
Oleh: Nab Bahany As
(Photo: Makam Tgk. Chik Pante Geulima Syaid Syahid dalam Perang Kuta Gle).
“Teungku Tjut Sa’id nyang ayon prang
Nyang ato rakan kameuteuntee
Dalam Kuta Gle that meucuhu
Nyang ato bak u dum meutibee
Dalam Kuta Glee that meusigak
Ateuh seunambak le that guree
Kafe dum jiplueng keudeh u laot
Geulet di likot meree-ree”.
(Kutipan dari hikayat prang Kuta Gle).
Bila Anda melewati jalan raya nasional dari Banda Aceh menuju Medan, atau sebaliknya. Anda pasti akan melewati jembatan sungai Batee Iliek, Samalanga, yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Pidie Jaya dan Kabupaten Bireun, Aceh.
Maka ketika kendaraan Anda pas berada di atas jembatan Batee iliek itu, Anda dapat menoleh senbentar ke arah selatan jembatan untuk melihat sebuah bukit kecil di atas sungai Batee Iliek itu, yagg bukitnya tersebut sangat terkenal dengan nama Benteng Kuta Gle dalam sejarah perang Belanda di Aceh.
Dulu, di tahun-tahun 1980-an saya pernah beberapa kali naik ke bukit itu untuk melihat lokasi benteng Kuta Gle ini. Saat itu masih sangat alami, belum ada bangunan pesantren dan rumah-rumah penduduk.
Tak jauh dari benteng Kuta Gle ini, seingat saya dulu terdapat sebuah monumen Jenderal Joannes Benedictus Van Hustsz, sebagai monumen pertanda kemenangan Belanda dalam menaklukkan benteng Kuta Gle tahun 1904, di bawah pimpinan Van Hutsz.
Saat saya bertandang ke benteng Kuta Gle Betee Iliek ini (7 November 2021) kemarin. Semuanya sudah berubah, di sekeliling bukit benteng Kuta Gle ini telah berdiri bangunan-bangunan bertingkat milik sebuah pesantren.
Monumen Van Hutsz juga sepertinya telah hilang, akibat telah dibangun rumah penduduk di sekeliling benteng Kuta Gle ini.
Itu akibat dari ketidakpedulian pemerintah kita, terhadap situs benteng Kuta Gle yang sangat bersejarah dalam perang Aceh dengan Belanda. Semestinya, dari dulu pemerintah harus telah menetapkan benteng Kuta Gle ini sebagai kawasan cagar budaya yang harus dilindungi.
Sekian radius di atas bukit benteng Kuta Gle ini, tidak boleh didirikan bangunan, karena lokasi itu sebagai kawasan cagar budaya yang harus dilestarikan.
Sekarang semuanya sudah terlambat dan terlanjur, karena kelalaian kita yang tidak menetapkan lokasi benteng Kuta Gle ini, sebagai sebuah kawasan cagar budaya, yang tak boleh didirikan bangunan dalam radius yang telah ditetapkan.
Benteng Kuta Glee Tak Bisa Ditaklukkan
Benteng Kuta Gle Betee Iliek ini, adalah sebuah benteng pertahanan pasukan Aceh yang sangat sulit di serang Belanda untuk mengusai Samalanga. Belanda harus mengeluarkan biaya perang yang sangat besar untuk melumpuhkan benteng Kuta Gle ini.
Berkali-kali Belanda membentuk agresinya secara besar-besaran, dengan mengerahkan ribuan pasukan lengkapnya, namun Belanda tidak sanggup melumpuhkan pertahanan benteng Kuta Gle ini.
Lebih dari 30 tahun Belanda membangun serangan untuk menalukkan Benteng Kuta Gle, belum juga berhasil. Karena tangguhnya pejuang-pejuang Aceh mempertahankan wilayah Samalanga untuk tidak dikuasai oleh Belanda masa itu.
Sehingga, Paul Van ‘T Veer seorang wartawan Belanda, dlm bukunya “De Atjeh Oorlog” (Perang Aceh), mencatat:
“Benteng Kuta Gle Batee Iliek adalah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda”. Batee Iliek sendiri, kata Van ‘T Veer, adalah sebuah dusun keramat dan pemukiman para ulama yg sangat fanatis dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda di Samalanga.
“Pejuang-pejuang Aceh di Kuta Gle Batee Iliek sangat lancar menangkis serangan-serangan perang dari pasukan Belanda. Mereka adalah para ahli Al-Quran (para ulama) yg sangat lancar membuat perang terhadap Belanda, yaitu selancar mereka membaca ayat-ayat Al Qur’an”, tulis Gaul Van ‘T Veer tentang perang Aceh di Kuta Gle Batee Iliek.
* * *
Setelah 30 tahun lebih benteng Kuta Gle bertahan menghadapi perang dengan Belanda. Baru pada tahun 1904 benteng Kuta Gle berhasil direbut oleh Belanda di bawah pimpinan perang Jenderal Van Huts.
Itu pun, karena ada seorang penunjuk jalan (Cuw’ak) yang bernama Panglima Tibang, menyusup dalam pasukan Belanda, sehingga Belanda dengan mudah menguasai medan untuk menyerang benteng Kuta Gle.
Konon, Tgk. Chik Pante Geulima, juga syahid dalam serangan Belanda ke Kuta Gle tahun 1904 ini. Serangan di bawah pimpinan Van Hutsz ini di mulai 1901, dan Belanda baru menguasai benteng Kuta Gle 1904.
Selain Tgk. Chik Pante Geulima yang syahid pada 1904, Tgk. Tjut Sa’id beserta beberapa pejuang lainnya, juga syahid dalam serangan Belanda saat telah menguasai benteng Kuta Gle, karena peran Cuw’ak, yang menunjukkan jalan bagi Belanda untuk menguasai benteng Kuta Gle Batee Iliek.
Bila sekarang Anda mengunjungi benteng Kuta Gle, Anda akan melihat ada 9 makam para ulama syahid di situ. Dari 9 makam para syuhada yang syahid itu, salah satunya adalah Tgk. Tjut Sa’id sebagaimana tersebut dalam hikayat perang Kuta Gle di awal tulisan. Alfatihah untuk para syuhada yang syahid dalam perang Belanda di Kuta Gle Batee Iliek.
Penulis merupakan Budayawan dan Pemerhati Sejarah Aceh