Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Sosok  

Mengenang Syahidnya Teungku Abdullah Syafi’i

Oleh: Fauzan Azima

Pada hari ini, 20 tahun lalu, tepatnya 22 Januari 2002, Panglima GAM, Teungku Abdullah Syafi’I syahid bersama istrinya Cut Fatimah dan dua orang pengawal setianya dalam sebuah pengepungan TNI di hutan Jim-jim, Pidie Jaya.

Berita syahidnya Teungku Lah-begitu pasukan menyebut Teungku Abdullah Syafi’I sangat cepat menyebar di kalangan pasukan GAM. Kami hampir tidak percaya karena sudah sering diberitakan bahwa Teungku Lah telah syahid. Sehingga kami tidak percaya lagi kalau ada berita yang sama.

Sebelumnya pada 16 Januari 2000 di lokasi yang sama, di hutan Jim-jim, Dandim Pidie, Letkol TNI Iskandar menyatakan bahwa Teungku Lah telah syahid pada saat pengepungan dan kontak tembak dengan TNI. “Pak Dandim” semakin yakin karena tidak ada siaran pers dari Teungku Lah, kalau benar beliau selamat. Berdiam diri tanpa berita di media bukanlah kebiasaan Teungku Lah yang terkenal dekat dengan wartawan.

Media Indonesia, sebuah koran terbitan Jakarta, juga menyebutkan, Teungku Lah sejak 4 Pebruari 2000 berada di Jakarta untuk berobat. Sehingga Kadispen Polri, Kol. Dadang Garnida pada Kamis 24 Pebruari 2000 bereaksi kepada media, “Polisi akan mencari dan menangkapnya kalau benar seperti yang dikabarkan bahwa Panglima GAM berada di Jakarta.”

Presiden RI, Abdurrahman Wahid mendengar syahidnya Teungku Lah berdo’a agar Allah memanjangkan umur Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’i. Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan jama’ah Perguruan Islam Az Ziyadah di Mesjid Al-Husnah di Duren Sawit, Jakarta Timur. Jama’ah tersebut menanyakan kepada Gus Dur tentang kesimpangsiuran syahidnya Teungku Lah. TNI menyatakan telah sekarat, tetapi media memberitakan Teungku Lah sehat wal’afiat.

Pada saat kami berjumpa dengan Teungku Abdullah Syafi’I di rumah Teungku Ilyas Pasee (Panglima D IV Wilayah Pasee) di Bate Vila, Nisam, Aceh Utara pada tahun 2001. Beliau datang sendiri dengan mengendarai sepeda motor RX King.

Setelah turun dari sepeda motornya langsung menyapa kami dalam Bahasa Gayo. Saya sedikit heran! Ternyata, beliau faseh berbahasa Gayo karena pada saat Jakarta memberlakukan DOM di Aceh, beliau pernah tinggal di Kampung Atang Jungket, Aceh Tengah bersama Teungku Amat. Beliau juga pernah bersembunyi dengan Abu Razak dan Teungku Rahman Paloh di rumah Teungku Angkasah di Kampung Sukarami, Bener Meriah. Mereka membuat gedung di kebun kopi sebagai tempat persembunyian.

Saya bertemu dengan Teungku Lah hanya mendampingi Teungku Ilham Ilyas Leubee (Panglima GAM Wilayah Linge) membicarakan strategi pergerakan GAM di Gayo. Semula kami akan berangkat ke Komando Pusat Tiro di Wilayah Pidie, tetapi Teungku Lah ingin bertemu kami di Wilayah Pasee.

Sebelum pembicaraan resmi dimulai, kami bicara “ngalor ngidul” yang tidak jelas ujung pangkalnya. Mendengar cerita Tengku Lah kami tertawa terbahak-bahak. Jabatan dan pangkat tidak berlaku dan kami setara dalam perbincangan di siang itu.

“Bagaimana dengan pengepungan TNI terhadap Teungku pada tanggal 16 Januari 2000?” saya bertanya serius.

Suasana hening dan Tengku Lah menghisap rokok commodore-nya dalam-dalam dan mengepulkan asapnya.

“Saya kena tembak!” jawabnya dengan senyum.

Saya dengan Teungku Ilham saling memandang.

Teungku Lah menceritakan bahwa beliau pernah bertapa belajar “ilmu kesaktian” dengan cara kallut, menyendiri, tidak makan dan minum. Beliau tidak tahu sudah berapa lama bertapa, yang jelas rambutnya dari pendek sampai sepanjang di bawah pinggang.

Selesai bertapa, beliau pulang ke rumah dan melihatnya ibunya sedang menampih padi yang baru ditumbuknya.

“Assalamualaikum Mak…Mak..Mak” Teungku Lah beberapa kali mengucap salam dan memanggil ibunya.

Ibunya tidak menjawab salam Tengku Lah. Setiap kali terdengar ucapan salam, ibunya menoleh ke kiri dan kanan, tetapi ia tidak melihat siapapun. Teungku Lah pun mendekat ibunya.

“Mak, nyoe ulon (Mak ini saya)” Tengku Lah berbisik di telinga Ibunya.

Ibunya membuang tampinya dan lari ketakutan, lalu masuk ke dalam rumah. Ibunya masih berfikir ada jin yang sedang mengganggunya. Teungku Lah lupa kalau ada syarat yang harus dibaca baru tubuhnya tampak oleh manusia.

Mendengar cerita Teungku Lah itu, lagi-lagi kami tertawa terbahak-bahak. Gelak tawa kami terdengar sampai ke luar rumah. Sehingga Teungku Ilyas Pasee dan Muallim Muzakkir Manaf masuk ingin mendengar cerita kami, tetapi Teungku Lah diam dan mengalihkan pembicaraan ke lain topik.

Mengingat ceritanya, ekpresinya, gaya bahasa dan caranya bertutur, rasanya baru kemarin kami berjumpa dengan Teungku Lah. Padahal ceritanya sudah 20 tahun lalu.

Demikian sebagai bukti, sejarah kapanpun ditulis akan tetap aktual. Kami yakin bahwa Teungku Abdullah Syafi’i, padanya berlaku Surat Ali-Imran ayat 169, “Janganlah engkau sebut mereka yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapat rizki.”

Penulis Merupakan Eks Panglima GAM Wilayah Linge

(Mendale, 22 Januari 2022