Opini  

Hidup di Aceh, Sebagai Pemilik, Pengelola atau Gerombolan Pencuri?

Oleh: Fauzan Azima

Esensi dari perjuangan GAM adalah mengembalikan kepemilikan dan pengelolaan tanah Aceh. Selama inti itu tidak terwujud, selama itu pula anak keturunannya akan bangkit bergerak menuntut sampai tujuan itu tercapai.

Sekarang patut dipertanyakan; kita hidup di Aceh ini sebagai apa dan siapa? Sebagai pemilik, pengelola atau kumpulan pencuri di tanah Aceh? Mari kita buktikan!

Kami lahir dan tumbuh dewasa di Tanah Gayo. Nenek moyang kami sudah berada di Negeri Malem Dewa itu ribuan tahun lalu. Buktinya kerangka pendahulu kami ada di Ceruk Ujung Karang dan Mendale (manusia lembah).

Pinus-pinus tumbuh subur sebelum Penjajah Belanda datang. Lalu Bob Hasan dengan gerombolannya datang dari Jakarta menebanginya. Masyarakat pribumi pada waktu itu tidak ada yang berani mengklaim bahwa itu warisan nenek moyangnya karena pasti akan berhadapan dengan penegak hukum.

Kemudian Presiden Soeharto lengser dan terjadi reformasi serta GAM bergerak ingin mengembalikan kepemilikan dan pengelolaan Sumber Daya Alamnya (SDA). Setelah damai RI-GAM dalam kesepakatannya peluang sangat besar SDA kembali kepada Aceh.

Sayangnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai turunan dari perjanjian Helsinky jauh melenceng dari semangat pengelolaan SDA-nya sendiri.

Padahal Negara Indonesia adalah pengelola SDA yang terbentuk dari kumpulan kerajaan dari Sabang sampai ke Merauke sebagai pemilik-nya.

Logikanya; kita punya tanah beserta rumah. Lalu kita minta orang mengelolanya. Posisi pemilik tentu lebih tinggi daripada pengelola. Kalau pengelola ingin merubah bentuk rumah atau ingin menanam pohon pada tanah itu, tentu mereka harus izin dahulu kepada pemiliknya.

Misalnya dalam masalah hutan Aceh. Jakarta sebagai pengelola tidak boleh menetapkan apapun terhadap hutan itu sebelum ada musyawarah di antara pemiliknya. Tidak boleh menetapkan peraturan perundangan apapun sebelum ada persetujuan pemiliknya.

Sayangnya banyak kasus masyarakat ditangkap dan dipenjara karena menebang pohon. padahal dia sebagai pemilik hutan tersebut.

Demikian juga dengan izin yang dikeluarkan Jakarta terhadap rencana menambang emas di Linge, sangat tidak pantas tanpa persetujuan pemiliknya, yakni rakyat Gayo. Kalau tidak ada penghormatan kepada pemilik, apalagi menggunakan kekerasan dalam memaksakan kehendaknya berarti tidak ada bedanya dengan penjajah Belanda dahulu.

Tugas orang-orang yang sudah terpilih hari ini maupun yang akan datang sebagai gubernur, bupati, walikota, anggota DPR RI, DPRA dan DPRK harus memperjuangkan kepemilikan atas SDA yang diwariskan nenek moyangnya.

Kalau dari sekarang tidak mau berjuang, maka akan sah kita hidup di Aceh dianggap sebagai kumpulan pencuri karena tidak berdaulat atas SDA-nya sendiri dan tidak pernah diajak diskusi atas tanah beserta isinya serta jangan pernah mengambilnya kalau tidak mau diteriaki; “maling.”

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge