Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Opini  

Part VI, Gerilyawan GAM Linge, Pasukan Dibawah Umur

Oleh: Fauzan Azima

Pada sore hari, medio 2003, tiba-tiba terjadi pengepungan disertai penembakan pada sebuah rumah di daerah Simpang Renggali, Kampung Jamur Atu, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah.

Sontak, orang-orang yang sedang berada di dalam rumah itu, di tengah hujan peluru berlarian ke arah belakang yang relatif aman. Lolos dari dalam rumah dan berada pada daerah terbuka mereka harus merayap dan mengendap untuk menghindari peluru musuh.

Salah seorang anak yang masih berumur lima tahun, bernama Iwan juga turut terkepung dalam peristiwa itu. Layaknya pasukan terlatih, Iwan bebeberapa kali menekan kepala Inen Mai (ibunya) agar tidak mendongak karena peluru masih dimuntahkan untuk menyasar mereka dari jarak dekat.

Dalam suasana kacau, semua orang yang di dalam rumah itu, bisa lolos dalam keadaan selamat, kecuali Pang Gegana, tangannya terkena tembakan musuh. Iwan, Inen Mai, Aman Mai dan Pang Rafles terus saja berjalan menghindari pengejaran musuh dan akhirnya sampai ke markas pasukan GAM di pinggiran hutan.

Sesampai di markas mereka disambut dengan haru oleh Pang Bedel, Pang Robert, Pang Linud, Pang Gerep, Pang Ujang Mera, Pang Sengit, Pang Rafles, Pang Ayah Pom, Pang Gegana, Pang Rajawali (Tengku Ibrahim), Pang Canang, Pang Cengkerlung, Pang Arju, Pang Tegep, Pang Rela dan dua anggota pasukan perempuan kakak beradik; Syarifah dan Anjeli.

Ternyata sebelum terjadi penyerangan, musuh pada waktu itu, sudah mengintai rumah Aman Mai yang kerap menjadi persinggahan pasukan GAM. Maka ketika Pang Rafles dan Pang Gegana masuk rumah itu, musuh menjadikan “moment” itu untuk menyerangnya. Mereka tidak peduli ada perempuan dan anak-anak di dalamnya.

Sejak peristiwa itu satu keluarga; Aman Mai, Inen Mai dan anaknya Iwan harus ikut kemanapun pasukan GAM Wilayah Linge pergi bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya.

Sebenarnya, tidak ada niat dari pimpinan GAM Wilayah Linge merekrut pasukan di bawah umur untuk menjadi petempur, namun situasi yang memaksa anak-anak itu, harus naik gunung ikut serta bersama orang tuanya.

Sebagai mana keluarga Aman Mai, penyebab mereka “membedol” bergerilya bersama istri dan anak-anaknya karena sudah “bocor” kepada musuh bahwa mereka merupakan anasir GAM yang resikonya jika tertangkap adalah mati atau dipenjara.

Prinsif daripada “berputih mata” di kampung lebih baik “berputih tulang” di tengah hutan belantara menjadi alasan sebagian “pasukan keluarga” untuk membawa seluruh anggotanya bersembunyi ke tengah hutan.

Inen Mai dan Iwan baru bergabung dengan masyarakat setelah Aman Mai syahid di tengah hutan di Sawang, Aceh Utara akibat sakit malaria yang dideritanya

Bagi keluarga yang ikut bergerilya, mereka ada yang bergabung dan bermarkas bersama pasukan tempur, tetapi ada juga yang membuat bivak sendiri yang terpisah dengan alasan tidak ingin membebani pasukan. Apalagi membawa anak-anak yang masih kecil dan suka bermain-main.

Akan tetapi keluarga itu tetap berkoordinasi lewat radio HT untuk mengetahui keadaan sekitarnya karena “musim perang” tidak boleh terlalu gelap dari informasi luar yang membuat kita kurang kontrol diri.

Tidak saja Aman Mai yang membawa seluruh keluarganya ke dalam hutan, jauh sebelumnya Pang Raja Kuala juga membawa istri dan anak-anaknya. Anaknya Cut YD masih belum masuk SD sudah ikut bergerilya dalam hutan di daerah Samarkilang dan Pasir Putih. Bahkan seorang anaknya Cut WW lahir di hutan belantara Pasir Putih.

Di Pasir Putih Keluarga Pang Raja Kuala bergabung keluarga Pang Mukim Dawat Item yang juga membawa istri dan anak-anaknya; Santi dan Fandi. Santi pada masa itu harus meninggalkan sekolah SD kelas 1 demi ikut ayah dan ibunya. Sedangkan Fandi masih kecil dan perokok itu, bicaranya dan gayanya seperti orang yang sudah dewasa.

Bersama mereka juga ada Pang Dasril yang juga membawa keluarganya; Istrinya Sulaila dan anaknya Juandi, yang pada waktu itu, kalau bersekolah sudah kelas 3 SD.

Dalam gerilya di hutan, “pasukan anak-anak” itu sangat baik, sopan, ramah, dan “sadar diri” tidak bertingkah meminta yang berlebihan sebagai mana anak-anak yang tumbuh di kampung.

Tidak jarang di antara mereka menahan lapar bersama-sama orang tuanya, tetapi anak-anak itu tidak mengeluh. Kadang mereka ikut mencari makanan alternatif seperti pisang, kentang, buah-buahan yang tumbuh di hutan dan umbi janeng.

Sebagai mana prinsif gerilya suara tidak keras dan berjalan tidak berbekas, anak-anak itu sangat faham prinsif itu. Kalau ada pasukan yang melanggar prinsip itu, tidak jarang anak-anak itu mengingatkannya.

Baru pada tanggal 28 Agustus 2004, “Pasukan anak-anak”; Cut YD, Cut WW, Fandi, Juandi, Santi keluar dari hutan belantara bersama ibunya, setelah peristiwa pengepungan dan sahidnya Tengku Dewi, Aman Nanang dan Sulaila di hutan pedalaman perbatasan Aceh Utara dan Bener Meriah.

Penulis Merupakan Panglima GAM Wilayah Linge