Sosok  

Jalan Terjal Abu Suhai Hingga Menjadi Anggota Dewan (Bagian 1)

Ket: Abu Suhai Ketika menjadi Fasilitator di Sebuah acara Pelatihan (ist)

Tentu tak ada yang tak kenal dengan Suhaimi Hamid , S.Sos, M.Sp (39), wakil ketua II Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen itu lahir pada 10 Desember 1983 di Gampong Meunasah Asan, Simpang Mamplam, Bireuen.

Suhaimi Hamid berasal dari keluarga seorang pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia juga dikenal sebagai seorang yang kritis dan aktivis lingkungan hidup. Di samping menjadi salah satu wakil rakyat dari Partai Nanggroe Aceh (PNA) Kabupaten Bireuen yang terdepan terkait kemaslahatan rakyat.

Lahir dari keluarga pejuang dan hidup dalam suasana konflik (perang panjang) Aceh membuat lelaki yang akrab disapa Abu Suhai itu kini menjadi seorang wakil rakyat yang vokal menyuarakan kepentingan masyarakat, terutama terkait pembangunan, pertanian, kesehatan, pendidikan dan lingkungan hidup di kabupaten Bireuen.

Berkat argumentasi dan statemen-statemen yang lantang, Abu Suhai kini menjadi sosok penting dan disegani di lembaga DPRK Bireuen, hal itu lantaran dirinya mampu memposisikan diri sebagai wakil rakyat yang secara tupoksi mengawal kebijakan-kebijakan eksekutif untuk relevan dengan kepentingan publik.

Sejauh ini, Abu Suhai memang dikenal sebagai sosok yang kritis, punya integritas dan mumpuni di bidangnya. Ia juga lantang bersuara dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Bireuen yang dinilai tak menyentuh khalayak ramai.

Abu Suhai, lahir dari pasangan,  Tgk. Abdul Hamid Hasaballa dan Wardiah Saleh serta 5 dari 6 bersaudara. Lahir dan hidup dalam lingkungan pejuang, membuat Abu Suhai kecil sulit dalam menempuh pendidikan. “Sekolah masa perang ya, demikian,” katanya kepada Lintasnasional.com, Selasa 17 Agustus 2022.

Menurut Abu Suhai, semua orang yang pernah hidup di masa perang pasti tahu bagaimana sulitnya menempuh pendidikan. Tentu banyak kendala dan ketakutan, dimana-mana suara tembakan senjata, kontak senjata GAM dan aparat, mungkin menjadi suatu alasan.

“Belum lagi sarana pendidikan dan mutu pembelajaran, sungguh tertinggal. Semua orang akan mendapat tekanan dari pihak yang sedang bertikai, tak terkecuali para guru,” ujarnya.

Ket: Abu Suhai Bersama aktivis Aceh ketika memperjuangkan hak rakyat Aceh di Jakarta tahun 2002 (Ist)

Jenjang Pendidikan

Abu Suhai kecil memulai pendidikan pertama di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Syuhada Samalanga pada 1989. Semasa menuntut ilmu di Madrasah tingkat pertama, kehidupan sehari-hari Abu Suhai bagaikan perahu tanpa nahkoda. Apalagi kondisi Aceh kala itu sedang panas-panasnya, belum lagi ia kerap mendapat intimidasi dari pihak aparat lantaran ayahnya seorang pejuang GAM.

Ayahnya merupakan seorang TNI aktif yang memilih bergabung bersama GAM saat itu. Lahir dari keluarga bintara merupakan alasan utama Abu Suhai kecil supaya dewasa kelak ia juga akan menjadi seorang tentara.

“Cita-cita kecil saya bukan menjadi Dewan, tapi menjadi seorang tentara. Sebab, waktu itu saya berpikir bila kita menjadi tentara kita akan kuat,” ujarnya.

Namun, sebut Abu Suhai, takdir tak dapat dibendung, Allah segala-galanya maha berkehendak. Cita-citanya semasa kecil jauh berbeda dengan perjalanan karirnya hari ini. Hal itu tetap membuatnya bersyukur atas apa yang telah ditetapkan Tuhan.

1990, ayahnya diculik oleh aparat, kemudian dinyatakan meninggal. Berita kematian itu, membuat Abu Suhai kecil merasa amat terpukul, ia baru saja masuk ke MIS. Kala itu terbesit dipikirannya, bahawa masa depannya akan suram, harapannya telah sirna, cita-cita menjadi tentara seakan pupus di tengah jalan.

“Ayah saya diculik tentara saat itu, sekolah saya hampir putus, namun saya bertekad untuk menamatkan pendidikan di MIS,” tuturnya.

Abu Suhai mengatakan, ia lahir dari keluarga GAM, ayah, abang kandung dan pamannya adalah bukti, bahwa ketiga mereka gugur dalam perjuangan panjang ini. “Beberapa tahun setelah ayah mangkat, abang menyusulnya,” kisahnya.

1990 bukan hal yang mudah untuk dilupakan Abu Suhai, tahun dimana ayahnya (Almarhum) Tgk. Abdul Hamid Hasballah, ditangkap pihak aparat. Usianya kala itu masih berkisar 7 sampai 8 tahun. Saat itu pendidikan Abu Suhai sempat redup redam. Dalam keadaan keluarga yang tak menentu, ia linglung untuk melanjutkan pendidikannya di MIS Syuhada.

“Masa itu, bagi saya sekolah antara iya dan bukan. Tapi alhamdulillah selesai juga,” imbuhnya.

Ket: Abu Suhai Bersama Aktivis asal Jerman (Ist)

Sembilan Tahun Kepulangan Ayah Tercinta

Berselang sembilan tahun kepulangan ayah tercinta keharibaan Allah SWT. Tepat pada 1999 giliran abang kandungnya yang ditangkap pihak aparat. Disusul lagi pamannya yang belakangan menjadi tempat ia menempuh hidup juga ikut ditangkap.

Berita kehilangan dan kepergian kembali menyelimuti Abu Suhai kecil. Perjuangan kembali merenggut orang-orang terkasih, haru–biru batin menjadi kelabu. Abu Suhai kecil selalu dilanda duka.

Kehilangan ketiga orang tercinta pada usia yang masih remaja membuat hati Abu Suhai kecil remuk redam. Ia amat merasa terpukul dan kehilangan. “Perang telah merenggut masa depan dan orang-orang terkasih,” selanya.

Beranjak dari peristiwa kehilangan itu, Abu Suhai kecil terpaksa memilih jalan hidup untuk tetap tegar, bekerja serabutan selepas pulang sekolah demi keberlangsungan hidup dan pendidikannya.

Usai menamatkan pendidikan di MIS Syuhada Salamanga pada 1995, Abu Suhai remaja hijrah dan keluar dari kampung halamannya Meunasah Asan. Ia kemudian masuk ke Pesantren Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Darul A’tiq Putra Jeunieb di bawah pimpinan Almarhum Abon Abdullah Saleh Jeunieb.

Usai menjalani beberapa masa di dayah, ia kemudian berkesempatan berinteraksi dengan banyak orang, dan dari sana pula ia mengenal dunia luar.

“Saat itu saya diterima oleh Abon Abdullah, dan dianggap sebagai anak angkatnya,” tukas Abu Suhai.

Memasuki usia remaja (15), Abu Suhai telah memiliki jaringan luas dengan berbagai pihak. Bahkan bertemu dengan berbagai tokoh-tokoh aktivis HAM di Aceh kala itu. Dari relasi tersebut akhirnya ia bergabung dengan lembaga Advokasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SHRWN)

Ketertarikannya dengan dunia aktivis HAM didasari oleh hajatnya besarnya mencari keadilan atas kematian ayah, paman dan abang kandungnya yang ditangkap pihak aparat.

Di lembaga SHRWN, sebut Abu Suhai, dirinya dipercayakan sebagai koordinator pada 1998 sampai 1999. “Kantornya di Medan Sumatera Utara,” jelasnya.

Ia menyebutkan, di dayah dirinya disuruh mengurusi usaha-usaha dayah, mengelola sawah dan ladang. Maka dia bisa sedikit bebas dan mudah beradaptasi dengan dunia luar.

Ket: Abu Suhai bersama Aktivis Pemuda Indonesia untuk Kemanusiaan (Ist)

Telat masuk SMP 

Selama tinggal di dayah, Abu Suhai disibukkan dengan rutinitas yang lain, ia memilah-milah waktu dalam mengurusi usaha dayah dan pekerjanya sebagai koordinator SHRWN, sehingga membuatnya telah masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).

DI usia yang sudah lanjut untuk masuk SMP, membuat dirinya banyak ditolak oleh sekolah-sekolah yang ada di wilayah Samalanga dan Jeunieb saat itu. Akhirnya ia memilih untuk melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 02 di Ulee Glee (sekarang kabupaten Pidie Jaya) pada 1998.

Setelah menamatkan jenjang pendidikan SMP pada 2001-2002 Abu Suhai melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Aliyah Negeri Jeunieb. Ketika itu ia masih tinggal di dayah.

“Saya sekolah secara tekad dan nekad, bisa dikatakan secara otodidak, menjadi aktivis juga otodidak,” urainya.

Dari rentetan perjalan hidup yang begitu pekik itu, kata Abu Suhai lagi. Ia telah menyelami begitu banyak pengalaman. Buah dari pengalaman itu kini menjadi modal untuk dirinya yang sekarang.

Ditangkap Pasukan GAM dan Dituduh Bagian dari MP

Berawal dari karakter yang keras, berani dan pantang menyerah, juga didasari oleh pemikirannya yang ekstrim, Abu Suhai muda pernah ditangkap oleh orang GAM. Ia dibawa dan ditawan di rimba pedalaman Jeunieb.

Peristiwa ini, jelas Abu Suhai terjadi pada 2001 ketika ia sedang aktif-aktifnya bergulat di dunia aktivis HAM.

“Alasan saya ditangkap orang GAM karena sudut pandang yang berbeda, saya sempat menentang zakat fitrah untuk tidak diberikan kepada Nanggroe,” ungkapnya.

Ia menambah, kebijakan itu ditentangnya. Ia tak setuju bila zakat fitrah diambil untuk upeti nanggroe, bahkan menawarkan solusi lain. Namun, kondisi Aceh saat itu jauh berbeda dengan hari ini. “Sebagai sipil, kita serba salah”.

Pertentangan itu, sebut Abu Suhai, ia utara di Meunasah-meunasah yang ada di wilayah Jeunieb. Ditambah lagi saat itu, ia begitu aktif menyuarakan keadilan HAM bagi korban konflik.

“Saya saat itu masuk ke kampung-kampung untuk mengadvokasi korban konflik. Dari itu pula saya sempat dituduh MP-GAM oleh orang nanggroe,” pungkasnya.

Tak lama, kata Abu Suhai lagi, berita penangkapannya oleh orang GAM diketahui oleh Abon Dolah (sapaan Abon Abdullah). Kemudian Abon bersama orang-orang dayah mencari keberadaannya ke hutan, dan mendapatinya dalam kondisi terikat di sebatang pohon.

“Kemudian Abon menemukan saya di hutan. Lalu saya dibawa pulang,” kesah Abu Suhai.

Abu Suhai menyebutkan, saat dirinya ditangkap oleh pihak GAM, ia telah berserah diri pada Allah. “Mungkin saat itu ajal saya telah tiba. Tapi alhamdulillah Allah memberikan saya umur panjang”.

Setelah tragedi penangkapan, Abu Suhai muda tak terima dirinya dibuat serta-merta oleh orang GAM yang telah menahannya di hutan. Ia membuat perlawanan dengan pola pandang yang dimilikinya, dan pada akhirnya terjadi sebuah rekonsiliasi antara Abu Suhai dan pihak GAM yang telah menangkapnya.

“Saya tak terima diperlakukan seperti itu, sebab saya juga lahir dari keluarga GAM (pejuang),” tandasnya.

Penulis: Adam Zainal

Bersambung