Oleh: Fadhli Djailani
Perekonomian masyarakat Aceh sangat tertekan di berbagai lini. Ribuan pemuda menganggur, lapangan kerja tertutup, harga komoditas pertanian merosot, dan janji pembukaan industri dan pertambangan di Aceh tidak terekrut pekerja lokal.
Dalam situasi seperti ini, satu-satunya ruang hidup yang tersisa bagi rakyat kecil adalah bertani dengan memanfaatkan lahan kosong yang oleh negara disebut “Hutan Produksi”, namun ketika petani menggarapnya tuduhan pun datang bertubi-tubi, petani malah dianggap perambah, pelanggar, bahkan perusak.
Petani Peudada tidak sedang mencuri, tidak sedang menjual hutan. Petani hanya mengolah tanah kosong yang tidak diurus negara demi hidup. Menanam pisang, durian, pinang, sawit, cokelat, dan palawija lain bukan bentuk kriminalitas, melainkan usaha mempertahankan hidup.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, petani dijadikan musuh, Media, aktivis LSM, Akademisi, pengamat menyudutkan. bahkan menuding masyarakat sebagai perambah hutan, mereka menuding sejumlah pejabat, aparat dan pengusaha yang membuka hutan luas, padahal, yang membuka lahan secara brutal dengan alat berat hanya segelintir pengusaha, aparat, bahkan tokoh local, justru petani kecil yang terhembus, diburu, dan difitnah.
Ironisnya, yang paling vokal mengkritik justru mereka yang hidup di zona nyaman, mantan anggota Dewan, akademisi, penggiat sosial, dan politisi yang kehilangan panggung. Mereka bicara soal hutan dari balik meja ber AC, sementara petani mengangkut hasil panen dengan kaki terbenam lumpur saat hujan turun, petani harus “berenang” di jalan kebun yang belum pernah disentuh pembangunan.
Petani tidak menuntut bantuan pemerintah. Tidak minta bantuan bibit, tidak minta sembako. Petani hanya memohon satu hal, bukalah akses jalan ke kebun. Itu saja. Tapi harapan sederhana ini pun terus diabaikan.
Dan yang lebih menyakitkan, pemberitaan media selama ini tak pernah adil. Petani selalu jadi headline sebagai “perambah hutan”, tanpa klarifikasi di lapangan. Mereka mewawancarai sumber yang sala, orang-orang yang dipenuhi iri hati dan motif politik lokal. Tidak ada yang benar-benar turun ke lokasi melihat sendiri, bahwa yang membuka lahan adalah rakyat, bukan mafia.
Bertani juga merupakan pekerjaan mulia dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam Surah Yasin ayat 33: “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan.”
Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu sebagian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan itu menjadi sedekah baginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu, mengapa mereka yang menjalankan ibadah lewat cangkul dan tanah justru dianggap pelanggar?
Lebih tragis lagi, 20 tahun setelah MoU Helsinki di tandatangani, janji bahwa mantan kombatan dan masyarakat terdampak konflik akan mendapatkan akses terhadap tanah dan sumber daya alam masih menggantung di langit-langit politik. Sudah dua dekade damai, tapi tanah yang dijanjikan belum sampai ke tangan rakyat.
Masyarakat petani Peudada juga bagian dari korban konflik yang tidak pernah menuntut hak mereka secara politis, tetapi mereka dihalau Ketika bekerja di Tanoh Keuneubah Indatu, lalu ke mana petani harus berpijak?
Petani hari ini tidak sekadar menjerit karena ekonomi, tapi juga karena rasa dikhianati. Bila ruang hidup terus dipersempit, jangan heran jika suatu hari konflik akan muncul kembali. Bukan karena rakyat ingin perang, tapi karena ketika hidup tak diberi pilihan, perlawanan adalah hukum alam.
Seperti hewan yang diusir dari hutan, manusia pun akan melawan saat habitatnya dirampas.
Petani bukan perusak, tapi penyambung nyawa ekonomi desa. Jika akses ke tanah ditutup, jika suara terus dibungkam, jika media hanya berpihak pada pemilik modal, maka perlawanan tak bisa dicegah, hanya bisa dipahami.
Wahai para pengkritik, datanglah ke kebun. Rasakan lumpur di kaki, peluh di dahi, sengatan matahari dan beratnya hidup di akar rumput. Petani tidak minta dikasihani hanya ingin diberi ruang untuk hidup.
Dan kepada pemegang kekuasaan, jangan tunggu petani kehilangan harapan. Karena ketika harapan lenyap, suara petani bisa berubah menjadi badai.
Wahai para pengkritik Pahami dulu, yang mana Hutan Adat, Hutan Lindung dan hutan produksi.
Penulis merupakan Petani di Pedalaman Peudada Kabupaten Bireuen