Opini  

Aceh, Berhari Raya Tapi “Tabeue”

Oleh: Zulkifli, S.Pd.I, M.Pd

Aceh merupakan salah satu wilayah paling Barat di Indonesia, dengan luas wilayah 58.377 KM² dengan jumlah penduduk (statistik tahun 2020) 5.274.871 jiwa yang memiliki beberapa keunikan nama yaitu Aceh Darussalam (1511-1945), kemudian menjadi nama Aceh (1956), kemudian menjadi Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), kemudian menjadi Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), kemudian berubah lagi menjadi Aceh (2009 s.d sekarang), (Wikipedia).

Aceh Juga memiliki kekhususan penerapan Syariat Islam yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. Kemudian juga masalah penerapan Syariat Islam tertuang dalam MoU Helsinki dalam pemberlakuan sesuai dengan tradisi dan norma yang hidup di Aceh.

Dengan begitu banyak kekhususan yang ada di Aceh, seyogyanya Pemerintah Aceh bisa memanfaatkannya sehingga Aceh memang benar-benar beda dengan wilayah lain dalam hal agama, sosial dan tatanan hidup, bisa menerapkan syariat Islam yang kaffah, bukan hanya sekedar tertuang dalam qanun, itu pun hanya dalam beberapa permasalahan saja.

Yang lebih dominan masalah khalwat, menggunakan busana non muslim, minum khamar dan judi online. Padahal lebih banyak hal lain yang perlu di atur dalam Undang-undang Aceh, antara lain wajib pendidikan Agama Islam berbasis Dayah atau Pesantren minimal sembilan tahun (tamat SD/MI) atau tiga belas tahun (tamat SMA/MA), saat ingin kuliah atau bekerja remaja Aceh wajib memiliki Sertifikat atau Ijazah dari Dayah/Pesantren, yang memaknai bahwa ia pernah digembleng di tempat pendidikan Islam sebagai bekal bagi generasi untuk melanjutkan penerapan Syariat Islam yang semakin sempurna kedepan, karena mustahil Syariat Islam di Aceh akan semakin kokoh bila para generasi tidak pernah digembleng secara wajib di Aceh.

Yang saya takutkan semakin banyak generasi yang tak faham syariat atau mengolok syariat setiap tahunnya, sehingga pelanggaran-pelanggaran Syariat Islam semakin banyak, dari masalah yang dianggap kecil (pacaran) sampai masalah paling besar yaitu pemurtadan.

Tindak pidana Korupsi juga perlu dituangkan dalam Undang-undang Syariat Islam, karena ini sebagai biang yang membuat Aceh miskin secara berjamaah, kemiskinan ini juga sangat menghambat dalam pembangunan Aceh, putusnya pendidikan generasi, pelayanan pilih kasih di instansi-instansi berbasis pemerintah, bahkan pembangunan insfrastruktur yang tidak berkualitas (bagah reuloh). Bahkan banyak hal lain lagi yang perlu dituangkan dalam Undang-undang Pemerintah Aceh yang berbasis syariat termasuk penetapan awal bulan Hijriyah.

Kenapa Aceh Tidak Ada Sidang Itsbat Penetapan Awal Hilal Sendiri?

Fenomena-fenomena sosial yang bersifat keagamaan juga perlu di tata lebih rapi lagi di Aceh dalam rangka memanfaatkan kekhususan dan MoU. Ini sebagai jembatan atau wasilah kepada masyarakat Aceh agar tidak simpang siur dan berbeda dengan sangat siginifikat dalam suatu kegiatan.

Melihat wilayah Indonesia yang begitu luasnya, dari Sabang sampai dengan Marauke dengan perbedaan ghurub matahari menjadi tiga wilayah besar, yaitu Waktu Indonesia Bagian Barat, Waktu Indonesia Bagian Tengah dan Waktu Indonesia Bagian Timur yang memiliki selisih menit cukup besar, bahkan hampir sampai satu jam, ini maunya menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Aceh dalam Penentuan Penetapan Awal Bulan (PPAB) atau sidang istbat rukyatul hilal. Ini telah kita rasakan berkali-kali setiap tahunnya, termasuk dalam perayaan Idul Fitri 1443 H atau tahun 2022 ini.

Kenapa mesti harus menjadi perhatian khusus? Karena hampir setiap tahunnya di Aceh terjadi perbedaan antara sesama rakyat Aceh dalam melaksanakan kegiatan keagamaan, khususnya puasa Ramadhan dan perayaan Idul Fitri. Padahal di Aceh sudah memiliki enam titik lokasi pemantaun hilal yaitu observation Tgk Chiek Kuta Karang Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Tugu Nol Kilometer Kota Sabang, Bukit Blang Tiron Perta Arun Gas Kota Lhokseumawe, Pantai Lhokgeulumpang Setia Bakti Kabupaten Aceh Jaya, POB Suak Geudubang Kabupaten Aceh Barat dan Pantai Nancala Teupah Barat Kabupaten Simeulue, ditambah lagi observation secara individu dan Dayah-dayah di Aceh yang berada di dekat pesisir laut yang secara informasi berantai mengatakan tidak nampak bulan disebabkan mendung (ghumm).

Kemudian beredar di televisi-televisi, media-media sosial tentang video Menteri Agama Republik Indonesia dan selebaran Nahdhatul Ulama Pusat nomor 276/C.I.34/05/2022 tentang penetapan 1 Syawal jatuh pada tanggal 02-05-2022 dengan hasil rukyatul hilal lima lokasi di Pulau Jawa yang berhasil melihat hilal dan di Tapanuli dengan menggunakan Teleskop.

Sedangkan di Aceh terjadilah simpang siur antara yang ingin takbir Idul Fitri dengan yang akan melaksakan shalat Teraweh yang tentunya besok menyempurnakan puasa Ramadhan 30 hari.

Juga tentang beredarnya pesan-pesan lewat media-media sosial, semisal facebook, whatshap, telegram, dan lainnya yang tertulis bahwa “Diantara Dayah yang memutuskan Selasa 1 Syawal 1443 H adalah

1) Darussalam Labuhan Haji,

2) Darul Muarif Lam Ateuk,

3) Darurrahmah Kota Fajar,

4) Serambi Aceh Meulaboh,

5) Dayah Blang Blahdeh,

6) Dayah Darul Muta;alimin Tanah Merah Aceh Singkil,

7) Dayah Subulurrahmah Kota Subulussalam,

8) Dayah Sirajul ‘Ibad Meukek dan

9) Dayah Nadinatuddiniyah Babussa’adah Teupin Gajah.

Juga isu berkembang beberapa dayah lagi, walau ada juga informasi berkembang tentang dayah yang merayakan Idul Fitri seperti Dayah Ulee Titi Aceh Besar.

Fenomena inilah yang membuat masyarakat menjadi bimbang antara besok Syawal atau masih Ramadhan, kemudian masing-masing mencari informasi terdekat dan yang dapat dipercaya, baik ke Dayah-dayah tempat menuntut ilmu dulu atau kepada teungku-teungku yang dianggap alim dan memahami hal ilmu falak yang walau pun hasil akhirnya sama, yaitu ada yang merayakan Idul Fitri dengan dalih mengikuti Penetapan 1 Syawal oleh Kementerian Agama Pusat karena satu wilayatulhukmi (Indonesia) walau Mathali’ yang berbeda.

Dan ada juga yang melanjutkan berpuasa dengan dalih di Aceh tidak nampak hilal karena mendung, solusi fiqiyahnya adalah menggenapkan puasa 30 hari ditambah lagi dalil mengikuti para ulama yang masih berpuasa.

Saya sendiri dalam kebimbangan antara puasa dan hari raya (karena baru selesai mengaji tentang puasa 29 hari atau 30 hari), megikuti Pemerintah Pusat atau sebagaimana hasil balasan teman-teman team rukyatul hilal yang mengatakan bulan tidak nampak di Aceh.

Akhirnya saya coba whatshap teman yang ada di Malaysia yang menurut saya mereka masih satu Mathali’ dengan Aceh yang ternyata sudah di umumkan 1 Syawal.

Beranjak dari itu, saya pun memutuskan untuk merayakan 1 Syawal 1443 H tanggal 02-05-2022 berdasarkan dua referensi untuk meyakinkan diri, yaitu pengumuman Menteri Agama Republik Indonesia dan Pengumuman Kerajaan Malaysia. Walau merasa “tabeue” karena simpatik kepada ulama yang masih berpuasa dan tidak nampak hilal di Aceh.

Ketabuean ini masih saya rasakan sampai detik-detik pelaksanaan shalat ‘ied di mesjid dan mungkin ini termasuk salah satu lebaran yang meriah tapi seolah ruhnya sedikit hilang.

Maka beranjak dari fenomena dan pengalaman pribadi, saya berharap kepada Pemerintah Aceh, baik Eksekutif, Legislatif, Lembaga Keagamaan, organisasi Keagamaan dan seluruh lapisan masyarakat pemerhati agama untuk mempertimbangkan membuat sidang itsbat sendiri setiap penetapan awal bulan hijrah.

Karena ini sangat mendukung, baik secara kekhususan Aceh, beda mathali’ dengan Pemerintah Pusat, MoU yang membolehkan kita mengatur urusan keagaman sendiri dan sering terjadi ikhtilaf para ulama Aceh. Diakui atau pun tidak, bahwa masyarakat Aceh masih sangat menghormati para ulama di Aceh dengan rasa simpatisan yang tinggi, bahkan demi ulama siapa melakukan apa saja.

Namun intinya perlu sidang itsbat di Aceh adalah untuk menyatukan seluruh lapisan masyarakat dan membuat para penjajak ilmiah merasa puas dalam melaksanakan kegiatan keagaaman di Aceh, berpuasa atau berlebaran sepenuh hati, bukan berhari raya tapi “Tabeue”

Penulis Merupakan Guru MTsN 6 Aceh Utara