Iklan Lintas Nasional
Opini  

Refleksi Hari Pahlawan di Kota Juang Bireuen

Oleh: Anwar, S.Ag, M.A.P

Langit Bireuen pagi itu Senin 10 November 2025 berwarna kelabu lembut. Di halaman Pendopo Bupati, bendera merah putih berkibar gagah diiringi langkah tegap pasukan TNI, para pelajar, ASN, guru, tenaga medis dan Tagana serta beberapa OKP hadir dalam Upacara memperingati Hari Pahlawan Nasional 2025 yang berlangsung khidmat dengan tema “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan.”

Sebagai pembina upacara, Bupati Bireuen H. Mukhlis menyampaikan amanat yang menggugah kesadaran. Beliau menegaskan bahwa semangat kepahlawanan tidak boleh berhenti pada seremoni tahunan, melainkan harus dihidupkan dalam sikap dan kerja nyata setiap hari.

“Kita tidak kekurangan pahlawan, tetapi mulai kekurangan keteladanan dan semangat berkorban. Itulah tantangan zaman kita,” ujar Bupati dengan suara tegas di hadapan seribuan peserta yang berdiri khidmat.

Usai upacara, Bupati bersama unsur Forkopimda beserta para pejabat pimpinan tinggi pratama dan perwira melanjutkan agenda upacara dan ziarah ke Makam Pahlawan Kolonel Husen Yusuf di Kecamatan Jeumpa. Doa-doa dipanjatkan, bunga tabur diletakkan di atas pusara para pejuang. Hening terasa menggema, seolah tanah Bireuen sendiri sedang berbisik, “Ingatlah kami dan teruskan perjuangan ini.”

Namun dibalik keharuan upacara dan taburan bunga itu, tersimpan pertanyaan reflektif yang kian relevan di tengah arus zaman: Masihkah semangat juang itu menyala di dada generasi muda Bireuen hari ini?

Bireuen bukan sekedar Kabupaten di Utara Aceh. Ia menyandang nama kehormatan: “Kota Juang.” Sebutan itu lahir bukan karena romantisme sejarah semata, melainkan karena di tanah ini Ir. Soekarno Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia pernah singgah dan menjejakkan langkah perjuangan. Dari kota ini, semangat kemerdekaan dipompa kembali ke seluruh Aceh dan nusantara saat itu, menghidupkan tekad rakyat untuk mempertahankan kedaulatan.

Tetapi, delapan puluh tahun kemudian, semangat itu seperti meredup. Banyak generasi muda yang bahkan tidak lagi mengetahui bahwa Soekarno pernah datang ke Bireuen dan menyuarakan api perjuangan melalui radio rimba raya bahwa Indonesia itu masih ada.

Sejarah juga mencatat presiden RI pertama pernah menginap di Pendopo Bupati selama satu Minggu, sehingga sampai saat ini ada satu kamar spesial yang diabadikan sebagai kamar Soekarno disana. Sementara itu banyak generasi muda Kota Juang kurang memahami mengapa daerah ini disebut Kota Juang. Sejarah mulai tergantikan oleh tren digital dan perjuangan digantikan oleh scrolling tanpa arah.

Di era media sosial, semangat juang seolah bermetamorfosis menjadi semangat berdebat tanpa batas. Generasi muda, yang dulu diharapkan menjadi penerus cita-cita bangsa, kini lebih sering terseret dalam perdebatan dangkal di ruang digital , tentang isu politik lokal, ego kelompok atau perbedaan pandangan yang tidak perlu berujung pada permusuhan.

Media sosial yang semestinya menjadi ruang berbagi gagasan, berubah menjadi medan polemik yang menyulut emosi, Alih-alih memperluas wawasan, banyak yang justru mempersempit pikiran. Alih-alih memperjuangkan nilai bangsa, banyak yang malah sibuk memperjuangkan ego pribadi dan afiliasi politik semata.

Akibatnya, “Roh Kepahlawanan” perlahan terkikis digantikan oleh mentalitas cepat marah, mudah tersinggung dan haus pengakuan. Generasi yang seharusnya menjadi motor perubahan malah terjebak dalam kebisingan digital tanpa makna perjuangan.

Tantangan terbesar Bireuen hari ini bukan lagi konflik bersenjata, tetapi konflik nilai dan moral. Musuh kita bukan kolonial, tapi ketidakpedulian, Bukan peluru, tapi pikiran yang tumpul dan hati yang beku terhadap sejarah bangsanya sendiri, tanah pusaka endatu “Kota Juang” ini.

Momentum Hari Pahlawan harusnya menjadi momen bagi semua pihak terutama pemerintah, pendidik dan masyarakat untuk menyalakan kembali api perjuangan yang diwariskan para pendahulu. Bireuen harus kembali memaknai dirinya sebagai Kota Juang, bukan hanya sebagai simbol geografis, tetapi sebagai identitas perjuangan moral dan sosial.

Menghidupkan roh kepahlawanan berarti menanamkan nilai-nilai kerja keras, kejujuran, solidaritas dan cinta tanah air di setiap lini kehidupan, mulai dari ruang kelas, kantor pemerintahan, hingga ruang digital. Seperti pesan Bung Karno yang pernah berdiri di tanah lapangan Cot Gapu ini: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.”

Maka, penghormatan tertinggi bukan hanya dengan karangan bunga, tapi dengan melanjutkan perjuangan dalam bentuk keteladanan dan tindakan nyata. Tanpa itu, Kota Juang akan tinggal nama dan generasi mudanya akan kehilangan kompas moral yang dulu pernah menuntun para pahlawan menuju kemerdekaan.

Bireuen hari ini tidak sedang kekurangan pahlawan baru, yang kurang adalah kesadaran untuk menjadi bagian dari perjuangan itu. Karena sejarah tidak akan hidup tanpa jiwa yang berani menyalakan kembali api perjuangan di setiap zamannya.

Penulis Merupakan ASN Tinggal di Kota Juang Bireuen.