Iklan Lintas Nasional

Desakan Pengakuan Masyarakat Adat Menguat, PBB Keluarkan Seruan

LINTAS NASIONAL, JAKARTA – Lebih dar 15 tahun, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun belum pernah tuntas dibahas dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadi Undang-Undang sampai saat ini.

Padahal, sejumlah komunitas adat terus mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, yang dinilai sebagai langkah krusial untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis iklim.

Meskipun belum membuahkan hasil, namun desakan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat terus menguat. Pada 6 November 2025, seruan resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa keluar dan mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar segera memberikan perlindungan penuh terhadap masyarakat adat yang menghadapi kekerasan, kriminalisasi, dan ketidakpastian hukum atas wilayah adat dan hak kolektif mereka.

Pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar kebutuhan legalitas semata, tetapi urgensi untuk menghentikan krisis iklim yang semakin nyata,” kata Mika Ganobal, perwakilan masyarakat Adat Kepulauan Aru, yang dikutip media ini, Selasa 18 November 2025.

Mika menambahkan, bagi masyarakat Adat Kepulauan Aru, kehadiran UU Masyarakat Adat menjadi solusi bagi pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal dan diakui negara. Menurut Mika, tanpa regulasi nasional yang tegas, keberadaan dan peran mereka dalam menjaga dan mengelola alam belum diakui sepenuhnya oleh negara.

Melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat, kami bersama-sama dapat menghentikan kerusakan dan keluar dari krisis iklim,” sebut Mika.

Keinginan Masyarakat Adat Aru itu masih sebatas harapan, karena Proses legislasi RUU Masyarakat Adat banyak mengalami tantangan dan hambatan serta minimnya komitmen legislator. Padahal, pengesahan RUU Masyarakat Adat bertujuan memberikan pemenuhan atas hak konstitusi. Kekhawatiran bahwa pengakuan wilayah adat akan mengubah status dan kontrol pengelolaan hutan, lahan, dan sumber daya, merupakan sesuatu yang berlebihan.

Harnilis, seorang Masyarakat Adat Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan mengaku, mereka mendukung penuh proses legislasi undang-undang agar dilakukan sesegera mungkin. Harnilis menyerukan kepada anggota DPR RI, agar pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi agenda politik masing-masing partai.

Semakin banyak partai yang mendukung, maka pengesahan RUU Masyarakat Adat kian nyata,ungkap Harnilis.

Pegunungan Meratus sendiri telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO pada Sidang Dewan Eksekutif ke-221 di Paris, Prancis, pada April 2025 lalu. Pengakuan itu diberikan, karena Meratus memiliki nilai penting secara geologi, ekologi, dan budaya serta menjadi kawasan pertama di Kalimantan yang memperoleh pengakuan internasional tersebut.

Sebagai masyarakat yang secara turun-temurun menjaga, merawat, dan hidup berdampingan dengan Pegunungan Meratus, sudah saatnya negara hadir dan mengakui kami. Pemerintah dan DPR RI harus segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan terhadap hak, budaya, dan wilayah adat,tambah Harnilis.

Pemerintah Targetkan 1,4 Juta Hektar Hutan Adat

Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pemberian hak 1,4 juta hektar hutan adat hingga tahun 2029. Hal itu disampaikan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Raja Juli Antoni pada Conference of the Parties ke 30 (COP30) di Belem, Brasil.

Komitmen Menteri Raja Juli Antoni dinilai sulit diwujukan, bila RUU Masyarakat Adat belum disahkan menjadi Undang-Undang. Hal itu disampaikan Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal.

Menurut Veni, janji Menteri Kehutanan tidak akan terwujud, jika RUU Masyarakat Adat sebagai payung hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat dalam upaya menjawab krisis lingkungan tidak kunjung disahkan.

Sementara itu, berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukan bahwa, wilayah adat yang sudah teregistrasi sekitar 33,6 juta hektare, dan 72 persen berpotensi menjadi Hutan Adat.

Namun, proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui skema hutan adat tidak murah, cenderung berbelit-belit, lama, dan serba tidak pasti. Dalam kurun waktu 9 tahun terakhir, hutan adat yang dikembalikan kepada komunitas masyarakat adat hanya 0,3 juta hektare.

Philipus K Chambu, Masyarakat Adat Suku Malind Anim, Merauke, Papua, menyebutkan, ketiadaan regulasi perlindungan berisiko menyebabkan hilangnya wilayah adat. Philipus menambahkan, Masyarakat Adat Merauke merupakan kelompok paling terdampak dari deforestasi dan krisis akibat pembangunan.

Kami terpinggirkan dari keputusan pembangunan di wilayah adat kami. Tanpa UU Masyarakat Adat kami berpotensi mengalami intimidasi dan kriminalisasi saat mempertahankan tanah adat,ungkap Philipus. [] (red)