Oleh: H. Muhammad Nazar
Meski telah berlangsung 15 tahun, implementasi perdamaian Aceh masih saja mendapat sorotan banyak pihak. Bukan hanya dari orang Aceh tetapi juga pemerhati dari non Aceh. Perhatian dan sorotan itu muncul karena masih adanya kekhawatiran potensi konflik baru jika klausul-klausul dalam MoU Helsinki maupun yang telah diundang-undangkan dalam UU RI Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak berjalan secara utuh.
Selain itu, berbagai kalangan juga menilai ada banyak poin strategis dalam MoU Helsinki tidak berhasil masuk dalam undang-undang tersebut. Tuntutan revisi undang-undang dimaksud memang sudah mencuat begitu undang-undang tersebut disahkan pada akhir 2006 oleh pemerintah.
Selama proses pembahasan hingga pengesahan undang-undang yang bersifat khusus itu, SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh) ikut mengawal ketat, bahkan mengorganisir beberapa kali aksi demonstrasi di Aceh maupun di sekitar gedung DPR RI di Jakarta. Harapannya tidak lain agar setidaknya seluruh klausul yang ada dalam MoU Helsinki harus dimasukkan dalam undang-undang itu.
Kecuali itu, ada beberapa klausul dalam MoU Helsinki yang bersifat implementasi jangka pendek memang tak perlu dimasukkan dalam sebuah undang-undang. Namun sekali lagi, faktanya ada beberapa klausul strategis dqn jangka panjang untuk kebutuhan masa depan Aceh tidak berhasil digolkan untuk masuk dalam undang-undang tersebut.
Ada banyak kelemahan yang terjadi waktu itu, tidak terkecuali kelemahan yang memang sudah hampir permanen terjadi dari DPR Aceh. Waktu itu parlemen lokal Aceh masih bernama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kelemahan yang tak dapat ditampik juga ada dalam diri para pihak yang ikut menandatangani MoU Helsinki yang tidak mengkomunikasikan details penjabaran setiap klausul yang harus disesuaikan antara spirit MoU Helsinki dan regulasi formal seperti undang-undang.
Sementara itu, seperti diketahui seluruh anggota DPRD Aceh dan DPR RI yang terlibat langsung dalam pembahasan hingga disahkannya sebagai undang-undang semuanya adalah dari partai-partai politik nasional, karena waktu itu belum lahir satupun partai lokal secara resmi karena harus menunggu undang-undang khusus baru itu.
Saat ini dan masa depan, perdamaian adalah kebutuhan mutlak setiap orang sebagai pra syarat utama yang memungkinkan siapapun mengisi dan menjalankan kehidupan lebih baik. Tidak terkecuali untuk tujuan pembangunan Aceh. Potensi konflik dan kekerasan baru apapun harus dihindari, tetapi pada saat yang sama perdamaian harus memiliki kualitas yang membawa manfaat jangka panjang.
Aceh harus menemukan kembali jati dirinya dan membangun masa depan yang bermartabat. Lagi.-lagi, menuju ke situ tentu saja tidak cukup dengan sekedar marah-marah dan bikin ribut tanpa hasil. Kapasitas sumber daya manusia dan revitalisasi pelaksanaan MoU Helsinki hingga revisi undang-undang khsusus Aceh itu dibutuhkan secepatnya. Termasuk di dalamnya memasukkan kembali apa yang belum diakomodir dari kesepakatan MoU Helsinki dan apa yang harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan masa depan karena sebahagian muatan undang-undang khsusus tentang pemerintahan Aceh itu memang ada yang sudah tidak lebih maju dari undang-undang otonomi daerah yang berlaku umum secara nasional atau tidak layak lagi dipertahankan.
Waktu terus berjalan, satu hal yang paling penting perdamaian harus tetap berjalan tetapi sekali lagi rakyat Aceh menginginkan pemerintah RI bersikap jujur dan ikhlas sehingga tidak lagi melakukan ketidakadilan serta penipuan baru apapun terhadap Aceh.
Sementara dari Aceh, juga harus selalu melihat, mengintrospeksi diri dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada. Tidak terkecuali, kebiasaan sebahagian elit Aceh, kaum pejuang dan masyarakat Aceh yang sering terjebak simbol, kulit dan permainan gendang orang lain. Selama ini dalam banyak sisi kehidupan sosial, agama, politik dan ekonomi Aceh, yang lebih diutamakan adalah perebutan simbol, kulit dan itupun sering masuk dalam pengendalian konsep lawan.
Sehingga pertarungan akan berakhir pada pertarungan yang selalu mengalahkan Aceh karena dirancang oleh pihak lain untuk melawan diri Aceh sendiri yang begitu susah dimenangkan dan tidak akan ada yang menang, karena kemenangan sejak pertarungan selalu menjadi milik lawan yang sangat cerdas menggunakan tangan-tangan Aceh sendiri.
Nara sumber acara Dialog Publik yang diadakan di ruang kantor penghubung pemerintah Aceh di Menteng Jakarta Pusat kemarin, Sabtu, 15 Agustus 2020 secara virtual itu menghadirkan nara sumber H. Muhammad Nazar (Ketua SIRA, Wagub Aceh 2007-2012), Nezar Patria (Pemred the Jakarta Post). Sedangkan secara virtual by media Zoom online ikut juga hadir nara sumber M. Nasir Jamil anggota DPR RI & Fakhrurrazi anggota DPD RI, keduanya adalah asal pemilihan provinsi Aceh. Yang cukup menarik, para penanya secara virtual ikut dari beberapa negara seperti Turki, Azerbaijan dan lain-lain.
Mereka adalah peminat masalah Aceh non Aceh dan sebahagian asal Aceh yang berdiaspora ke negara lain. Ini berarti bahwa masih ada perhatian luas unsur masyarakat Aceh dan non Aceh terhadap isu-isu Aceh, yang dapat menjadi salah satu motovasi bagi rakyat di Aceh untuk memperbaiki seluruh sisi keadaan pembangunan, termasuk di dalamnya mendorong pemerintah RI agar merevisi undang-undang khusus tersebut dan menarik kembali perhatian rutin internasional. Sehingga meskipun MoU Helsinki harus dinilai sebagai solusi damai yang baik tetapi belumlah menjadi strategi dan resolusi komprehensif penyelesaian konflik Aceh.
Penulis Merupakan Wakil Gubernur Aceh Periode 2007-2012, Ketua Dewan Presidium SIRA dan Ketua Umum Partai SIRA