LINTAS NASIONAL – BIREUEN, Jenis pertambangan material batu gajah, batu pasir, dan bahan baku lainnya, belakangan terkenal dan disebut sebagai dengan Galian C oleh seluruh kalangan belakangan ini marak di Kabupaten Bireuen.
Secara tak kasat, pertambangan yang mengeruk hulu dan hilir sungai ini dinilai biasa-biasa saja seperti pekerjaan atau profesi biasanya bagi manusia yang barang tentu memiliki tanggung jawab untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, bila dilihat lebih jeli, usaha dan niaga hasil bumi tersebut amat berdampak tak baik bagi kabupaten Bireuen yang sedang memacu diri menata “Gemilang” dan “Bireuen Gleh” sebagai kota yang adem, aman nyaman serta indah di pandang.
Namun, keberadaan Galian C ilegal tersebut tak perlu dilihat menggunakan teropong dan kacamata yang besar. Pertambangan itu berada di hadapan mata para pemilik jawatan, tentunya di hadapan mata Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bireuen dan aparat penegak hukum
Begitulah diungkapkan oleh Wakil ketua II Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen, Suhaimi Hamid kepada lintasnasional.com Kamis 18 November 2021, maraknya Galian C di Bireuen belakangan ini bersebab target pembangunan di akhir tahun.
Ia menyebutkan, apabila melihat lalu-lalangnya aktivitas galian C di akhir tahun itu merupakan bentuk kejar target dari pelaksanaan pembangunan proyek yang bersumber dari APBK, APBA hingga APBN
“Hampir 50 persen lebih produk galian C di Bireuen ilegal,” kata Sekretaris DPW PNA Bireuen tersebut.
Selain itu, tambah politisi yang akrab disapa Abu Suhai itu, Galian C yang sedang beroperasi di Pandrah hanya skala kecil. Namun bila dilihat Galian C kebanyakan ilegal.
“Semua material dari penambangan baik untuk pembangunan jalan, jembatan, muara (kuala) dan semua jenis proyek, kebanyakan dari galian C ilegal,” kata Abu Suhai.
Ia menjelaskan, produk galian C yang hari ini dikeruk di Bireuen untuk proyek kebanyakan ilegal. yang perlu diketahui semua produk penambangan di Bireuen adalah Ilegal.
DPRK Minta Polda Aceh usut Galian C di Bireuen
Menurut Abu Suhai, semua pekerjaan proyek tersebut paksananya oleh orang-orang yang memiliki relasi dan “kuasa”, sehingga dengan semena-mena melanggarkan hukum terhadap penambangan galian C.
Dengan demikian, sebut Abu Suhai, atas nama DPRK Bireuen, ia meminta Dirkrimsus Polda Aceh untuk turun tangan mengevaluasi terhadap proyek-proyek yang hari ini dilaksanakan di Kabupaten Bireuen baik dari anggaran APBK maupun APBA.
“Kita berharap Dirkrimsus Polda Aceh mengusut proyek-proyek yang dikerjakan yang materialnya dari galian C ilegal,” imbuhnya.
Ia menambahkan, bila pihak Dirkrimsus polda tidak segera mengatasi hal ini dan diam terhadap persoalan galian C yang ada di Bireuen, maka akan menjadi kecurigaan di tengah-tengah masyarakat, dan rasa kepercayaan masyarakat akan hilang terhadap penegak hukum.
“Kita berharap Dirkrimsus Polda Aceh turun ke Bireuen. Tetapi kalau mereka masih diam, kami DPRK juga akan mencurigai seolah-olah pihak Ditkrimsus juga ikut menerima setoran dari para penambang,” tutur Abu Suhai.
Abainya Pemerintah Bireuen terkait Galian C Ilegal
Sejauh ini, sebut Abu Suhai, yang anehnya terkait galian C ilegal di Bireuen adalah abainya pemerintah kabupaten Bireuen yang memiliki semua kewenangan terhadap itu.
Menurutnya, selama ini pemerintah Bireuen terkesan Abai terhadap maraknya operasi penambangan ilegal di Bireuen, padahal hal tersebut diatur dalam undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah.
Dalam undang-undang nomor 28 itu disebutkan, Galian C dari hulu menjadi kewenangan Kabupaten untuk mengambil retribusinya, kata Abu Suhai. Namun, sampai saat ini hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah Bireuen.
“Yang ada retribusi untuk daerah selama ini hanya galian C di hilir, yaitu galian C berbentuk proyek,” papar Anggota Fraksi Partai Aceh tersebut.
Abu Suhai menjelaskan, yang diharapkan dalam undang-undang nomor 28 tahun 2009 adalah produk galian C dari hulu diambil retribusinya oleh kabupaten. Karena itu kewenangan daerah.
“Jangan lagi ada yang bilang, pertambangan galian C kewenangan Provinsi. Kewenangan Provinsi hanya mengeluarkan izin, sementera rekomendasinya dari kabupaten, dan retribusi juga merupakan kewenangan kabupaten,” terangnya.
Selain itu, Abu Suhai menyebutkan, selama ini pemerintah Bireuen tutup mata terkait PAD dan retribusi yang berasal dari pertambangan mineral tersebut. Padahal, hari ini Bireuen membutuhkan banyak anggaran untuk pembangunan.
Akan tetapi, kata Abu Suhai, saat ini pemerintah Bireuen masih duduk diam terkait PAD, bahkan sumber-sumber PAD masih sumber yang biasa-biasa saja, tidak ada yang wah.
“Pemerintah Bireuen “aleh kloe prip sit”. sudah lama DPRK membuat Pansus PAD dan Aset, tapi belum ada kabar dan tindakan apapun,” tandasnya.
Padahal tambah Abu Suhai, DPRK sudah berulang-kali menyampaikan hal itu kepada pemerintah Bireuen dalam setiap paripurna, terutama sumber-sumber PAD dari galian C. Itu yang perlu digali oleh pemerintah Bireuen.
“Hampir setiap paripurna hal itu dibahas, bahwa PAD yang bersumber dari pertambangan wajib dilakukan sesegera mungkin,” tukasnya.
Lima Puluh Persen Lebih, Galian C di Bireuen Ilegal
Secara garis besar, Abu Suhai mengatakan, lima puluh persen lebih kegiatan yang dilakukan pada galian C yang ada di kabupaten Bireuen berstatus ilegal. Hal itu, menurutnya dari Samalanga sampai ke Gandapura.
Sebenarnya, papar Abu Suhai, hal yang amat perlu dilakukan oleh pemerintah Bireuen adalah menertibkan semua pertambangan galian C, baik yang di hulu maupun yang di hilir. Artinya pemerintah harus membentuk tim.
“Yang memiliki izin harus dipertahankan, dengan catatan pemiliknya harus membayar pajak ke daerah,” ungkapnya.
Sebab, lanjutnya, sumber PAD yang paling besar adalah galian C di hulu, tapi kesannya pemerintah Bireuen telah melanggar undang-undang nomor 28 tahun 2009 yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah.
Galian C berdampak terhadap Ekologis dan Lingkungan
Tak hanya itu, kehadiran pertambangan Galian C selama ini di Bireuen khususnya, menurut Abu Suhai, dampaknya amatlah besar bagi lingkungan hidup dan ekologis.
“Persoalannya, bila sudah ada izin akan dihitung dampak lingkungan lebih kecil dari yang tidak memiliki izin,” tuturnya.
Hari ini, sebut Abu Suhai, banyak galian C yang dikembangkan di kabupaten Bireuen, justeru rata-rata tidak mempetimbangkan damapak lingkungan. Bahkan, jangankan dampak lingkungan, dampak bangunanpun tidak dilihat.
Ia menyebutkan, semua pertambangan minerba, tentu akan berdampak pada bencana ekologis, lingkungan dan pembangunan, misalnya sarana transportasi seperti jalan negara, jalan penghubung antar kecamatan dan jalan penghubung antar gampong yang dibangun dan dibuat menggunakan uang negara. Kemudian digunakan sebagai jalur Truk pengangkut material.
“Contohnya galian C di hulu, materialnya dibawa ke daerah lain yang agak jauh, mereka dengan bebas mengangkut material di atas jalan negara, jalan jadi rusak. Pernah tidak itu dilihat,” pungkasnya.
Namun begitu, sambung Abu Suhai, seharusnya, para pemilik galian C harus mengambil jalur lain, jangan melintasi jalan negara, bila tetap melintasi jalan negara, maka akan ada akumulasi terkait berat bersih muatan Truck material. Itulah yang menjadi tugas pemerintah.
Abu Suhai menyebutkan, tidak bisa serta merta truck-truck berbadan besar tersebut hilir mudik di jalan negara sekenanya tanpa ada izin khusus, pun itu ada retribusinya.
Hal itu seperti yang terjadi di jalan penghubung antar Kecamatan Peusangan dan Peusangan Selatan, serta Krueng Meuseugop dimana jalan yang baru dibangun telah hancur kembali akibat trayek galian C.
“Semua truck galian C melintas di jalan negara, pernah tidak para toke galian C tersebut bertanggung jawab terhadap rusaknya jalan. Saya rasa tidak ada,” cetusnya.
Ia menilai, dari banyak permasalahan tersebut, pemerintah Bireuen masih diam dan abai. Bahkan menurut lelaki kelahiran Simpang Mamplam itu, Bireuen hari ini serupa “kota tak bertuan”.
Kongsi Dagang Pengeruk Bumi dan Pihak di Belakang Layar
Sudahlah menjadi rahasia umum, apapun jenis perniagaan, wujudnya utamanya ada relasi, dan sesuatu yang memiliki sindikasi terhadap itu. Salah satu soalan pertambangan minerba di kabupaten Bireuen yang dikenal dengan sebutan galian C.
Dalam hal Galian C baik yang memiliki izin maupun ilegal di Bireuen, kata Abu Suhai, tentulah ada kongsi dagang antara pemilik tambang (toke galian C) dengan perusahaan jasa konstruksi.
“Terkait galian C, tentu ada penambang dan penampung,” ujarnya.
Meski demikian, bila material yang digunakan oleh perusahaan jasa konstruksi untuk proyek pembangunan dari galian C ilegal, sedangkan anggaran tersebut bersumber dari uang negara, maka itu tidak bisa diterima, dan bangunannya juga tidak bisa di PHO, itu sesuai aturan.
Tetapi, tambah Abu Suhai, persoalannya hari ini ada pihak-pihak tertentu di belakang galian C. “ada orang-orang yang berwenang di belakang layar”.
“Sehingga galian C yang ada di Bireuen begitu marak dan terus terjadi, karena tidak ada yang berani menindaknya,” pungkasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, selama ini pertambangan galian C gampang-gampang saja dilakukan, karena tidak ada tindakan serius dari pemerintah dan pihak berwajib.
Sementara itu, ketika lintasnasional.com menyinggung terkait Galian C yang beroperasi di Pandrah, Abu Suhai mengatakan, itu hanya skala kecil dibandingkan dengan Galian C- galian C yang selama ini beroperasi di tempat lain di kabupaten Bireuen.
“Nyan proyek cok bacut, mandum na awak nyan di likot nyan,” kata Abu Suhai dalam bahasa Aceh.
Awak nyak yang dimaksud Abu Suhai, adalah oknum-oknum yang disinyalir menjadi beking dari galian C yang sedang beroperasi. (Adam Zainal/Red)