Oleh: Muhammad Haikal Fahmi
Disaat kepentingan pribadi di kedepankan dan kepentingan sosial luput dari perhatian, maka malapetak pun akan segera terjadi.
Inilah yang masyarakat batak rasakan sekarang akibat adanya PT Toba Pulp lestari Tbk (PT TPL) yang berdiri di tanah mereka.
PT Toba Pulp lestari Tbk dahulunya bernama PT Inti Indorayon Utama telah menciptakan berbagai polemik dikalangan masyarakat terutama masyarakat batak.
Sejak berdirinya industry tersebut pada tahun 90-an polemik tersebut terus menjadi-jadi hingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan hingga perusahaan tersebut terpaksa ditutup untuk menghindari terjadinya konflik yang lebih besar.
Namun pada era kepemimpinan Presiden Megawati, izin oprasional tersebut kembali diberikan. Dari dahulunya PT Inti Indorayon Utama yang memroduksi rayon sekarang telah berubah nama menjadi PT Toba Pulp lestari Tbk yang sekarang memproduksi Pulp.
Bergantinya nama perusahaan tidak menghilangkan konflik yang terjadi dimasyarakat batak. Bahkan konflik tersebut semakin berlarut larut. Diketahui belakangan ini konflik tersebut makin menyebar ke seluruh wilayah konsesi dari PT Toba Pulp lestari Tbk dan tidak terpusat di sekitar pabrik yang berada di kecamatan Parmaksian, Provinsi Sumatera Utara.
Melihat kasus konflik yang tidak pernah selesai, maka banyak dari pegiat lingkungan serta beberapa kelompok elemen masyarakat menyuarakan agar supaya pabrik tersebut dapat di tutup dan dicabut izin oprasionalnya.
Konflik yang terjadi menimbulkan banyak dampak sosial dan budaya di kalangan masyarakat batak dalam kehidupan sehari hari. Umumnya masyarakat batak yang tinggal di wilayah konsesi PT Toba Pulp lestari Tbk berprofesi sebagai petani Kemenyan (Dalam industry parfum sering disebut Olibanum).
Dampak sosial dengan berdirinya PT TPL ini sangatlah berpengaruh bagi para petani tradisional yang tinggal pada wilayah hutan konsesi. Lahan sekitar hutan tempat mereka mencari kemenyan sudah di babat oleh PT TPL sehingga mereka tidak bisa mencari nafakah dan dan memanen getah Kemenya lagi yang menjadi sumber mata pencarian masyarakat yang tinggal pada wilayah tersebut.
Disamping itu kesenjangan sosial akibat berdirinya PT TPL ini sangat berpengaruh bagi budaya serta tradisi adat istihadat yang sudah turun temurun terus mereka jaga dan mereka lakukan sampai sekarang. Sebagai contoh masyarakat Sihaporas, Kabupaten Simalungun, melakukan kegaiatan adat tahunan dengan mengambil beberapa ikan di sungai keramat yang ada pada daerah tersebut.
Secara alami dahulu setiap sungai yang ada di wilayah adat masyarakat Sihaporas terdapat ikan pora-pora (Puntius binotatus) yang mana ikan tersebut sudah menjadi bagian dari ritual adat mereka turun temurun.
Namun belakangan ini mereka tidak menemukan lagi ikan pora pora tersebut karna sudah terkontaminasi racun akibat dari limbah PT TPL yang terkontaminasi ke sungai-sungai yang ada pada wilayah tersebut.
Menurut tetuah adat Sihaporas, sewaktu tanah Sihaporas masih utuh (tidak ada campur tangan PT TPL) tidak pernah terdapat masalah dalam melakukan ritual adat. Akan tetapi setelah masuknya PT TPL, ritual mereka menjadi sangat terganggu.
Termasuk dalam memperoleh Air bersih. Belakangan ini, bagi warga sihaporas air bersih menjadi barang yang langka dan susah untuk mereka dapatkan setelah masuknya PT TPL.
Dahulu kala kebutuhan ritual mudah mereka dapati dari hutan adat mereka termasuk rudang (Perangkat Ritual), Bambu, Hingga ikan Batak sekarang semuanya sudah berubah disaat PT TPL menjalankan industry mereka. Belakangan ini viral aksi tim 11 yang beranggotakan 11 orang warga batak berjalan kaki dengan menempuh jarak 1700 km menuju Jakarta demi menyuarakan aspirasi mereka kepada President Jokowi degan harapan agar supaya PT TPL di cabut izinya dan berhenti beroprasi untuk selamanya.
Maka bercermin dari kasus tersebut, perlunya perhatian penuh dalam hal ini pemerintah sebagai pemangku kebijakan serta stek holder terkait untuk segera menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini. Karena mengingat hutan adat masyarakat batak tersebut merupakan sumber mata pencaharian bagi warga yang tinggal di wilayah tersebut serta Indonesia merupakan Negara dengan tingkat keanekaragaman budaya yang tinggi. Maka oleh sebab itu, pemerintah dengan sucepatnya dapat menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini agar kehidupan masyarakat Tano Batak bisa berjalan dengan normal sebagai mana mestinya.
Penulis merupakan Mahasiswa Magister Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan