Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Daerah  

Pengamat: Aceh ‘Babak Belur’ Dibawah Gubernur Nova, Simak Ulasannya

LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Provinsi Aceh saat ini masih menjadi Daerah tertinggal dinilai semakin mundur dan babak belur di bawah kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah.

Dugaan penyimpangan dan pemborosan anggaran negara semakin menggila dalam dua tahun terakhir sehingga rakyat Aceh tetap hidup dalam garis kemiskinan, bahkan juara miskin di Sumatera.

“Indikatornya sangat jelas. Rakyat Aceh terjerembab dalam garis kemiskinan bahkan termiskin di Sumatera. Sementara para pejabat Aceh hidup dalam kemewahan, termasuk membeli berbagai mobil mewah dengan uang rakyat. Ada yang beli mobil Toyota Alphard, Harrier, Pajero Sport, Innova Reborn dan lain-lain. Tanpa merasa malu mereka memamerkan mobil mewah di depan rakyatnya yang miskin,” demikian disampaikan oleh Akademisi Universitas Abulyatama, Usman Lamreueng, kepada awak media, Senin 14 Juni 2021.

Usman yang mantan aktivis Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh menambahkan, puncak kemuakan atas kepongahan para pejabat Aceh itu adalah ditandai kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk memeriksa sejumlah pejabat Aceh.

“Selaku rakyat Aceh, kami mendukung KPK untuk mengusut tuntas semua kasus penyelewengan dan pemborosan dana umat di Aceh. Penjarakan semua mereka yang berfoya-foya atas derita rakyat,” kata Usman.

Dia melanjutkan, kinerja pemerintah Aceh di bawah pemerintahan Gubernur Nova Iriansyah tiga tahun terakhir babak belur, hingga tak sepi dari hujan kritik, buruknya kinerja para pembantunya yaitu SKPA-SKPA. Pembangunan Aceh Hebat sepertinya mulai tersenyok-senyok kehilangan nilai, arah dan tujuan.

Berbagai program Aceh Hebat yang dicetuskan mengalami masalah, lebih gawat lagi malah ada yang sudah jadi besi tua dan masuk target lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Mencuat ke ruang publik seperti kasus Polemik Bibit Padi, Leumo Pijut, Trans Continent yang hengkang dari Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, yang memperburuk citra investasi Aceh, polemik recofusing anggaran Covid-19, KEK Arun jalan ditempat, Badan Pelabuhan Kawasan Bebas Sabang (BPKS) belum mampu mendapatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), gagalnya mencari investor di berbagai negara, kecuali UEA itupun ada ikut campur pemerintah pusat, belum berdampak kebermamfaatan Badan Pengelolaan Aceh (BPMA) bagi rakyat Aceh, Pengadaan Kapal Hebat di duga ada indikasi korupsi, Aceh termiskin di Sumatera dan belum dibangunnya rumah dhuafa sesuai dengan program Aceh Hebat,” jelas Usman

Selanjutnya konflik DPRA dan Pemerintah Aceh yang berlarut-larut tanpa ada titik temu. Di awali dari kasus pembahasan anggaran yang sarat dengan politik anggaran kedua pihak, sehingga memperpanjang dinamika politik kedua lembaga tersebut, pada akhirnya melalui rapat paripurna DPRA membatalkan proyek Multiyear.

Tidak hanya sampai pada pembatalan proyek multiyear saja, hubungan DPRA dan Pemerintah Aceh semakin buruk, berbagai kebijakan dalam penanganan Covid-19 termasuk recofusing anggaran Covid-19 tidak dilibatkan. Pada akhirnya DPRA mulai tidak percaya pada pemerintah Aceh, ditolaknya Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Aceh, selanjutnya DPRA menggagas Intepelasi Hak Angket.

Berbagai kegaduhan dan dinamika politik juga dipicu ketidak-beresan pemerintah Aceh dalam pengelolaan anggaran, begitu besar anggaran setiap tahunnya namun banyak program-program yang dicetuskan hanya berdampak pada keuntungan para elit dilingkaran kekuasaan, dan birokrasi, hal ini bisa dilihat dalam alokasi anggaran belanja barang dan modal setiap tahunnya mencapai 2 triliuan. Termasuk pembelian mobil operasional, mobil para pejabat, renovasi ruang pejabat, dan penggunaan anggaran APBA boros, bukan untuk kepentingan penurunan kemiskinan Aceh, malah banyak tersandung kasus korupsi.

Dari berbagai sarat masalah di atas, sudah wajar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membidik Pemerintah Aceh untuk dilakukan penyelidikan berbagai kasus yang diindikasikan dilakukan tindak pidana korupsi.

Sudah 14 tahun dana otsus diberikan untuk Aceh, pembangunan Aceh masih jauh dibanding dengan daerah lain, disemua sektor Aceh masih sangat tertinggal, ini diakibatkan lemahnya kepemimpinan para penguasa di Aceh, ditambah lagi dengan banyak program yang direalisasikan sarat dengan korupsi. Korupsi di Aceh sudah sangat massif,sepertinya sudah tidak lagi dianggap sebagai prilaku buruk, sudah dianggap biasa saja.

Banyak temuan hasil audit Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan keuangan Pemerintah Aceh (LHP-LKPD) setiap tahunnya, namun sepertinya tidak ada tindak lanjut, dan hilang dalam pemberitaan.

“Sudah sepatutnya rakyat Aceh mendukung sepenuhnya KPK hadir di Aceh, agar siapapun para pejabat yang melakukan korupsi untuk mempertanggung jawabkan. Dulu Aceh diberikan julukan oleh Belanda dengan sebutan Aceh Pungoe karena keberaniannya berperang melawan Belanda, jangan sampai masa kini Aceh disebut dengan Aceh Pungoe, tapi pungoe dengan korupsi,” pungkas Usman Lamreung (Red)