LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Pemerintah Pusat terutama Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI diminta untuk menghargai dan menghormati ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Hal itu disampaikan oleh Ketua Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh Auzir Fahlevi SH pada Jumat 5 Februari 2021, katanya UUPA merupakan produk legislasi DPR RI yang merupakan salah satu kompensasi yuridis dibalik adanya MoU Helsinki antara Pemerintah RI-GAM dan kemudian berhak dijalankan oleh Pemerintah Aceh bersama perangkat lainnya sebagai landasan hukum.
“Jadi terkait dengan wacana penundaan Pilkada di Aceh yang akan digeser dari tahun 2022 ke tahun 2024 merupakan tindakan inkonstitusional dan bentuk pelecehan terhadap UUPA yang notabene dilahirkan sendiri oleh DPR RI bersama Pemerintah,” imbuh Auzir yang juga Praktisi Hukum asal Aceh Timur tersebut
Menurut Auzir berdasarkan ketentuan pasal 65 ayat 1 UUPA telah sangat jelas dinyatakan bahwa jabatan Kepala Daerah di Aceh mulai dari Gubernur sampai Bupati/Walikota serta pasangannya itu dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas dan rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
“Ini artinya secara penafsiran hukum sudah jelas bahwa prosesi Pilkada di Aceh itu dilaksanakan lima tahun sekali, Pilkada Aceh yang lalu dilaksanakan pada tahun 2017 sehingga masa jabatan kepala daerah yang terpilih kemarin akan berakhir pada tahun 2022 sehingga Pilkada selanjutnya harus dilaksanakan pada tahun 2022 sesuai amanah UU Nomor 11 Tahun 2006,” jelas Auzir Fahlevi
Ia menilai, jika penerapan UUPA ini dibenturkan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang berlaku secara nasional sangat tidak tepat dan dapat dianggap sebagai bentuk inkonsistensi Pusat terhadap Aceh.
Pemerintah Pusat bersama DPR RI harus mengingat bahwa kedudukan hukum Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 itu setara.mengacu pada azas hukum Lex Specialis Derogaat Lex Generalis maka dapat disimpulkan bahwa Ketentuan hukum yang bersifat khusus (UUPA) dapat mengenyampingkan Ketentuan hukum yang bersifat umum (UU Pilkada nasional).
Bahkan, lanjut alumni Hukum Unsyiah tersebut dalan ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa.ini menunjukkan bahwa kedudukan UUPA dan status Otonomi Khusus untuk Aceh itu berlaku khusus.sangat tidak beretika baik secara sistem pemerintahan maupun sosial politik jika kemudian keberadaan UUPA dan Otsus Aceh itu diamputasi atau dimonopoli.
“Karena itu ada baiknya Pemerintah Pusat bersama DPR RI tidak gegabah menyinggung soal penundaan Pilkada di Aceh.suka tidak suka atau tidak berdampak bagi kesejahteraan dan pembangunan rakyat di Aceh maka Pilkada tetap wajib dilaksanakan,” tegasnya
“Kalau tidak dilaksanakan justeru akan menjadi dampak buruk terhadap penegakan kehidupan demokrasi dan menghalangi implementasi hak politik rakyat berdasarkan amanah UUD 1945,” lanjutnya
Katanya, Pasal 133A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pun sudah dinyatakan juga bahwa Pemerintah Daerah bertanggungjawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.
Dalam hal ini GeMPAR Aceh meminta pelaksanaan Pilkada di Aceh sudah sepatutnya tidak ditunda untuk menjamin tegaknya demokrasi dan hak politik masyarakat, Pemerintah Daerah terutama Gubernur dan DPRA harus bersinergi untuk melakukan koordinasi tanpa membangun narasi konfrontatif dengan para stakeholder yang ada di Pusat.
“Kalaupun ditunda, harus ada aturan yang dibuat Pemerintah seperti Perppu.mungkin nanti kita bisa melihat ukuran perbedaan kepemimpinan dan kinerja saat Provinsi,Kabupaten dan Kota di Aceh dijabat oleh Plt Gubernur, Bupati dan Walikota daripada dijabat oleh pejabat definitif hasil Pilkada,” pungkas Auzir Fahlevi SH (Red)