MaTA Temukan Sejumlah Proyek APBN di Aceh Mangkrak

Koordinator LSM MaTA, Alfian

LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Sejumlah Pembangunan di beberapa Kabupaten di Aceh yang bersumber dari APBN Tahun 2021 dan 2022 dinilai banyak bermasalah dan Mangkrak.

Hal itu disampaikan oleh
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, pada Selasa 7 Februari 2023, berdasarkan hasil penelusuran pihaknya, pembangunan dengan anggaran bersumber dari APBN Tahun 2021 dan 2022 banyak yang bermasalah dan mangkrak.

Alfian menjelaskan, pembangunan tersebut tidak selesai dibangun yang mengakibatkan terjadinya kerugian besar bagi rakyat Aceh, seharusnya tahun 2022 sudah bisa dimanfaatkan oleh penerima akan tetapi fakta di lapangan malah rata-rata mangkrak dan belum siap.

“Kami menduga ada masalah serius di Perencanaan dan sistem tata kelola barang dan jasa, sehingga berimplikasi pada pelaksanan di lapangan,” tutur Aktivis Anti Korupsi itu

Hasil penelusuran MaTA ke lapangan dan tracking melalui sistem elektronik dalam pengadaan barang dan jasa ada sejumlah Proyek yang mangkrak di beberapa daerah diantaranya:

Rehabilitasi Bendungan Daerah Irigasi Krueng Pasee Kabupaten Aceh Utara dengan Pagu dan HPS Rp. 56.000.000.000 dan sedangkan Nilai Kontrak Rp. 44.800.000.000 jadi 20% selisih dari HPS atau Rp. 11.200.000.000 APBN 2021, proyek tersebut dimenangkan oleh PT. Rudy Jaya yang beralamat di Jawa Timur.

Fakta lapangan, progres pekerjaan baru dikerjakan 35 %, yang seharusnya selesai pada Desember 2022, akan tetapi malah mangkrak dan tidak ada kemajuan terhadap rehabilitasi pembangunan irigasi tersebut.

Akibatnya petani Sawah di Sembilan Kecamatan seluas 11.000 Ha meliputi Syamtalira Bayu, Samudera, Meurah Mulia, Tanah Luas, Nibong, Tanah Pasir, Syamtalira Aron, Matangkuli dan Kecamatan Blang Mangat di Kota Lhokseumawe mengalami gagal panen akibat kekeringan berkepanjangan, mereka mengantungkan harapan terhadap percepatan rehabilitasi bendungan tersebut.

“Parahnya lagi, Kementerian PUPR RI dan Balai pelaksana Pemilihan Jasa Kontruksi (BP2K) yang berkantor di Aceh tidak melakukan langkah apapun dalam mempercepat pembangunan irigasi tersebut, mereka dinilai tidak bertanggungjawab,” imbuh Alfian

Selanjutnya, pembangunan Rumah Susun Institut Agama Islam Al Aziziyah (Kampus Putri) di Samalanga Kabupaten Bireuen dengan Pagu dan HPS Rp. 4.828.440.000 sementara Nilai Kontrak senilai 3.862.752.000 jadi 20% selisih kontrak dengan HPS senilai Rp 965.688.000 yang bersumber dari APBN 2022.

Poyek yang dimenangkan oleh CV Ramai Jaya yang beralamat di Kota Banda Aceh itu baru menyelesaikan progres pekerjaan 66,67 %, untuk Fisik dan keuangan yang sudah dicairkan 31.03 %.

Kemudian Pembangunan Rumah Susun Ponpes Darul Ihsan Tgk H Hasan Krueng Kalee Aceh Besar dengan Pagu dan HPS Rp 3.526.524.000 sementara Nilai Kontrak Rp 2.970.417.000 jadi selisih antara HPS dengan Nilai Kontrak adalah 16% atau Rp556.107.000 bersumber dari APBN 2022.

Proyek yang dimenangkan oleh CV. Asolon Utama beralamat di Banda Aceh itu baru selesai dikerjakan dengan Progress 31,82% fisik dan 37,08 % keuangan yang telah dicairkan.

Selanjutnya Pembangunan Rumah Susun Pondok Pesantren Darul Munawwarah Kabupaten Pidie Jaya dengan Pagu dan HPS Rp 3.412.024.000 untuk Nilai Kontrak Rp 2.729.615.200 selisih dengan HPS 20% atau Rp 682.403.800 yang bersumber dari APBN 2022.

Pekerjaan yang dimenangkan oleh CV. TSARAYA, beralamat di Kabupaten Aceh Timur itu, progress pekerjaan baru dikerjakan 31,82% fisik dan keuangan yang telah diterima oleh pihak rekanan 38,58%.

Kemudian Pembangunan Rumah Susun Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Ummul Ayman Kabupaten Bireuen dengan Pagu Rp 4.828.440.000 sedangkan nilai Kontrak Rp3.862.752.000,00 jadi selisih antara HPS dengan Nilai Kontrak adalah sebesar 20% atau Rp 965.688.000 yang anggaranya bersumber dari APBN 2022.

Proyek yang dikerjakan oleh CV Raja Muda beralamat di Kabupaten Aceh Utara itu baru menyelesaikan Progres 35,23% fisik dan keuangan yang diterima rekanan 54,60%

Atas fakta-fakta diatas, pihak MaTA meminta secara tegas
Kementerian PUPR untuk segera menyelesaikan kelanjutan pembangunan tersebut, mengingat penerima manfaat bendungan Krueng Pasee dan Pembangunan Gedung atau rumah susun di Empat titik tersebut untuk segera diberi kepastian penyelesaiannya.

Alfian juga meminta Kemeterian PURP untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap sistem dan manajeman atas keberadaan Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Kontruksi (BP2K) yang di Aceh saat ini, karena mereka merupakan pihak yang bertangungjawab atas mangkraknya pembangunan yang bersumber APBN saat ini, dimana rekanan pelaksana merupakan kewenangan BP2K yang telah mereka pilih.

“Kementerian PUPR perlu memastikan volume yang telah dibangun sesuai dengan volume kontrak, perlu kiranya dilakukan audit fisik sehingga tidak bermasalah hukum di kemudian hari, dimana kami mendapat kabar, terjadi perubahan gambar pada perencanaan awal dan begitu juga terjadi pengunduran tim PPK pada pembangunan tersebut,” jelas Alfian

Ia berharap bagi penerima manfaat untuk tetap melakukan pengawasan terhadap pembangunan tersebut dan dalam hal ini MaTA konsisten untuk mendorong tata kelola sistem pengadaan barang dan jasa yang lebih baik tanpa terjadinya komitmen fee sehingga melahirkan pembagunan yang berkualitas dan tidak terjadinya pontensi korupsi.

Pihak media belum memperoleh konfirmasi dari Kepala Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Kontruksi (BP2K) terkait temuan LSM MaTA tersebut (AN)