Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Opini  

16 Tahun MoU, Aceh dan RI Masih Konflik, Kedaulatan Milik Siapa?

Oleh: M. Dewantara

Sejarah telah mencatat akan nestapa runtuhnya kedikjayaan Aceh Darussalam pasca invasi Belanda 1873 dengan maklumat perangnya, ketangguhan serdadu Belanda tidak terlepas dari dukungan serdadu-serdadu bayaran dari Pulau Jawa, Madura juga Ambon yang dinamai marsose, merupakan orang-orang dari jajahan Hindia Belanda.

Semangat tempur mereka luar biasa, gigih tidak mengenal rasa takut, siang malam, baik di perkampungan dan sigap untuk bergerak ke pedalaman serta hutan-hutan Belantara sesuai perintah tua, mereka patuh melebihi hewan piaraan untuk berburu.

Persenjataan lengkap dan logistik yanh cukup membuat mereka sangat tangguh untuk dipatahkan oleh pejuang-pejuang Aceh sehingga hampir setiap jengkal tanah Aceh dipenuhi darah yang ditumpahkan.

Alhasil Kerajaan Aceh Darussalam sebagai negara berdaulat lenyap dari peta dunia tanpa meniñggalkan jejak, kecuali sejarah kegemilangan dan cerita-cerita Heroik para pejuang.

Banyak dari kalangan Bangsa Aceh sendiri waktu itu akhirnya menjadi bahagian dari Belanda baik suka rela atau terpaksa, mereka menjalani kehidupan yang nyaman, sejahtera, berkecukupan harta juga kehormatan, walaupun bersedia berkonflik dengan Bangsa sendiri dan tidak segan-segan mereka berlaku zalim dan berkhianat.

Setelah Sultan Aceh yang memimpin perang Gerilaya ditangkap dan diasingkan maka perlawanan rakyat dari upaya Penjajahan sudah bersifat perang Sabilillah yakni perlawanan rakyat semesta atau lebih kepada pemberontakan bukan lagi mempertahankan kedaulatan baik secara dejure maupun secara defacto.

Tahun 1942 merupakan babak baru sejarah kelam Aceh baik dari sisi kedaulatan maupun penjajahan terhadap bangsa dan tanah airnya, penjajahan baru atas Aceh dilakukan oleh kerajaan Jepang yang dijemput ke Malaya oleh segelintir orang yg menamakan kelompoknya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).

Niat mereka baik, sengaja mengharapkan Jepang yang baru saja menang perang di Asia Timur Raya masuk ke Aceh untuk membantu mengusir Belanda dan membalas dendam pada kaki tangan Belanda yang sudah sangat zalim terhadap rakyat Aceh.

Namun disini perlu dicatat mereka lupa akan kedaulatan Kerajaan Aceh seolah ini adalah daerah tak bertuan dan sudah sah menjadi integral dari daerah jajahan Belanda.

Nestapa tiga tahun setengah penjajahan Jepang ibarat lepas dari mulut harimau pindah ke mulut buaya di dasar sungai, sudah digigit dibenam lagi didasar sungai sehinggà bernafas saja sulit.

Tepat tahun 1945 dibulan Agustus Jepang bertekuk lutut menyerah pada sekutu selepas tragedi bom atom di Nagasaki dan Hiroshima dan lagi- lagi Aceh masuk babak baru sejarahnya; mengingat Jepang terpaksa menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasai kepada sekutu maka Aceh secara otomatis ikut didalamnya.

Soekarno-Hatta memproklamirkan sepihak akan kemerdekaan bekas jajahan Belanda pada 17 Agustus 1945 yg diberi nama Indonesia. Lucunya mereka tidak berani mengklaim batas wilayahnya sampai waktu tertentu, sekutu menolak atas upaya sepihak dan menyatakan semua daerah jajahan mereka masih milik sah mereka karena sudah lebih 300 tahun dikuasai.

Bagaimana dengan Aceh, tak seoŕang pun dari tokoh pemimpin Aceh yang berbicara kedaulatan Kerajaan Aceh yang ada hanya eforia menyambut proklamasi RI satu kelompok (Daud Beureuh cs) dan eforia kemenangan sekutu atas Jepang dari kelompok Ulee Bàlang (T Daud Cumbok cs).

Mereka saling berhadap-hadapan, berperang, membunuh satu sama lain dan melakukan penculikan sesama anak bangsa, kelompok yang berhadapan tanpa berfikir panjang dengan senjata hasil rampasan dari Jepang atau yang memang sengaja diserahkan oleh Jepang, saat itu perang berkobar dimana-mana

Pro Republiken keluar sebagai pemenang walaupun dengan darah bangsa sendiri walaupun tangan mereka berlumuran darah bangsa sendiri dan mereka menguasai Aceh.

Cerdasnya seorang proklamator Indonesia dengan segala tipu daya berusaha membujuk pemimpin Aceh supaya bersedia bergabung dalam NKRI dengan sejuta pujian, janji manis dan gombal air mata. Lagi lagi tokoh pemimpin Aceh kala itu lupa akan kedaulatan Kerajaan Aceh. Walaupun ada seorang ulama yang mengingatkan Daud Beureueh , yaitu Tgk. Usman Krueng Kalee untuk menolak ajakan Soekarno dan Aceh mendirikan negara sendiri tetapi diabaikan.

Tanpa satu perjanjian apapun jadilah Aceh bahagian RI dg sejumlah jabatan yang di obral untuk pemimpin pemimpinnya,baik itu jabatan sipil maupun militer.

Waktu terus berjalan,tepat tahun 1947 Sekutu kembali menyerang dan berhasil menduduki seluruh wilayah bekas jajahannya di nusantara, kecuali Aceh yg berhasil dihalau oleh pejuang pejuangnya, bahkan mujahidin mujahidin Aceh beserta serdadu militer hadir berjuang mengusir sekutu sampai ke kota Medan atau lebih di kenal perang Medan Area.

Indonesia kritis, secara defacto seluruh wilayahnya dikuasai sekutu, Soekarno dan Hatta ditangkap saluran imformasi dan media dikuasai. Wajar mereka memproklamirkan akan keberhasilan mereka, tapi apa yang terjadi dengan Aceh, Orang Aceh, wilayah Aceh dan pemimpin Aceh juga lupa akan kedaulatan Kerajaan Aceh yang semestinya mereka utamakan.

Di Dunia International saling berebut pengaruh dan dukungan terus terjadi antara sekutu dan Indonesia sebagai negara baru yang masih butuh pengakuan. Perundingan demi perundingan dilakukan kedua belah pihak dan Akhirnya Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag terjadi adu argumen dan faktapun saling dilontarkan oleh masing-masing delegasi.

Delegasi Belanda mempersoalkan proklamasi Indonesia tidak berdasar hukum dan situasi saat itu. Dimana Indonesia yang diproklamirkan sudah lebih 300 tahun dijajah oleh Belanda dan termaktub dalam perjanjian antara sekutu dengan Jepang sebagai pihak yang kalah perang. Begitu juga keadaan saat itu bahwa semua wilayah yang disebut sudah dikuasai oleh sekutu dan semua pemimpinnya dalam tawanan mereka.

Delegasi indonesia membantah keras pernyataan dari delegasi Belanda; dengan argumen dasar kemerdekaan Indonesia adalah kedaulatan kerajaan Aceh yang tidak pernah tunduk dan diserahkan kepada Belanda, dan keadaan terkini, tidak sejengkalpun wilayah Aceh yang diklaim bagian Indonesia bisa dikuasai sekutu.

Jadi klaim Belanda tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak kemerdekaan Indonesia pungkas Mr.Teuku Moch. Hasan dengan tegas serta menjadikan delegasi Belanda mati kutu, kecilkah modal ini dibandingkan 2 unit pesawat terbang?

Lanjut tahun 1953, setelah pemimpin Aceh merasa tertipu dengan janji manis Soekarno pembrontakan DI TII dikobarkan dan perang tak dapat dielakkan, secara halus Aceh kalah telak dan para pemberontak hanya mendapat gula-gula itupun untuk sebagian pemimpinnya yg bisa menikmati, tapi itu semua tidak berbicara substansi kedaulatan Aceh walapun melahirkan perjanjian Lamteh. Dan Aceh harus membayar mahal dengan stigma pembrontak dari Jakarta yg mempersulit gerak pembangunan Aceh.

Kisruh politik Jakarta satu dekade setelah DI TII dan konflik Aceh denga RI sedikit senyap serta Tgk. Daud Beureueh berhasil dibungkam ternyata ikut menyeret Aceh, pada akhirnya G 30 S PKI menjadi catatan sejarah tersendiri bagi Aceh, penumpasan PKI sangat aktif dilakukan dengan membantai semua yang di cap terlibat, terserah mereka secara sadar atau tidak bergabung atau hanya sebatas penerima bantuan alat-alat pertanian semua diselesaikan tanpa ampun di tangan algojo algojo yang berani dan sadis,walaupun tanpa proses pengadilan, akhirnya Soeharto sebagai pemegang mandat SUPERSEMAR pada tanggal 26 Desember 1966 mengeluarkan pernyataan bahwa Aceh bebas komunis sampai golongan C, dan pernyataan ini tidak pernah di dapat daerah lain setelah Aceh, bahkan saat Soeharto berkuasa sampai akhir kekuasaannya 1998.

Jarak 10 tahun tepatnya 4 Desember 1976 Dr. Tgk. Muhammad Hasan Di Tiro memproklamirkan kemerdekaan berdirinya Negara Aceh sebagai wujud sikap membrontak atas ketidakadilan Jakarta terhadap Aceh.

Jakarta terusik dengan kelompok Tgk.Hasan Tiro yang mengangkat dirinya sebagai Walì Negara Aceh dengan memberi nama pergerakannya AM singkatan dari Aceh Merdeka diburu dan ditangkap oleh ABRI menjadi babak sejarah konflik Aceh dan RI yg memakan waktu lebih dari 3 dekade (32 tahun ). Tetapi konteks perjuangan AM pun tidak berbicara kedaulatan atas kerajaan Aceh. Beberapa tokoh AM yang luput dari buruan ABRI melarikan diri keluar negeri dan mengendalikan pemerintahannya di pengasingan.

Lima belas tahun terasa adem ayem, diam diam AM merekrut pemuda-pemuda Aceh untuk dilatih militer di salah satu negara Timur Tengah yaitu Libiya di Camp Tanjura yang digelar beberapa gelombang atau angkatan.

Setelah mereka dilatih ilmu militer mereka dipulangkan ke Aceh untuk menjalankan misi perjuangan dan pemberontakan thp NKRI, Jakarta tidak tinggal diam Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Puluhan ribu serdadu ABRI dikerahkan ke Aceh, pentas sejarah infansi Belanda dengan Marsosenya kembali terulang sangat tragis, penculikan, pemerkosaan, pembantaian bahkan penemuan mayat dipinggir jalan menjadi tontonan keseharian. Mengarak kepala manusia yang telah dipisahkan dengan raga setelah dibunuh saat itu menjadi hal yang wajar, seolah hukum humaniter tidak berlaku untuk operasi militer di Aceh tanpa penyelesaian hukum dan pertanggungjawaban dari pihak RI.

Label GPK menjadi stigma baru bagi Aceh sebagai bagian propaganda melemahkan perjuangan kelompok Tgk. Hasan Tiro juga melemahnya nilai tawar Aceh untuk mendapat keadilan dari yang semestinya didapatkan.

Tragedi DOM sejak awal era tahun 90 an yang sangat mengiris luka bagi Aceh menjadikan perjuagan GAM pimpinan Tgk. Hasan Tiro sebagai primadona yg mendapat sambutan luas dari rakyat Aceh secara luas dan menyeluruh, bersatunya hampir segenap lapisan sosial masyarakat ditengah angin segar pasca lengsernya Soeharto.

GAM semakin kuat, konflik meluas ke seluruh Aceh dan bahkan luar Aceh, perang tidak dapat dielakkan korban berjatuhan di kedua belah pihak, GAM sempat menguasai dan mengendalikan keadaan, isu merdeka dan referendum yang terobsesi dari bebasnya Timor Leste saling bersahutan, dengan bersikap layaknya negara agresor yang bengis dan agresif, RI mengerahkan seluruh angkatan tempurnya untuk melumpuhkan GAM dan memburu sampai ke hutan belantara dengan bermacam sandi operasi berhasil menghalau GAM ketitik kritis.

Penangkapan, penyergapan dan penyiksaan sesuatu hasil yang benar walaupun korbannya sipil yang tak berdosa, terutama kepada keluarga GAM, simpatisan atau orang yang di rasa berkenaan dengan pergerakan perjuangan kemerdekaan, begitu juga GAM ikut membantai orang orang yang dianggap musuh perjuangan. Darah dan air mata membasahi bumi yang dijuluki Serambi Mekkah, tanpa ada satu pernyelesaian yang konprehensif, bermartabat, humanis dari siapa yang paling harus bertanggung jawab.

Gempa dan Tsunami melanda Aceh pada minggu 26 Desember 2004 telah membuka Aceh dari Belenggu konflik RI-GAM, dunia international terjun langsung menangani korban musibah baik NGO dan PBB serta negara-negara menembus batas RAS bertindak atas nama kemanusiaan membantu Aceh.

Dorongan International membuat GAM dan RI harus kembali ke meja perundingan yang telah gagal sebelumnya yang di fasilitasi oleh HDC sebelum diberlakukannya Darurat milter, kepiawaian Marti Ahtisari berhasil mendorong para pihak menghasilkan butir-butir kesepakan di Helsinki Finlandia yang dikenal MoU Helsinki yang kemudian menjadi acuan perdamaian GAM dan RI, walaupun didalamnya tidak sedikitpun menyinggung kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam terhadap NKRI.

Disambut gegap gempita oleh seluruh elemen rakyat Aceh seakan prahara konflik telah berakhir dan Aceh siap menuju ke era keemasan, kedamaian dan kemakmuran yang religius.

Enam Belas Tahun sudah berlalu impian diawal perdamaian RI-GAM ternyata tidak juga menghantar Aceh ke gerbang yang diimpikan. Butir-butir MoU Helsinki satu persatu dirasakan hambar bahkan tereliminasi denga regulasi atau UU dan peraturan RI sehingga sulit diwujudkan kecuali hanya beberapa butir saja, Otonomi Khusus menjadi kardus yang berisi komic dan dongeng.

Satu persatu elit GAM hilang pamornya di mata orang Aceh, baik secara politik, pengaruh serta peran dalam membangun Aceh. Semakin mengecilnya jumlah kursi partai lokal yang digagas eks GAM menjadi barometer melemahnya pengaruh mereka, ditambah banyak tokoh-tokoh utama GAM yang meninggal, sakit-sakitan, terpuruk secara ekonomi serta faktor usia menjadi penyebab yang tidak bisa di nafikan.

Dana otonomi khusus yang merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan damai diatur dan digunakan sebagian besar tidak tepat sasaran bahkan cenderung dikorup dan dihambur-hamburkan oleh elit yang ada di Provinsi jauh dari kepentingan rakyat secara menyeluruh terutama korban konflik dan mantan kombatan yang juga sepatutnya sejahtera.

Predikat Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatera sudah menjadi juara tetap tak terkalahkan tanpa membuat sedikitpun rasa malu dari penguasa terlepas latar belakang mereka. Belum lagi daya serap APBA juga Silpa Triliunan rupiah di disikapi enteng saja, seakan nurani dan moralitas berada di titik nadir terendah.

Konflik terus berlanjut antara RI dan Aceh walaupun dingin di permukaan, Qanun bendera belum bisa diterapkan banyak regulasi hasil perjanjian belum bisa diimplementasikan. Tarik ulur politik terus berjalan dengan nilai tawar Aceh semakin kecil dan nyaris hilang. Sehingga kita patut mempertanyakan siapa yg paling berdaulat di Aceh? Agar Aceh tidak terjebak pada lingkaran setan dari waktu ke waktu.

Penulis Merupakan Alumni Unsyiah dan Aktivis 98

M. Dewantara