LINTAS NASIONAL – LONDON, Carmel Budiardjo, pegiat hak asasi manusia (HAM) yang berperan mengadvokasi berbagai pelanggaran HAM di Indonesia, mulai kasus 1965, Timor Leste, Aceh, serta Papua, meninggal dunia pada usia 96 tahun, Sabtu 10 Juli 2021 di London, Inggris.
Twitter Tapol, organisasi yang didirikan Carmel, menyebutkan, “Dengan kesedihan besar, kami sampaikan meninggalnya Carmel Budiarjo, pendiri kami, pada Sabtu 10 Juli 2021 pagi pukul 09.00.”
Semasa hidupnya, Carmel melalui Tapol singkatan dari Tahanan Politik mengampanyekan dan mengadvokasi berbagai dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia.
“Dia bukan satu-satunya, tetapi dia berperan besar untuk memperjuangkan kemanusiaan di Indonesia. Kesadaran akan adanya pelanggaran HAM di Indonesia, suka-tidak suka, pasti akan melibatkan nama Carmel Budiardjo,” ujar Andreas Harsono, pegiat organisasi Human Rights Watch (HRW) Indonesia.
Ketika sebagian tapol 1965 mulai dibebaskan pada 1977 setelah didesak oleh Presiden AS Jimmy Carter, perhatian Carmel terhadap persoalan pelanggaran HAM di Indonesia, makin meluas.
Kemudian Tapol mendokumentasikan peristiwa Tanjung Priok pada 1984, kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh hingga Timor Leste.
Advokasi kasus tapol 1965, Timor Timur, Aceh, dan Papua
Dalam mengampanyekan permasalahan pelanggaran HAM semasa kebijakan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh.
Mantan Ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak menyebut Carmel mampu menghimpun informasi dari berbagai sumber, sehingga datanya layak dipercaya.
Otto mengaku menyaksikan sendiri ketika Carmel membongkar semua dokumennya, di antaranya surat-surat dari berbagai sumber terkait masalah terutama di Aceh.
“Jadi sangat luas pengetahuannya, informasinya, sehingga memudahkan beliau melakukan validasi informasi yang beliau peroleh. Itu luar biasa,” ungkap Otto kepada BBC News Indonesia, Jumat 11 Juni 2021
Nur Djuli, mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam kesepakatan Helsinki (15 Agustus 2005), Nur Djuli, mengatakan Carmel merupakan sosok yang disebutnya sangat kuat memegang prinsip.
“Dia pernah mengkritik langsung Hasan Tiro (pendiri GAM), sahabatnya, terkait suatu masalah, yang dia tak setuju,” ungkap Nur Djuli
“Jadi dia tak pantang, meski kawan. Dia akan terus mengkritiknya kalau tak sesuai prinsipnya,” tambah Nur Djuli yang pernah bertemu beberapa kali bertemu dengan Carmel di kediamannya di London.
Sementara, Joaquim da Fonseca, mantan Duta Besar Timor Leste untuk Inggris dan dahulu terlibat gerakan perlawanan terhadap pendudukan Indonesia, menyebut Carmel sebagai jendela dunia untuk melihat Timor Leste.
“Carmel menyediakan sebuah jendela, di mana orang-orang dari luar dapat melihat ke dalam, untuk mengamati keadaan di Timor Leste,” kata Joaquim kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat.
Dia juga menyediakan sebuah corong bagi orang Timor Leste tanpa harus berbicara sehingga suaranya bisa didengar, tambahnya.
Kenangan Mantan Juru Runding GAM-RI Munawar Liza Zainal
Tahun 2000 bertemu dengan aktivis internasional Aceh, Jakfar Sidik Hamzah, yang baru pulang dari Amerika Serikat. Kami banyak berdiskusi terkait dengan kekerasan di Aceh.
Bang Jakfar menyampaikan, salah satu agenda kepulangannya adalah untuk menggalang dukungan kepada SCHRA atau Support Committee for Human Rights in Aceh yang dicetuskan oleh beberapa NGO setelah mengikuti sebuah pertemuan internasional di Bangkok pada tahun sebelumnya.
Beberapa bulan kemudian, mendapat undangan dari bang Jakfar ke hotel Cakradonya di Banda Aceh.
Saya datang sendiri, bang Jakfar menunggu di depan lobby. Setelah bersalaman, dikenalkan dengan beberapa orang temannya. Salah satunya, seorang perempuan, berpostur tinggi, sangat ramah dan berbahasa Indonesia dengan lancar.
Inilah pertemuan pertama dengan Ibu Carmel Budiardjo, pendiri TAPOL, sebuah NGO di London, yang memperjuangkan perdamaian, demokrasi, dan penegakan HAM di Indonesia. Ibu Carmel adalah salah seorang pendiri SCHRA.
Secara konsisten, Ibu Carmel dan TAPOL memperjuangkan penegakan HAM di Timor, Papua, dan Aceh selama puluhan tahun.
Beberapa hari setelah pertemuan ini, mendapat kabar dari keluarga, bahwa bang Jakfar hilang diculik. Kemudian mayat ditemukan dengan bekas siksaan berat.
Kemudian komunikasi dengan ibu Carmel tidak pernah terputus, baik di masa pelarian dan masa di pengasingan.
Hampir semua aktivis Aceh mengenal ibu Carmel. Semua pertemuan terkait dengan Aceh, ibu Carmel atau TAPOL, selalu hadir dan memberikan dukungan. TAPOL juga mengeluarkan buletin yang menjadi salah satu sumber informasi penting tentang berbagai kasus kekerasan di Indonesia. Berbagai kegiatan dibuat TAPOL untuk mengampanyekan penghentian kekerasan.
Beberapa minggu yang lalu, sempat dihubungi wartawan BBC untuk diwawancarai tentang kiprah ibu Carmel dalam membantu Aceh.
Tadi pagi, mendapat informasi bahwa ibu Carmel Budiardjo telah meninggal dunia pada Sabtu, pukul 9 pagi waktu London di umur 96 tahun.
Kami sangat berduka, Terima Kasih atas jasa yang tidak terhingga kepada Aceh, demikian tulis Munawar Liza Zainal mengenang Carmel Budiarjo (Red)