Iklan Lintas Nasional

ICJL: Janji Iklim Kontradiktif dengan Kebijakan Pro-Tambang

Pendiri Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL), Firdaus Cahyadi. Foto : Ist

LINTAS NASIONAL, JAKARTA – Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL) menilai, selama satu tahun rezim Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, janji iklim kontradiktif dengan kebijakn pro tambang yang ditandai dengan penguatan drastis model ekonomi ekstraktif yang mengancam lingkungan dan hak asasi manusia.

“ICJL menyatakan keprihatinan mendalam bahwa kebijakan yang ada justru mendorong “bunuh diri ekologi” dengan disamarkan narasi pembangunan populis,” kata Pendiri Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL), Firdaus Cahyadi dalam keterangan tertulis yang dikutip Lintas Nasional, Jum’at 17 Oktober 2025.

Kata Firdaus, di satu sisi, Presiden Prabowo menjanjikan penghentian PLTU batu bara dan target 100 persen energi terbarukan di forum global. Di sisi lain, arah kebijakan dalam negeri justru memfasilitasi ekspansi tambang dan proyek energi dengan daya rusak tinggi.

“Pemerintahan Prabowo-Gibran menerbitkan PP Nomor 39 Tahun 2025 tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang memberikan hak istimewa kepada Koperasi dan Organisasi Masyarakat (Ormas) untuk mengelola wilayah tambang hingga 2.500 hektar,” kata Firdaus.

Menurut Firdaus, kebijakan itu bukan terobosan ekonomi pro-rakyat, tapi bunuh diri ekologi yang dibungkus rapi dengan narasi pemerataan ekonomi yang membuka pintu bagi eksploitasi alam yang lebih masif.

“Peta Jalan Transisi Energi melalui Peraturan Menteri ESDM No. 10/2025 memprioritaskan co-firing biomassa di PLTU, Menurut kita, hal ini dapat memicu permintaan besar terhadap pellet dan serpih kayu, yang berujung pada ekspansi Hutan Tanaman Energi (HTE),” jelas Firdaus.

Menurut Firdaus, ekspansi itu tidak hanya berpotensi merusak kawasan hutan, tetapi juga dapat memicu konflik agraria. Firdaus menyebutkan bahwa, Riset Sajogyo Institute telah menemukan fakta di Grobogan, Jawa Tengah, dimana tanaman energi ditanam di lahan yang sedang diproses masyarakat untuk sertifikat hak milik.

“Proyek-proyek yang diklaim sebagai transisi energi, seperti HTE dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dibangun dengan mempersempit ruang sipil (civic space) dan mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM),” sebut Firdaus.

Menurut Firdaus, penyelenggara proyek transisi energi di lapangan seringkali mengabaikan prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Kata Firdaus, kasus penolakan warga Pocoleok, NTT, terhadap proyek PLTP adalah bukti nyata pengabaian FPIC, karena masyarakat lokal seringkali tidak mendapat informasi yang memadai.

“Penelitian ICW (2024) menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan serius. Pemain bisnis energi terbarukan di Indonesia, sebagian besar adalah perusahaan yang sebelumnya beroperasi di sektor ekstraktif, termasuk tambang batu bara,” tambah Firdaus.

Firdaus menduga, sebagian besar pemilik perusahaan ini memiliki kedekatan erat dengan elite politik di lingkar kekuasaan. Kata dia, hal itu menunjukkan transisi energi hanya menjadi pengalihan bisnis lama ke kemasan baru dengan potensi konflik kepentingan yang sama.

“Dalam momentum setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, ICJL mengajak seluruh masyarakat untuk bersuara keras dan mendesak agar pemerintah segera mengoreksi arah pembangunan ekonomi ekstraktif,” seru Firdaus.

Menurut Firdaus, tanpa desakan publik yang kuat, maka para elite politik membawa kita semua kepada tindakan bunuh diri ekologi. Firdaus menyebutkan, bila hal itu terjadi, maka mayoritas rakyat, sebagai pembayar pajak, menjadi tumbal model pembangunan ekstraktif. [] (red)