Opini  

Stop Wariskan Kebodohan!

Oleh: Fauzan Azima

“Cerak-cerak yoh, cogah pe jadi” begitu canda pemuda tanggung yang mengajak kawan-kawannya untuk tidak diam dan asal berbicara, dusta pun tidak masalah.

Siapa pun dia, karakter demikian itu tidak pantas ditiru. Bukankah lebih baik berkata benar atau diam saja. Berkata bohong adalah salah satu ciri orang munafik, yang merupakan sifat tercela yang harus dibuang jauh-jauh.

Selanjutnya, alangkah rusaknya negeri ini kalau yang melakukan kebohongan itu para senior. Tentu saja, dampaknya lebih luas dan berkesinambungan seperti air mengalir dari hulu ke hilir.

Biasanya, kebohongan para senior lebih masif dan terstruktur. Tidak saja verbal seperti berbohongnya pemuda tanggung tadi, tetapi bisa menggunakan dana dan fasilitas negara dalam menyebarkan kebohongannya.

Para seniorlah yang bisa menyebarkan kebohongan dengan pameran, pertunjukan seni, seminar dan diskusi publik dengan tujuan mempertahankan kesinambungan popularitasnya.

Berbagai macam cara menaikkan “rating populisnya”; di antaranya dengan mengkait-kaitkan dirinya dengan masa lalu, bahwa dirinya “trah” yang menurut “wangsit” adalah pewaris negeri ini. Dia membangun narasi “barang antik” yang ada padanya adalah bukti, bahwa seolah dirinya mendapat amanah dari nenek moyang, harus memimpin negeri ini.

Sayang sekali, kebohongan para senior yang demikian itu tidak menghikmahi. Itu yang menjadi masalah, bahkan menjebak masyarakat, khususnya pemuda ke dalam kubang kebodohan.

Pada masa lalu ada istilah, “Sedikit berbohong untuk kebaikan yang lebih besar, tidak menjadi masalah,” atau dengan kata lain, “Kesalahan yang menghikmahi bisa dianggap benar.”

Seperti yang berlaku pada Kerajaan Samudera Pasai, yang berkuasa pada akhir abad XII sampai dengan awal abad XV, yang penduduknya mengelabui pedagang atau pengelana yang singgah di wilayahnya, dengan mengatakan bahwa Jenghis Khan bekerja sama dengan kerajaan yang terletak di pesisir pantai pulau Sumatera itu.

Begitupun Kerajaan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sulthan Iskandar Muda pada abad XVI, penduduknya mengatakan kepada orang asing yang singgah di Bandar Aceh bahwa negerinya bekerja sama dengan Kekhalifahan Turki Usmaniyah.

Nenek moyang kita dari Kerajaan Bukit mencari perlindungan kepada Kerajaan Aceh, ketika pulang ke Gayo mendapat “bawar” sebagai pengganti “stempel” kerajaan. Akan tetapi “bawar” itu tidak dikultuskan. Konon Reje Bukit memberikan kepada siapa saja orang mau menerimanya karena menganggapnya tidak lebih sebagai besi tua yang tidak ada manfaatnya.

Penerimaan bawar itu bertujuan politis untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintahan yang lebih kuat. Tabiat itu biasa dalam sebuah negeri. Bisa jadi kita kelinci, tetapi di belakang kita ada dukungan singa yang kuat dan berwibawa. Sehingga membuat kawan atau lawan segan berhadapan dengan kita.

Kalau orang-orang pada masa kerajaan, yang notabene belum mengenal teknologi secanggih sekarang saja sudah “menafikan barang antik,” cerdaskan kita yang hidup pada zaman revolusi industri 4.0 masih bangga memamerkan barang-barang yang tidak bisa merubah hidup kita menjadi lebih baik.

Kebenaran “kekeramatan” barang antik justru saat tidak dipamerkan, tetapi ketika sudah siapapun bisa melihatnya, dia menjadi barang yang tidak bertuah atau bahkan itu hanya duplikat yang banyak diperdagangkan di Jln. Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat, dan atau hanya rakitan Bandung.

“Jangan bangga dengan simbol karena itu bisa menjadi berhala dalam hatimu” kata Gus Dur semasa hidupnya.

Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah yang memperbaiki akhlak manusia pun sudah memberi tahu 1400-an lalu bahwa jangan ada lagi najis bathin berhala dalam lingkungan manusia. Alangkah naifnya kita justru sekarang menumbuh-suburkan kembali berhala-berhala dalam bentuk lain.

Saya khawatir tingkah laku para senior menjadi “Canu setang” terhadap tugasnya sebagai pribadi maupun sebagai ummat yang membuatnya mabuk. Sadarkah para senior sedang mewariskan atau memang sengaja menjalankan skenario pembodohan terhadap masyarakat banyak.

Penulis merupakan Eks Panglima GAM Wilayah Linge

(Mendale, 17 Pebruari 2022)