Opini  

Ulama Berkumpul, Pertanda Aceh Sedang Kritis

Oleh: Usman Lamreung

Pertemuan Silaturrahmi Ulama Seluruh Aceh pada Rabu-Kamis tanggal 10-11 November 2021 kemarin, dengan tema Peran Ulama Dalam Perbaikan Politik Aceh, menandakan bahwa Aceh sedang tidak baik-baik saja atau sedang mengalami masa Kritis.

Berbagai masalah yang selama terjadi seperti pendangkalan Aqidah, munculnya berbagai aliran sesat, merosotnya akhlak karimah, syariat Islam jalan ditempat, korupsi merajalela, kehidupan masyarakat Aceh sangat hidonisme, narkoba, konflik lembaga politik, game online, sesat menyesatkan sesama muslim yang berbeda mazhab dan berbagai masalah lainnya.

Inilah Aceh masa kini, sepertinya Aceh berada pada sebuah persimpangan jalan, namun belum menentukan jalan yang mana melanjutkan perjalanan untuk mencapai tujuan dan cita-cita.

Karena nahkodanya, tidak mampu membaca peta jalan, untuk memutuskan jalan mana yang diambil untuk melanjutkan perjalanan, disebabkan matanya rabon, teliga tuli, lidahnya beku, pikirannya ego dan menganggap dirinya paling tau, sehingga tidak butuh penasehat, akhirnya rakyat, cuek, apartis hingga tidak lagi dipercaya. Sampai akhirnya Ulama turun gunung mengingatkan sang nahkoda beserta para lingkaran kekuasaan lainnya.

Melihat Aceh masa kini, saya tertarik sedikit mengulas sejarah Imam Al-Ghazali, pada saat awal beliau mengembangkan ilmu tasawuf kondisi kota Baghdad sedang dalam situasi politik kacau-balau, penuh fitnah, dan perpecahan. Ditambah lagi pengaruh Ahlussunnah Waljamaah saat itu juga mengalami titik yang sangat menyedihkan dan nyaris hilang, dan sementara kekuatan madzhab Syi’ah semakin besar di kota Baghdad.

Untuk mengantisipasi kekuatan Syi’ah semakin besar, Bani Saljuk dibawah menteri Nizhami Muluku membangun madrasah-madrasah Nizhamiyah pada abad 5 hijryah. Lembaga ini sangat berjasa pada Imam Al-Ghazali. Di madrasah Nizhamiyah (cabang Naisabur) Imam Al-Ghazali menuntut ilmu. Al-Ghazali sempat juga mengajar di Madrasah Nizhamiyah (cabang Baghdad) untuk memperkuat madzhab Ahlussunnah Waljamaah, untuk melawan madzhab Syi’ah.

Begitu juga dengan kelompok muslim lainnya, membangun madrasah-madrasah untuk menyokong kekuasaan sebagaimana yang dilakukan bangsa-bangsa lain pada abad 5 hijriyah tersebut.

Selain Syi’ah juga berkembang aliran Bathiniyah. Aliran Bathiniyah ini awalnya adalah berasal dari faksi politik, kemudian berubah menjadi madzhab keagamaan. Madzhab ini berpandangan bahwa manusia tidak mungkin mencapai hakikat dengan akal.

Mereka berpandangan seperti ini karena akal satu orang dengan yang lainnya selalu berbeda. Oleh karena akal tidak berfungsi, mereka membutuhkan seorang imam yang makhsum (yang bebas dari dosa). Imam makhsum inilah yang mengajar agama dan membimbing mereka melakukan kegiatan yang mendatangkan kebaikan bagi agama dan dunia. Madzhab ini sama sekali mengabaikan peran akal. Madzhab ini ditentang dengan tegas oleh Al-Ghazali dalam kitabnya yang bertajuk Fadha’ih Al-Bathiniyyah.

Aceh Butuh Sosok Seperti Imam Al Ghazali

Secara politis, Al-Ghazali punya peran yang signifikan, salah satunya mengeluarkan fatwa boleh dan tidak bolehnya Mahmud bin Malik Syah duduk di atas tampuk kekuasaan, karena Mahmud masih anak-anak. Biarpun pada akhirnya Sultan berubah pikiran dan mengakui kekuasaan Mahmud.

Kehidupan Politik ketika itu semakin rusak. Perebutan kekuasaan dengan meninggalnya Nizhamul Muluk karena terbunuh. Kejadian ini menyebabkan harapan Al-Ghazali pupus. Melihat keadaan Al-Ghazali ini, sebagian orang menuduh bahwa kecenderungan Al-Ghazali pada amaliah tasawuf disebabkan oleh karena dirinya ketakutan pada madzhab Bathiniyah yang telah berhasil membunuh Nizhamul Muluk

Al-Ghazali bergantung harapan besar pada Nizhamul Muluk, namun pupus sudah sejak terbunuhnya Nizhamul Muluk pada tahun 485 H. Akibat kacau balau ini diperparah dengan situasi politik semakin tidak kondusif akibat perebutan kekuasaan, menyebabkan terdorong Al-Ghazali untuk mengasingkan diri dan menggeluti dunia tasawuf.

Al-Ghazali mengasingkan diri dan menggeluti dunia tasawuf bukan karena takut para pengikut madzhab Bathiniyah sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang. Namun Al-Ghazali berkeyakinan bahwah untuk merubah pemikiran masyarakat yang sudah tersesat dengan madzhab Bathiniyah, tetap konsisten mengarang tulisan-tulisan yang membantah madzhab Bathiniyah yang terungkap dengan kesesatannya. Kegiatan ini tetap beliau teruskan tatkala beliau telah kembali ke Naisabur.

Berbagai masalah politik, seperti perebutan kekuasan, perang salib, perpecahan dalam kalangan muslim seperti perbedaan madzhab, ada muslimin yang menghalalkan barang-barang haram, membebaskan diri dari ibadah, kelompok libertinisme (kaum bebas, ibahi) yang tidak tunduk pada prinsip agama tertentu, kelompok Peragu (syak) yang mengingkari wujud Allah dan Hari Kiamat.

Berbagai masalah yang telah terjadi sesuai uraian diatas, Al-Ghazali tetap konsisten melakukan perbaikan kaum muslimin, beliau beranggapan bahwa kerusakan dari dalam diri kaum Muslimin adalah faktor yang memudahkan musuh dari luar menyerang.

Al-Ghazali percaya mampu mengembalikan umat Islam pada keimanan kembali. Dia lalu mengkonsentrasikan memperbaiki setiap individu umat Islam, di mana individu-individu akan membentuk sebuah masyarakat. Upaya memperbaiki individu ini dilakukan dengan memperbaiki hati dan pikirannya. ]ika hati dan pikiran individu bisa diperbaiki, maka perbuatan, perilaku, dan gaya hidupnya akan menjadi baik. Perbaikan pada setiap individu adalah dasar utama bagi perubahan masyarakat. Bisa ditangkap dari semangat Al-Ghazali bahwa untuk merubah akhlak karimah umat muslimin, bukan saja masuk dalam sistem politik, tapi konsisten bergerak pada lembaga pendidikan dengan mendirika madrasah-madrasah ditambah lagi berbagai karya ilmu tasawuf ditulis oleh beliau dan akhirnya mampu mengubah adab dan akhlak kaum muslimin pada abad 6 H.

Merujuk dari sejarah peran Al-Ghazali dalam menghadapati berbagai masalah yang terjadi saat itu, yang selanjutnya dilihat dalam konteks Aceh pada masa kini, sudah sewajarnya Ulama Aceh sebagai bagian dari kekuataan sosial politik, melaksanakan Silaturahmi untuk mendorong pemerintah Aceh konsisten untuk menyelesaikan berbagai masalah yang selama ini menjadi hiruk pikuk politik, korupsi, pendangkalan aqidah, aliran sesat, membidi’ahkan muslimin yang berbeda, narkoba, fitnah/hoax, game onlie, dan lainnya.

Berharap pada para Ulama tetap kosisten pada jalur penguatan bidang pendidikan sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak karimah masyarakat Aceh, dan hasil rekomendasi pertemuan silaturahmi ulama mendorong semua komponen dari lembaga politik, politisi, birokrasi, akademisi dan lainnya, bersama-sama memperbaiki menuju politik, santun, bersih, beradab, berakhlak, dan punya malu

Untuk memperkuat dan memperbaiki tatanan peradaban sosial politik dalam kehidupan masyarakat Aceh yang beradab, berakhlak, bersih, dan punya rasa malu, Ulama perlu juga melibatkan kampus. Penting melibatkan kampus, karena keduanya bergerak dalam bidang pendidikan, sudah semestinya bersama-sama mencari jalan terbaik dengan konsep bersama atau merumuskan kurikulum sesuai dengan kearifan lokal Aceh, sebagai bagian menjalankan ke istimewaan Aceh, yang hari ini tercederai dengan konsep pendidikan kapitalis, dan feodalis.

Menyelesaikan berbagai masalah politik yang terjadi di Aceh, rakyat Aceh berharap pada ulama benar-benar fokus di sektor pendidikan dengan melibatkan lembaga pendidikan formal lainnya, agar Aceh kembali pada jalan yang benar. Hal ini sudah dibuktikan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa untuk memperbaiki kerusakan kaum muslimin, hanya dengan pendidikan, dan contoh tauladan ulama serta umara.

Fungsi substansi ulama ada di masyarakat, untuk memperbaiki akhlak, memperkuat aqidah, dan syariah. Dalam posisi pemerintahan dan Rakyat Aceh saat ini sedang tidak baik-baik saja, konflik politik lembaga politik di Aceh tak kunjung harmonis, korupsi begitu masif, kemiskinan, penganguran, pendangkalan aqidah, norkoba, adat istiadat serta, identitas semakin ditinggalkan, dan lainnya.

Rakyat sangat rindu dengan Ulama untuk hadir ditengah umat, memberikan pencerahan, pendidikan memperbaiki individu-individu yang salah jalan, termasuk pemerintah Aceh dan kabupaten/kota, konsisten menjalankan Syariat Islam. Saatnya lahir Al-Ghazali-Al-Ghazali masa kini, yang begitu istiqamah mengembalikan umat pada jalan yang benar dengan pendidikan. Beliau begitu yakin dengan pendidikan mampu memperbaiki akhlak dan aqidah manusia kembali pada jalan yang benar.

Penulis Merupakan Akademisi Universitas Abulyatama Banda Aceh dan Pengamat Kebijakan Publik Aceh