LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Carut marut persoalan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh tidak terlepas dari PR Pemerintahan SBY-JK pada Periode 2004-2009 dan Pemerintahan SBY-Boediono Periode 2009-2014.
Demikian disampaikan oleh Ketua LSM Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh Auzir Fahlevi SH pada Rabu 29 Desember 2021 dalam keterangan tertulis kepada awak media.
“Jika kita runut kebelakang, Qanun Nomor 3 Tahun 2013 yang disahkan oleh DPR Aceh itu dianggap bertentangan secara hukum terkait adanya Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah,” jelas Auzir
Jadi, menurutnya PP Nomor 77 Tahun 2007 disahkan pada Tanggal 10 Desember 2007 dan dimasukkan kedalam Lembaran Negara dengan Nomor 161 pada Tahun 2007 juga.
“Pertanyaannya siapa yang menandatangani PP tersebut? ya Presiden SBY dan Menkumham saat itu yang dijabat oleh Andi Mattalata,” imbuhnya
Katanya, PP Nomor 77 Tahun 2007 inilah yang disiapkan oleh Pemerintahan SBY ketika itu untuk menangkis berlakunya Qanun Lambang dan Bendera Aceh, padahal prosesi terbentuknya Qanun baru terjadi dan disahkan pada tahun 2013 oleh DPR Aceh.
“Kita berani mengatakan demikian karena dalam konsideran PP tersebut jelas-jelas dicantumkan soal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang UUPA dan juga termasuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua,” ungkap pengacara asal Simpang Ulim itu
Menurut Auzir Pemerintah SBY pada saat itu sudah menyiapkan formula kebijakan secara hukum untuk mensiasati jika sewaktu-waktu Aceh dan Papua mewacanakan soal Lambang dan Bendera dapat dimentahkan dengan pemberlakuan PP Nomor 77 Tahun 2007 tersebut karena secara hukum lebih tinggi kedudukan Peraturan Pemerintah daripada Qanun yang selevel Peraturan Daerah.
“Ini sebenarnya aneh, Aceh di satu sisi berhak memiliki Lambang dan Bendera serta Himne berdasarkan sesuai MoU Helsinki yang dijabarkan secara tegas dan lugas dalam UUPA, UUPA ini kan produk hukum DPR RI, sedangkan di DPR RI ini kan tidak ada tokoh separatis disana, di DPR RI kan mayoritas adalah kader partai nasional yang tidak ada sangkut pautnya dengan GAM tapi kenapa pula dalam pelaksanaan UUPA digunting sana sini?,” tanya Auzir heran
Ia meminta meminta Pemerintahan Pusat untuk menyikapi secara jernih dan bijak, Presiden Jokowi harus menyelesaikan masalah Aceh secara tuntas dan permanen.
“Kita akui itikad baik Presiden Jokowi sudah diperlihatkan saat mengundang elit petinggi GAM Malik Mahmud Cs ke Istana Negara pada tanggal 13 Februari 2020 dan menunjuk Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko untuk menjadi Penanggungjawab supaya persoalan Aceh bisa selesai tapi nyatanya hingga kini terabaikan,” lanjut Auzir
Menurutnya perlu dibuka kembali ruang komunikasi antara Pemerintah RI dan petinggi GAM yang masih hidup supaya persoalan Lambang dan Bendera termasuk yang lainnya selesai dengan baik.
“Kalau misalkan Bendera Bulan Bintang tidak boleh dijadikan sebagai bendera Aceh ya kan ada opsi lainnya, jangan sampai isu lambang dan bendera ini kemudian dikooptasi terus menerus untuk kepentingan politis pihak-pihak tertentu jika tidak diselesaikan, walaupun kita tahu bahwa rakyat Aceh saat ini lebih mementingkan sejahtera perutnya daripada memikirkan soal bendera,” pungkas Auzir Fahlevi SH (Red)