Cabang, Permainan Rakyat yang Hampir Punah di Aceh

Foto: Lukman (34), salah seorang peserta lomba cabang Catoe (Cabang) Aceh dari Kecamatan Jangka pada Lomba Festival Budaya Bireuen tahun 2021 sedang mengamati gerak lawan mainnya pada perhelatan lomba Catoe Aceh yang dilaksanakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bireuen, Senin 8 November 2021

LINTAS NASIONAL – BIREUEN, Catoe Aceh ataupun yang lazim dikenal dengan nama Cabang merupakan sebuah permainan tradisional Aceh masa lampau. Permainan rakyat itu kini mulai langka ditemukan di Aceh khususnya di Bireuen, hal ini seiring pesatnya teknologi dan perkembangan zaman.

Para peserta lomba Cabang tersebut begitu antusias mengikuti lomba. Belum lagi ditambah dengan sumringah dan gelagat tawa para penonton yang hadir menyaksikan permainan yang kini mulai langka di Aceh itu.

Namun, sejauh perkembangan zaman, permainan rakyat tersebut kini mulai punah dan hilang di kehidupan masyarakat Aceh, khususnya Bireuen. Bahkan para generasi hari ini mulai tidak mengenal dengan permainan warisan pendahulu tersebut.

Di acara Festival Budaya Bireuen itu, para peserta lomba permainan Cabang terlihat begitu menjiwai prosesi, waktu perlombaan serta aturan-aturan yang telah disepakati dan ditentukan oleh dewan juri.

Sejauh ini, Disdikbud Bireuen sedang memacu agenda-agenda yang berkaitan dengan warisan budaya melalui bidang kebudayaan. Hal itu menjadi gambaran dari keseriusan pemerintah kabupaten Bireuen dalam melestarikan dan merawat budaya.

Selain itu, Lukman selaku peserta lomba kepada lintasnasional.com Senin 8 November 2021, mengatakan, dulunya permainan Cabang ini amat digalakkan oleh semua kalangan, baik orang tua maupun muda, bahkan anak-anak.

“Ini permainan keude kupi dan panteu jaga,” ujarnya.

Menurutnya, hampir semua gampong di Bireuen memiliki permainan tersebut, hal itu dapat dilihat dari panteu jaga gampong dan keude kupi, rata-rata memiliki papan cabang yang telah disediakan.

Panteu jaga merupakan sebutan orang Aceh kepada Pos jaga, sementara keude kupi adalah warung kopi.

“Permainan ini hanya untuk mengasah imajinasi, biasanya dimainkan di sela-sela keluangan waktu masyarakat ketika pulang meladang, melaut, dan sebagainya,” ungkapnya.

Ia menyebutkan, kebiasaan masyarakat Aceh pada umumnya memang bisa memainkan permainan Cabang tersebut, karena permainan itu tak begitu ribet.

“Ini jenis permainan tradisional Aceh yang mudah dimainkan oleh siapa saja,” ujarnya.

Selain itu, ungkap lelaki asal Pulo Seuna, Jangka itu, permainan cabang ini sering dilakukan tengah hari, petang dan malam hari oleh masyarakat di gampong-gampong. Namun, sayang kini permainan tradisional itu mulai langka dan tak banyak disukai oleh generasi mendatang.

Bukan Catoe Aceh, Tapi Cabang

Lain hal dengan dewan juri yang ditunjuk sebagai pengadil pada lomba Festival Budaya cabang Catoe Aceh, yang terlihat begitu sumringah di hadapan para peserta.

Dalam lomba Cabang itu, dewan juri berjumlah tiga orang, namun ketika ditemui lintasnasional.com Samsul Bahri (58) salah satu juri pada cabang lomba Catoe Aceh yang diselenggarakan Disdikbud Bireuen Senin 8 November 2021 di aula SKB mengatakan permainan Cabang itu sudah ada sejak era kesultanan Aceh.

Menurutnya, dari 17 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bireuen, peserta yang mengikuti lomba tersebut hanya perwakilan dari 3 Kecamatan, Jangka, Jeumpa, dan Simpang Mamplam, masing-masing 2 orang mewakili Kecamatan.

Padahal, sebutnya guru Olahraga SDN 7 Kuala itu, sebelumnya panitia acara telah membuka pendaftaran lomba tersebut untuk umum, namun juga masih sedikit yang mendaftar, hanya 8 peserta yang mengikuti perlombaan ini.

Ia mengisahkan, sebenarnya nama permainan yang mengasah otak tersebut bukanlah Catoe atau Catur, melainkan Cabang. Cabang sendiri, kata lelaki senja tersebut terdiri dalam dua jenis, Cabang Kipah (kipas) dan Cabang Sayeup (sayap).

“Keduanya sama, namun nama di masing-masing daerah di Aceh berbeda-beda,” ucapnya lelaki kelahiran 1967 tersebut.

Menurut Samsul, orang dahulu menamakan permainan tersebut dengan nama Cabang, namun ada yang menyebut cabang kipah dan cabang sayeup, namun keduanya sama, itu hanya perbedaan nama di daerah-daerah yang ada di Aceh.

Ia menjelaskan, kenapa cabang ini masuk dalam permainan tradisional bersebab belum memiliki induk atau wadah organisasinya, maka tidak ada rujukannya.

“aturan permainannya sewaktu-waktu dapat berubah, makanya dinamakan permainan tradisional,” paparnya.

Cabang Aceh harus Go Nasional

Dari penuturannya yang gamblang dan tertata, Samsul begitu bersemangat menjaga dan melestarikan permainan tradisional Aceh tersebut supaya tumbuh kembali menjadi permainan yang digalakkan oleh generasi hari ini.

Kepedulian Samsul terhadap permainan rakyat tersebut terpancar dari cara ia memberikan sepatah dua patah gambaran kepada peserta lomba sebelum pertandingan dimulai. Ia pula nampak begitu bersemangat dengan adanya perlombaan cabang Aceh tersebut.

Lebih lanjut, Samsul menjelaskan permainan cabang ini membutuhkah rumus, konsep, konsentrasi pikiran, keseimbang dan pemain harus benar-benar teliti sebelum melangkah, maka wajib permainan ini layak dimasukan ke sekolah-sekolah.

Samsul berharap permainan cabang Aceh ini masuk ke ranah nasional, apalagi masuk ke jenjang pendidikan di sekolah-sekolah supaya peraturan dan aturannya dapat dibekukan. Kita harus berembuk tentang itu, supaya permainan cabang Aceh ini Go Nasional.

“Permainan ini butuh pengetahuan, butuh pemikiran, juga dapat mendorong daya berpikir anak-anak,” ujarnya.

Sebaliknya, sebut Samsul, bila permainan cabang Aceh ini di budidaya-kan kembali, maka dapat mengurangi keterjerumusan para generasi di dunia teknologi.

“Anak-anak kita tidak akan lagi menghabiskan waktu dengan permainan orang luar,” imbuhnya.

Asal Mula adanya Permainan Cabang

Menurut beberapa sumber, permainan cabang Aceh tersebut telah ada sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa, hal itu diutarakan oleh beberapa masyarakat yang dijumpai lintasnasional. Namun, secara faktual dan otentik, barangkali informasi tersebut belum bisa merujuk pada asal mula permainan cabang Aceh itu hadir di tengah-tengah masyarakat.

Namun begitu, Samsul menuturkan, ia tidak begitu paham awal mulanya permainan ini ada di Aceh, menurutnya permainan cabang Aceh tersebut sudah ada sejak lama.

Dirinya sendiri kata Samsul, telah mengenal permainan tradisional tersebut sejak dari kecil. Dahulu, permainan itu sering di mainkan oleh orang-orang di kampungnya. Namun, kini mulai sedikit langka dan hampir punah.

Dengan demikian, ia berharap Pemerintah melalui dinas terkait dapat membudidayakan kembali permainan rakyat itu sebagai wujud melestarikan nilai-nilai budaya yang telah ada. Di samping untuk mewarisi budaya leluhur kepada generasi.

Hal senada juga diungkapkan Asri guru olahragA SDN 5 Juli yang juga dewan juri mengatakan permainan rakyat tersebut telah ada di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda.

Menurutnya, permainan tradisional Aceh tak hanya Cabang semata, namun terdiri dari Geunteut (Egrang), Kandang dan Galah. Semua permainan itu dahulunya dimainkan oleh para santri yang sedang menuntut ilmu di dayah-dayah.

“Dulu para santri memainkan permainan rakyat ini disela-sela waktu luang,” katanya.

Ia menyebutkan, sejarah permainan Cabang Aceh ini sudah ada sejak lama, ini permainan yang unik dan mudah, semua orang pasti bisa memainkan permainan tersebut, tetapi dengan daya pikir dan strategi yang berbeda-beda.

Mulai Punah dan Langka

Namun begitu, yang amat memprihatinkan sekarang ini adalah hilang dan hampir punahnya permainan tradisional yang ada di Aceh akibat dikikis oleh perkembangan zaman serta minim literatur terkait akan hal itu.

Bagaimana tidak, kata Samsul, selama ini permainan rakyat sudah amat susah ditemukan di kampung-kampung, sudah mulai langka dan hampir hilang.

“Orang Aceh sendiri terkesan tidak melestarikan permainan tradisional ini,” ungkapnya.

Dengan adanya lomba festival seperti ini, sebut Samsul, menjadi harapan bersama untuk pemerintah khususnya Disdikbud Bireuen untuk melaksanakan kegiatan serupa ini menjadi agenda tahunan.

“Ini harus dilestarikan kembali supaya menjadi olahraga yang go daerah atau go nasional,” tutupnya. (Adam Zainal)