LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah ulama karismatik dan kontroversial dari Aceh. Sosoknya begitu berjasa bagi Republik Indonesia, tetapi kemudian memberontak kepada pemerintah karena menilai Presiden Soekarno telah melanggar janji.
Dilahirkan dengan nama Muhammad Daud, sekitar tahun 1898 di Kampung Beureueh, Pidie Seperti kebanyakan ulama di Aceh lainnya, dirinya kemudian menambahkan kampungnya di namanya.
Dipaparkan dalam Seri buku Tempo: Daud Beureueh, pria yang kerap disapa Abu ini selalu lahap membaca buku berbahasa Arab. Gagah dalam penampilan, tokoh ini juga selalu berpakaian necis walau sedang di hutan.
“Dia disebut-sebut sebagai ulama modernis karena mempelopori pemikiran di Aceh bahwa ulama haruslah terlibat dalam persoalan konkret keduniaan,” tulis dalam buku tersebut.
Dirinya kemudian merombak sistem pesantren di Aceh. Pernah dia berkeliling Aceh untuk berdakwah selama 25 hari mengungkapkan gagasannya. Pernah juga Abu mengajak warga Usi yang saat itu menganut tasawuf mistik agar hidup konkret bergelut dengan permasalahan umat.
Abu lalu mendirikan organisasi yang punya pengaruh ke seluruh lapisan masyarakat Aceh. Organisasi ini bernama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang karakternya mirip dengan Muhammadiyah yaitu berusaha memurnikan kembali ajaran sesuai Al-Qur’an dan Hadis.
PUSA kemudian yang menggembleng rakyat Aceh saat agresi militer I dan II untuk melawan Pemerintah Belanda. Pada titik inilah, Beureueh mulai menampilkan dirinya sebagai orang kuat di Aceh.
Dirinya juga mendirikan Sekolah Adabiyah, setingkat Sekolah Dasar (SD) di Sigli, sekolah modern pertama di Aceh. Dari sinilah pemimpin-pemimpin Aceh lahir.
Atas perjuangan PUSA melawan Belanda, Mohammad Hatta mengangkat Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tahun 1947. Jabatan Gubernur Militer ini dipegangnya sampai akhir 1949, ketika jabatan ini dihapus kemudian dia menjadi Gubenur Aceh.
Sikap Republikan seorang Beureueh terlihat saat kunjungan Soekarno ke Aceh pada 1948. Ketika itu Abu menyanggupi permintaan Bung Karno agar Aceh terus berjuang merebut kembali wilayah Republik.
Abu menyanggupi, tetapi meminta kepada Bung Karno agar Aceh diberikan kebebasan menjalankan hukum syariat Islam. Bung Karno lalu menyetujui permintaan itu, hal yang nantinya menjadi duri dalam hubungan keduanya.
Salah satu hasil dari pertemuan ini adalah pesawat jenis Dakota dengan nomor sayap RI-001 yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Beureueh juga menolak tegas permintaan Wali Negara Sumatra Timur, dr Tengku Mansyur agar Aceh menjadi bagian dari Negara Sumatra.
“Perasaan kedaerahan di Aceh tidak ada. Sebab itu kita tidak bermaksud membentuk suatu Aceh Raya dan lain-lain. Kita di sini adalah bersemangat republiken,” ujarnya yang dimuat dalam surat kabar Semangat Merdeka yang terbit 23 Maret 1949.
Ulama Republikan yang menuntut janji
Setelah dua tahun kunjungan Bung Karno kegelisahaan mulai bertiup. Pemerintah memutuskan meleburkan status provinsi bagi Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara (Sumut).
Sebagai upaya mempertahankan status provinsi otonom, Beureueh sempat melobi Soekarno walaupun sia-sia. Bung Hatta juga berkunjung ke Aceh menjelaskan pentingnya penggabungan itu, pada Januari 1951 Provinsi Aceh dibubarkan.
Kegelisahan kian tajam ketika Presiden Soekarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan (Kalsel) pada 27 Januari 1953, di sana Bung Karno menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara.
Saat itu memang sedang ada program politik merebut Irian Barat. Negara Islam akan membuat Irian Barat enggan menjadi bagian dari republik.
Beureueh menilai Soekarno telah ingkar janji. Sementara di pusat, terjadi perdebatan soal Islam sebagai dasar negara. Tetapi Beureueh sudah tidak bernafsu lagi dengan hiruk pikuk politik, pada 12 September 1953 dirinya memilih jalan lain: pemberontakan Darul Islam.
Jakarta bukan tidak bergerak, sebelum tentara bertindak. Soekarno sendiri yang datang ke Aceh untuk mendinginkan suasana. Tetapi kedatangannya disambut dingin oleh masyarakat Aceh.
Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Soekarno tidak berdaya disambut poster-poster antipresiden. “Kami cinta presiden tetapi lebih cinta agama,” begitu bunyi poster tersebut.
Beureueh melakukan pertempuran secara bergeriliya, pasukannya terus berpindah-pindah tempat. Tetapi paling sering mereka berada di hutan Lueng Putu, Beureueh hidup di sebuah bilik yang disebutnya rumah kulit.
Sementara itu ditengah pertempuran, sebagian orang terus mengupayakan damai. Lagu-lagu damai diciptakan, isinya mengajak perang berhenti. Yang sangat kondang dan banyak dinyanyikan oleh rakyat adalah lagu Aman, ciptaan Ceh Daman Dewantara.
Sempat terjadi gencatan senjata pada 1957 sampai 1959, tetapi Beureueh masih tetapi melakukan geriliya di hutan. Kala itu Kolonel Mohammad Jasin Komandan Daerah Militer Aceh meminta secara hormat ulama karismatik ini untuk turun gunung.
Sejak 1961, Jasin terus melakukan surat menyurat kepada Beureueh yang dirinya panggil Ayahanda. Bahkan Jasin berani menemui secara langsung Beureueh untuk berdialog empat mata.
Setahun kemudian atas bujukan Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dirinya kemudian turun gunung pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Tengku Ilyas Leube.
Ulama yang karismatik walau mati sunyi
Melalui serangkaian surat-menyurat sejak 1961, sang Gubernur Militer turun kembali ke pangkuan republik. Dia memancarkan pembawaan yang luar biasa, pada 14 Mei dirinya bersembahyang Idul Adha bersama rakyat Aceh yang merindukannya.
Turunnya Daud Beureueh yang karismatik membuatnya segera menjadi tempat masyarakat mengadukan segala persoalan. Salah satunya adalah persoalan perairan di Pidie.
Dirinya pun berinisiatif untuk memimpin kerja bakti membuat irigasi sepanjang lebih dari 17 kilometer. James Siegel, antropolog yang berada di Aceh saat itu melihat bagaimana rakyat saling bantu.
Siegel melihat Abu juga ikut terlibat, dia mencangkul, berpeluh. Selepas kerja, Abu tidak langsung pulang tetapi tidur di rumah petani. Dirinya juga menyaksikan betapa pidato Beureueh dapat menggerakan masyarakat.
“…Boleh jadi Saudara pikir bahwa pekerjaan ini bukan ibadah, boleh jadi Saudara berpikir, cukuplah bagi seorang muslim sembahyang dan membaca Al-Qur’an saja. Boleh jadi Saudara berpikir hubungan antar rakyat bukanlah agama.”
Beureueh bukan lagi seorang pejabat, bukan pula pemimpin pemberontak. Tetapi pengaruhnya tak menyusut banyak. Awal Mei 1978, dirinya bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru (Orba) karena dikhawatirkan menggelorakan perlawanan Rakyat Aceh.
Di Jakarta walau dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah. Kondisi kesehatan Beureueh merosot tajam, dia menderita karena rindu dengan kampung halaman.
Ulama yang dihormati itu akhirnya tutup usia pada 1987 di Tanah Aceh. Suasana pemakamannya sangat sederhana, hanya didatangi oleh kerabat dan beberapa tokoh penting, seperti Sanusi Janid Menteri Pertanian Malaysia.
Karisma Abu memang telah menghilang setelah Orba mendekamnya sebagai tahanan rumah. Pada akhir hidupnya, dirinya seperti orang yang ditinggalkan, hidup sendiri, walau tetap tegar.
Abu tinggal di rumah yang amat sederhana di Beureunun. Padahal beberapa pemberontak yang turun dari hutan mendapat tanah dari pemerintah, tetapi sampai akhir hidupnya Abu tidak punya rumah. (Red)
Sumber: Good News From Indonesia