
LINTAS NASIONAL, JAKARTA – Pemerintah Republik Indonesia resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto, pada Senin 10 November 2025, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Program Officer for Natural Resources and Climate Justice, Yayasan TIFA, Firdaus Cahyadi dalam keterangan tertulis yang dikutip media ini, Rabu 12 November 2025 menilai, keputusan Pemerintah Republik Indonesia yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto, merupakan pukulan telak bagi upaya konservasi, keadilan iklim, dan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan.
“Penetapan ini secara fatal melegitimasi model pembangunan eksploitatif dan korup yang menjadi akar krisis lingkungan dan konflik agraria hingga saat ini,” kata Firdaus Cahyadi.
Menurut Firdaus Cahyadi, Rezim Orde Baru mendasarkan pertumbuhannya pada model ekonomi ekstraktif yang didorong oleh pengurasan sumber daya alam secara massif.
“Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sebagai mesin utama model pembangunan ekstraktif Orde Baru itu,” ujar Firdaus Cahyadi.
Kata Firdaus Cahyadi, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan, seolah-olah menghapus dosa historis dari kebijakan yang menyebabkan deforestasi terbesar dalam sejarah Indonesia.
“Pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pertambangan, dan perkebunan monokultur skala besar secara tertutup kepada kroni-kroni, adalah kejahatan lingkungan yang sistematis. Penetapan ini berisiko mengirim pesan bahwa pembangunan yang merusak lingkungan itu sah dan layak dimuliakan,” tutur Firdaus Cahyadi.
Status Pahlawan Nasional, lanjut Firdaus Cahyadi, akan menjadi benteng moral dan politik bagi struktur oligarki sumber daya alam yang terbentuk di masa Orde Baru dan masih berkuasa hingga kini.
“Keputusan ini secara tidak langsung membenarkan kolaborasi antara elit politik, militer, dan bisnis dalam menguasai sektor ekstraktif,” tegas Firdaus Cahyadi.
Menurut Firdaus Cahyadi, Oligarki menjadi hambatan utama dalam penegakan hukum lingkungan yang adil. Firdaus Cahyadi mengungkapkan bahwa, pembangunan ala Orde Baru selalu dilakukan dengan merampas hak-hak masyarakat adat dan petani.
“Status pahlawan Suharto akan memperkuat narasi bahwa kekerasan dan penggusuran atas nama proyek nasional adalah ‘tindakan heroik’ yang diperlukan,” jelas Firdaus Cahyadi.
Kata Firdaus Cahyadi, kondisi itu mempersulit upaya penyelesaian konflik agraria yang menjadi warisan rezim tersebut. Firdaus Cahyadi menambahkan, Yayasan TIFA berharap narasi yang memuliakan model pembangunan ekstraktif ala Orde Baru makin menguat, seiiring dengan pemberian gelar pahalawan kepada Soeharto.
“Masyarakat sipil harus membangun narasi baru tentang pahlawan, bahwa pahlawan sejati adalah mereka yang melindungi alam, bukan yang merusaknya,” pungkas Firdaus Cahyadi. [] (red)











