Opini  

Part V, Gerilyawan GAM Linge, Membina Klandestin dari Kalangan Mahasiswa dan LSM

Oleh: Fauzan Azima

Perjuangan tidak mungkin tunggal; dia pasti melibatkan banyak anasir. Salah satunya yang penting adalah orang yang berperan sebagai “clandestine” yang berada di perkampungan, kota, bahkan di ibu kota Jakarta.

Menurut bahasa klandestin berarti gelap, rahasia dan mata-mata. Sedangkan menurut istilah klandestin adalah kegiatan yang dilakukan secara rahasia atau diam-diam dengan tujuan tertentu. Biasanya dilakukan dalam operasi intelijen, perang atau kegiatan yang berbahaya dan berisiko lainnya.

Klandestin biasanya orang yang bebas, tidak dicurigai sebagai bagian dari pemberontak. Sebagian dari mereka harus terlihat “akrab” dengan aparat pemerintah; baik sipil maupun militer untuk mendapatkan informasi yang akurat dari “dalam”, terutama untuk mengetahui kapan dan di daerah mana operasi? Berapa kekuatannya? Jalur mana yang mereka lewati?

Setelah mendapat informasi lengkap dari klandestin, tentu saja pasukan pejuang akan bergeser ke tempat yang aman dari lokasi target operasi.

Peran klandestin untuk keselamatan pasukan, khususnya GAM Wilayah Linge sangat besar. Akan tetapi untuk keselamatan para klandestin, tidak semua pasukan mengetahui keberadaan mereka karena dikhawatirkan ada pasukan yang tertangkap atau menyerah. Biasa klandestin yang “bocor” kepada musuh, terpaksa harus “naik gunung” menjadi pasukan.

Klandestin “binaan” GAM Wilayah Linge banyak dari mahasiswa dan aktivis LSM, yang pasca reformasi 1998 mendapat tempat di hati masyarakat. Bahkan aparat sendiri masih segan kepada mereka karena dianggap telah berjasa menjatuhkan Presiden Soeharto.

Salah satu “markas” klandestin GAM Wilayah Linge pada masa konflik berada di kawasan Teungku Diblang yang dekat dengan kampus UIN dan UKS Darussalam. Di antara mereka yang selalu mendiskusikan arah perjuangan pada markas tersebut, di antaranya; Lina, Siti, Ratna, Iwan, Aqsa, Zamri, Muksin, Jusi, Achyar, Nasrun dan Dawan Gayo.

Pada pertengahan tahun 2002, pada saat diberlakukan “Jeda Kemanusiaan” saya bersama Mustawalad, Fauzan Blang dan Muhammad Gerhana sempat bertandang ke “markas Teungku Diblang” membahas koordinasi dengan GAM Wilayah Aceh Besar.

Tugas mereka tidak saja memberikan informasi kepada gerilyawan yang berjuang di dalam hutan, tetapi juga membangun propaganda serta mengadvokasi masyarakat dan keluarga GAM Wilayah Linge yang menjadi korban kekerasan.

Tidak semua rencana klandestin berjalan mulus. Terutama menjelang diberlakukan Darurat Militer pada Mei 2003, “markas” Teungku Diblang digrebek aparat. Iwan dan Lina sempat ditangkap, walau akhirnya dengan segala upaya bisa bebas kembali.

Ratna sendiri pada saat penggerebekan sedang mengikuti pelatihan menulis oleh Hendra Budian di kampus IAIN Arraniry. Mengetahui situasi dan menjadi target operasi, Ratna menyelamatkan diri ke Jakarta. Selanjutnya Lina setelah bebas dari penangkapan juga menyusul ke Jakarta. Beberapa di antara mereka masih bisa bertahan dengan bergerilya dari satu rumah ke rumah lainnya.

Sebenarnya sebagaimana beratnya perjuangan bergerilya di hutan, begitupun juga resiko yang akan dialami para klandestin juga sama. Pada masa itu, antara gerilyawan dan klandestin harus saling mengisi untuk mencapai tujuan yang sama, yakni merdeka.

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Linge