LINTAS NASIONAL – JAKARTA, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membeberkan ihwal belanja daerah yang kerap tidak fokus dan efisien. Dia juga menyinggung soal daerah yang suka menghambur-hamburkan uang dengan menggelar banyak kegiatan.
Padahal, di sisi lain utang negara ini terus membengkak hingga mencapai USD423,1 miliar atau setara Rp6.000 triliun pada akhir kuartal III/2021. Tak hanya itu, APBN juga masih mengalami defisit dengan angka yang besar.
Sebagai catatan, pemerintah menetapkan defisit APBN 2021 sebesar 5,7% PDB atau senilai Rp1.006,4 triliun. Defisit sebesar itu dengan menghitung belanja negara sebesar Rp2.750 triliun, termasuk diantaranya digunakan untuk transfer ke daerah Rp795,5 triliun.
Terkait belanja daerah, Sri Mulyani menyoroti besarnya belanja pegawai negeri sipil (PNS) di daerah, diantaranya terkait honorarium. Menurut Menkeu, nominal honorarium yang diterima PNS di daerah memang beragam.
“Untuk tingkat paling rendah, honorarium PNS daerah Rp325.000. Tapi untuk yang tertinggi, honorariumnya bisa sampai Rp25 juta,” ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Jakarta, Selasa 7 Desember 2021
Bukan hanya besaran honorarium saja, Sri juga membongkar besaran perjalanan dinas PNS daerah. Bahkan, dari hasil temuannya, besaran uang perjalanan dinas PNS di daerah lebih tinggi dari para abdi negara di pusat. “Besaran uang harian perjalanan dinas yang rata-rata 50% lebih tinggi dari pusat,” ungkapnya.
Menanggapi kondisi ini, Sri mengatakan bahwa perlu membuat kebijakan terkait standardisasi supaya belanja daerah makin efisien dan tidak habis hanya untuk pegawai saja.
“Agar bagaimana sumber keuangan daerah dapat menghasilkan output serta outcome yang terbaik bagi masyarakat dan terjaga akuntabilitasnya,” tuturnya.
Menkeu menambahkan, di tengah belanja PNS yang besar itu, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) justru tak optimal secara menyeluruh. Hal ini tercermin dari realisasi pemanfaatan dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat mencapai 64,8% hanya untuk memenuhi keperluan belanja pegawai.
Sementara dana alokasi khusus (DAK) dari pusat dijadikan sumber utama untuk belanja modal. Fakta ini terjadi karena kemampuan daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim.
Tercatat porsi PAD masih di kisaran 24,7% dari APBD dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, Sri menilai daerah terlalu mudah menghamburkan uang untuk program dan kegiatan yang terlalu banyak.
“Belanja daerah belum fokus dan efisien, di mana terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan. Serta pola eksekusi APBD yang masih business as usual, selalu tertumpu di kuartal IV sehingga mendorong adanya idle cash di daerah,” tukasnya.
Untuk itu, sambung dia, pemerintah pusat bersama DPR menginisiasi pembentukan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) yang baru saja disahkan jadi Undang-Undang.
“Aturan ini diharapkan bisa mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah ke depan tanpa meresentralisasi keuangan daerah oleh pusat,” tandasnya. (Sindonews)