

Ia pun meminta Kemendikbud mengevaluasi secara menyeluruh program tersebut dan membatalkannya jika dinilai tidak bermanfaat dan justru berpotensi menghamburkan uang negara. (CNNI)