Ucapan Bela Sungkawa Perkim Bireuen untuk Tusop
Opini  

Jangan Pernah Mengeluh

Oleh: Fauzan Azima

“Aduh!” teriak Nabi Zakaria Alaihi Salam ketika Bani Israil mengayunkan kampaknya untuk memotong kayu besar, tempat dirinya bersembunyi.

“Sekali lagi kamu mengeluh, maka akan Kami cabut kenabianmu” Allah memperingatkan Nabi Zakaria Alaihi Salam untuk tidak mengeluh.

Dalam riwayat lain, Ia mengerang dan setiap kali Ia mengerang, maka bumi dan orang-orang yang berdiam di sana akan terbalik.

Hikmah dari kisah Nabi Zakaria Alaihi Salam ini adalah apapun situasinya, kita jangan pernah mengeluh kalau tidak ingin derajat kita runtuh. Jangankan mengeluh dengan menggerutu, berucap “aduh” saja dilarang.

“Dalam hidup ini jangan mempersulit diri. Kalau kamu merasa rizkimu dari angka togel, pasang saja, asal tidak mengeluh” kata orang tua yang berfikir dan bertindak ekstrem.

Kalau hidup sudah terlalu susah, maka kembali ke “nol,” yakinlah akan lahir akal. Begitulah isyarat dalam falsafah Gayo, “Akal kin pangkal, kekire kin belenye” yang artinya kurang lebih; gunakan akal dan fikiran agar selamat dan tidak ada fihak yang merasa rugi.

Tahun 2013 merupakan “tahun sial” bagi saya. Sudah diberhentikan sebagai Kepala BPkEL, tambah lagi tidak ada kawan yang mau mendekat, apalagi membantu. Dalam keadaan terpuruk itu, saya selalu ingat kisah Nabi Zakaria Alaihi Salam yang dilarang keras untuk mengeluh walau nyawa sudah di ujung rambut.

Pada masa-masa sulit itu, rasanya lalat pun tidak mau mendekati kita, sampai kemudian saya bertemu dengan orang pinter yang bisa menikahkan manusia dengan jin. Semula saya ragu, tapi ia meyakinkan saya berkali-kali dan saya pun mencoba menawarkan pada sahabat untuk menikah dengan jin, yang hidupnya jauh lebih susah kepada saya.

“Saya bersedia asal jangan saat tidur dia menjadi ular” kata sahabat itu. Saya kira ia terlalu sering nonton film horor.

“Aman, calon istri kamu, jin muslim dan selama berhubungan dia tetap sebagai manusia, hanya umurnya empat ribu tahun” kata saya meyakinkannya agar dia tidak ragu menikah dengan jin itu.

Tawaran orang pinter itu sangat menarik. Kontrak nikah dengan jin itu hanya empat bulan, dan pengantin laki-laki hanya melayani jin perempuan itu setiap malam Rabu. Berarti peraduan antara sahabat saya dengan jin itu hanya 16 kali.

Setiap selesai peraduan, jin itu menghadiahkan dana cash Rp. 4 Milyar. Kalau dikalikan 16 kali pertemuan maka pengantin laki-laki akan memperoleh dana Rp. 64 Milyar.

Saya sebagai agen hanya mendapat Rp. 4 milyar dan sang dukun sebagai “mak comblang” juga mendapat bagian yang sama dengan saya.

Saya hanya dibebankan untuk membeli mahar berupa pakaian lengkap yang serba merah dengan modal kurang lebih Rp. 1 juta.

Pada waktu yang sudah dijanjikan, kami pun pergi arah Cot Girek, Aceh Utara, tempat orang pinter itu tinggal. Dari kejauhan kami melihat rumah orang pinter itu ramai dan berkibar bendera kuning yang terbuat dari kertas sampul. Ternyata dukun itu telah meninggal.

Kami tidak panik dan melayat sebagai mana saudara-saudara lainnya. Ini takdir dan setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami pun tidak menyesal atau mengeluh sedikitpun. Kami pulang dan di tengah perjalanan bertemu dengan sungai, kami membuang mahar yang sudah disiapkan ke sungai.

Sepanjang perjalanan kami tidak mengingat “kesialan” dengan bercanda. Kami sudah biasa menghadapi masa sulit. Saya teringat pada seorang ibu, Inen Siti Aliyah dari Kala Kebayakan ketika terjadi penangkapan salah seorang pemuda yang diduga berbuat asusila, beliau tanpa ekspresi berkata, “boleh dipukul, asal angan sampai mati.”

Sekali lagi, penting dalam hidup dan kehidupan ini jangan sampai mengeluh. Seribu satu jalan untuk mendapat rizki. Bukankah soal rizki, kekayaan dan kebahagiaan berlaku hukum tarik menarik. Kalau kita fikirkan kaya, maka kita akan kaya. Berfikirlah positif maka kebaikan akan menyelimuti kita.

Penulis Merupakan Eks Panglima GAM Wilayah Linge